Jatuh korban jiwa ketika abai riset gempa
Senin (21/2022) siang, gempa bumi magnitudo 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat. Dampaknya tak main-main. Hingga Rabu (30/11), Bupati Cianjur Herman Suherman dalam konferensi pers secara virtual di YouTube Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyampaikan, sebanyak 328 orang meninggal dunia, 12 masih hilang, 595 luka, dan 61 luka berat.
Gempa menyebabkan 108.720 orang harus mengungsi. Di samping itu, menurut Herman, akibat gempa itu 4.376 rumah rusak berat, 5.306 rusak sedang, dan 8.182 rusak ringan. Gempa pun membuat 511 sekolah, 160 tempat ibadah, 14 fasilitas kesehatan, dan 17 kantor rusak.
Bencana gempa kerap terjadi di Indonesia. Musibah itu sering merenggut korban jiwa yang tak sedikit.
Riset bencana gempa
Penyebab banyaknya korban jiwa, menurut koordinator Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo, masih cukup banyak permukiman di zona jalur sesar aktif, yang termasuk kawasan gempa bumi tinggi.
“Seperti di (sesar) Cimandiri dan Lembang. Lalu juga (tahun) 2020 terjadi (gempa) di Cibingbin, Kuningan (Jawa Barat). Belum lagi di daerah Sumatera, itu masih cukup banyak,” katanya kepada reporter Alinea.id, Selasa (29/11).
Cianjur, terutama Kecamatan Cugenang, menurut Supartoyo merupakan kawasan rawan gempa tinggi, berpotensi mengalami goncangan gempa skala modified mercalli intensity (MMI) lebih dari delapan. Daerah Cianjur masuk dalam sesar Cimandiri yang membentang 100 kilometer dari Padalarang hingga Pelabuhan Ratu, Jawa Barat.
Peneliti geosains dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Febty Febriani pun mengatakan, dari Aceh, sepanjang pantai barat Pulau Sumatera, hingga Lampung adalah daerah rawan gempa karena ada zona subduksi. Namun, daerah yang sudah diklasifikasi rawan gempa itu masih banyak permukiman.
Ia menambahkan, di Pulau Jawa juga terdapat zona subduksi dan sesar aktif. Sedangkan daerah rawan gempa lainnya ada di Bali, Lombok (Nusa Tenggara Barat), Sulawesi, dan Papua.
“Jadi kalau mau bicara daerah mana sih yang relatif aman dari gempa? Ya, mungkin memang Kalimantan,” kata Fabty, Selasa (29/11).
Febty menjelaskan, sudah banyak riset terkait potensi gempa di Indonesia. Bahkan, Indonesia punya Pusat Studi Gempa Nasional (PuSGeN). “(PuSGeN) itu sudah mengeluarkan peta gempa nasional,” ujarnya.
Pembentukan PuSGeN melibatkan beberapa kementerian, lembaga riset, dan universitas. Pada 2017, Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang merupakan hasil riset terkait gempa dipublikasikan PuSGeN.
“(Kementerian) ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral) juga sudah mengeluarkan sebaran sesar aktif seluruh Indonesia,” katanya.
BRIN dan akademisi dari perguruan tinggi, menurutnya, sudah banyak melakukan kajian mengenai potensi gempa di Indonesia. “Hanya saja, mungkin hasil penelitiannya memang tak banyak diketahui masyarakat, sebab masih dalam bentuk jurnal ilmiah,” tuturnya.
Di sisi lain, sebelum terjadi gempa dan tsunami di Palu, Sulawesi Tengah pada 2018, Supartoyo mengatakan, sejak jauh hari Badan Geologi Kementerian ESDM sudah menyusun peta rawan bencananya. Sayangnya, implementasi hasil kajian itu tak maksimal.
“Sehingga waktu kejadian gempa bumi 2018 itu, kerusakannya sangat masif dan memang agak di luar dugaan dari kami. Sedahsyat itu,” katanya.
Menurut Supartoyo, peta rawan bencana itu sudah diinformasikan lewat pemerintah kabupaten/kota. Masyarakat juga bisa mengakses langsung dengan mengunjungi laman resmi PVMBG.
“Cuma jangan sampai hanya sekadar mengetahui saja, tapi tidak melakukan upaya-upaya mitigasi untuk melakukan antisipasi,” katanya.
Sementara itu, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Daryono mengatakan, hasil kerja peneliti soal daerah rawan gempa, likuefaksi, dan tsunami, ketika sudah menjadi produk informasi, sebaiknya ditindaklanjuti pemda dengan mewujudkannya sebagai acuan dalam merencanakan tata ruang dan menerapkan kebijakan bangunan tahan gempa.
“Kita sudah punya karya-karya besar, seperti Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia. Itu kalau tidak dirujuk, sayang sekali. Padahal para peneliti gempa sudah menyiapkan itu semua,” kata dia, Selasa (29/11).
Riset kebencanaan, menurut Daryono, perlu dipandang sebagai peringatan. Namun, ia mengakui, hingga kini belum semua riset dijadikan rujukan dalam kebijakan tata ruang. Pemda pun belum melihatnya sebagai prioritas.
“Memang perlu upaya nyata untuk tidak lagi menjadikan hasil kajian sebagai sebuah material yang teronggok, yang seolah-olah tidak memberikan manfaat,” katanya.
Supartoyo menduga, belum diadopsinya hasil penelitian kebencanaan oleh pemda lantaran belum ada payung hukum yang mengikat. Regulasi dibutuhkan karena pemda adalah eksekutor hasil riset kebencanaan.
