Seorang tahanan kasus narkoba berinisial FNS meninggal dunia ketika menjalani perawatan di Rumah Sakit Polri, Kramat Jati, Jakarta, Kamis (13/1). Berdasarkan penuturan dari rekannya yang pernah menjenguk, FNS mengeluhkan sakit di sekujur tubuhnya. Bahkan, FNS mengaku kerap dipukuli. Namun, Kapolres Metro Jakarta Selatan Kombes Budhi Herdi Susianto menyatakan kematian FNS karena sakit demam dan tidak nafsu makan.
Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara menilai, pernyataan tersebut patut diperiksa kebenarannya, Apalagi, indikasi penyiksaan seseorang yang sedang menjalani proses hukum bukanlah kejadian pertama kali.
Pada Agustus 2020 lalu, Hendri Alfred Bakar meregang nyawa saat menjadi tahanan Polresta Barelang Batam. Dugaan penyiksaan tersebut terjadi karena ketika meninggal kepala Hendri ketat dibungkus plastik dengan selotip coklat yang tebal. Selain itu, terdapat bekas memar di tubuh Hendri.
Berdasarkan temuan LBH Masyarakat pada 2011, dari 388 tersangka kasus narkotika, sebanyak 115 tersangka mengalami penyiksaan. Di tahun 2021, sebuah studi menyebutkan, dari 150 peserta penyuluhan hukum di rumah tahanan di Jakarta, sebanyak 22 orang di antaranya mengalami penyiksaan di tingkat kepolisian.
“Dalam konteks penyiksaan tersebut, peristiwa yang diduga menimpa FNS dan Hendri ini telah menjadi tanda keras,” ujar perwakilan sekaligus pengacara publik LBH Masyarakat, Ma’ruf Bajammal dalam keterangan tertulis, Senin (17/1).
Terdapat 3 permasalahan mendasar yang menjadi faktor pendorong terjadinya praktik penyiksaan pada tahanan kepolisian ini. Pertama, saat ini ada cacat mendasar dalam KUHAP, bahwa keputusan untuk menahan ada di tangan penyidik, ataupun di otoritas yang melakukan penahanan.
Padahal, sesuai dengan ketentuan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) dan Komentar Umum mengenai hak kemerdekaan, keputusan menahan dalam peradilan pidana harus datang dari otoritas lain untuk menjamin pengawasan berjenjang.
“Pun penilaian kebutuhan penahanan harus substansial, tidak hanya berbasis ancaman pidana. Mau tak mau KUHAP harus direvisi, kewenangan penahanan di kantor-kantor kepolisian juga harus dihapuskan,” ucapnya.
Kedua, kebijakan keras narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mudah sekali menjerat pidana seseorang. Terbukti kasus paling banyak datang dari implementasi kebijakan narkotika. Banyak korban penyiksaan datang dari kasus penggunaan narkotika yang sedari awal tidak perlu diproses secara pidana, harusnya dapat diintervensi dengan pendekatan kesehatan. Revisi UU Narkotika yang menjamin dekriminalisasi bagi penggunaan narkotika harus didorong.
Ketiga, minimnya pengawasan yang efektif pada tempat-tempat penahanan secara real time. Penahanan pada tersangka/terdakwa adalah situasi yang timpang, yang mana tersangka/terdakwa berhadap langsung dengan kewenangan negara. Sehingga, dalam proses ini harus ada pengawasan yang ekstra dan berlapis, baik internal maupun eksternal. Untuk mencegah agar kejadian penyiksaan tidak terus berulang. Secara normatif sepatutnya Indonesia segera meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT) guna memperkuat pengawasan dan pemantauan di tempat-tempat penahanan.
Untuk sementara ini, lembaga negara yang tergabung dalam Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) yang terdiri dari Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan LPSK, dapat segera melakukan pemantauan dan pengawasan pada rutan dan lapas yang diduga berpeluang menjadi tempat penyiksaan, termasuk tempat-tempat penahanan di kepolisian. Kedepan, ratifikasi OPCAT diperlukan untuk menjamin pengawasan KuPP tersebut tersistem dan waktu nyata (real time).