“Kita sedang melakukan revisi Permen (Peraturan Menteri) ESDM yang berkaitan dengan mitigasi. Mungkin pasal tentang ini (implementasi hasil riset) nanti kita masukkan,” ujarnya.
“Tapi kembali lagi, eksekusi langsung kan pemda, dalam hal ini perda (peraturan daerah). Mungkin kalau perda mengatur, saya kira bisa lebih kuat.”
Terpisah, Direktur Manajemen Penanggulangan Bencana dan Kebakaran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Edy Suharmanto menilai, pihaknya selalu mendorong pemda bekerja sama dengan perguruan tinggi dalam memperkuat risiko bencana. Beberapa daerah sudah mengadopsi hasil riset yang dilakukan perguruan tinggi.
“Terutama mengadopsi pendekatan teknologi sederhana yang mudah diimplementasikan di masyarakat, khususnya terkait peringatan dini tsunami, banjir, longsor, dan lain-lain,” ucapnya, Rabu (30/11).
Sedangkan menurut Plt. Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari, tugas peneliti tak sebatas melakukan penelitian dan selesai ketika hasilnya terbit di jurnal atau buku. Peneliti juga bertanggung jawab menyebarluaskannya.
“Kalau cuma berhenti di satu jurnal yang aksesnya berbayar, terus siapa yang bisa nyari? Siapa yang bisa akses? Oke (melakukan riset), tapi setelah itu apa?” ucapnya, Rabu (30/11).
Rumah tahan gempa dan antisipasi
Supartoyo menekankan, di kawasan rawan gempa bumi tinggi, bukan tak boleh bermukim. Hanya saja, bangunan rumah mesti tahan gempa.
“Kemudian tentukan tempat dan jalur evakuasi, lalu berlatih secara reguler guna menghadapi perulangan (bencana),” kata dia.
Daryono menyebut, saat ini sudah ada pula ketentuan yang mengatur bangunan tahan gempa dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR). Akan tetapi, implementasi dan pengawasan dari pemda masih lemah.
“Kalau di Jepang, bangunan-bangunan tanah gempa itu menjadi prioritas penting. Enggak boleh asal bangun rumah,” ujarnya.
Menurut Abdul, pihaknya tengah merancang skema rumah tahan gempa bagi penduduk sangat miskin di Indonesia. Saat ini, katanya, dengan biaya antara Rp2,5 juta-Rp5 juta, orang bisa bikin rumah tahan gempa, memanfaatkan material kawat yang biasa dipakai untuk kandang ayam dan semen.
Supaya meringankan beban, BNPB juga tengah berkoordinasi dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) agar setiap desa mau menganggarkan dana desa untuk keperluan itu. Jika bicara daerah rawan gempa, yang tak menyertakan Kalimantan dan selatan Papua, Abdul mengasumsikan ada 50.000 desa yang berkategori rawan gempa.
“50.000 (desa) tadi, saya minta setiap desanya bantu 10 rumah, (jika dikalikan) jadi 500.000 rumah (dibuatkan pondasi tahan gempa selama) satu tahun,” ujarnya.
Gagasan itu masih digodok. Ia belum bisa memastikan kapan realisasinya. Hal itu penting. Sebab, mitigasi yang paling bisa meminimalisir jumlah korban gempa adalah memperkuat struktur bangunan.
Soal antisipasi, Febty mengatakan, sudah ada pula aturan mengenai satuan pendidikan aman bencana (SPAB), yang regulasinya diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 33 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Program SPAB. Implementasinya tetapi kurang maksimal.
“Yang sudah menerapkan SPAB terkait dengan satuan pendidikan seluruh sekolah di Indonesia itu baru 4%. Dari 4% ini baru enam provinsi yang mengadopsi,” ucapnya.
Latihan evakuasi, terang Febty, perlu dilakukan rutin karena dapat menanam pengetahuan mitigasi bencana di alam bawah sadar. Para peneliti kebencanaan juga sudah sering mengingatkan.
Edy menuturkan, Kemendagri pun sudah punya ketentuan untuk pemda mengantisipasi bencana, yang termuat dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 101 Tahun 2018. Beleid itu mewajibkan pemda untuk memberi informasi rawan bencana, layanan pencegahan kesiapsiagaan, serta pertolongan dan evakuasi korban bencana. Namun, ada kendala dalam implementasinya.
“Kendalanya karena ada keterbatasan sumber daya yang dimiliki pemda, mulai anggaran, sumber daya manusia, dan infrastruktur penunjang,” tuturnya.
Sementara Abdul mengatakan, perlu ada perubahan cara berpikir yang menjadikan masyarakat sebagai subjek dalam konteks kebencanaan. “Mindset-nya, masyarakat harus mencari tahu,” katanya.
“Ada aplikasi InaRISK Personal, yang kalau download, bisa tahu ada di mana, rawan bahaya apa.”
Perubahan cara berpikir, menurut Abdul, diperlukan karena edukasi tak mungkin diberikan kepada setiap keluarga di Indonesia. Cara lainnya, meningkatkan kesadaran terhadap bencana. Salah satunya dengan fasilitator. BNPB sendiri memiliki lebih dari 40.000 fasilitator di seluruh Indonesia.
“Kita punya hak dan kewajiban yang sama untuk mengedukasi diri kita sendiri dan bertanggung jawab kepada diri kita sendiri,” ucapnya.