close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Hasil revisi UU ITE, yang segera disahkan, dinilai masih jauh panggang dari api alias tak selaras dengan semangat awal: memberikan keadilan. Twitter/@safenetvoice.
icon caption
Hasil revisi UU ITE, yang segera disahkan, dinilai masih jauh panggang dari api alias tak selaras dengan semangat awal: memberikan keadilan. Twitter/@safenetvoice.
Nasional
Jumat, 24 November 2023 07:25

Jauh panggang dari api revisi kedua UU ITE

Revisi kedua UU ITE bermula dari adanya dorongan Presiden Jokowi jika memang regulasi itu tidak memberikan keadilan.
swipe

Komisi I DPR dan pemerintah menyetujui perubahan kedua Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Keputusan diambil rapat kerja (raker) di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Rabu (22/1).

"Apakah RUU tentang Perubahan Kedua Undang-Undang ITE dapat kita setujui untuk selanjutnya dibawa ke pembicaraan tingkat dua pada Rapat Paripurna DPR RI untuk disetujui menjadi undang-undang?" tanya pimpinan sidang, Meutya Hafid, kepada seluruh anggota Komisi I DPR dan perwakilan pemerintah yang hadir. "Setuju," jawab kompak peserta raker. 

Keputusan itu pun diapresiasi Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo), Budi Arie Setiadi. "Semoga perubahan kedua Undang-Undang ITE dapat berguna bagi kemajuan bangsa," tuturnya dalam raker.

Dengan begitu, hasil revisi UU ITE tinggal disahkan dalam paripurna, yang rencananya digelar 5 Desember 2023, dan diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehingga berlaku. Adapun rapat pembahasan revisi UU ITE antara DPR bersama pemerintah berlangsung selama 14 kali sejak 24 Mei lalu.

Dalam raker, seluruh fraksi menyampaikan pandangannya tentang hasil dan harapannya atas revisi UU ITE. Perwakilan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Nico Siahaan, misalnya, sesumbar masalah multafsir UU ITE telah diselesaikan.

Pernyataan tersebut diamini perwakilan Fraksi Partai Golkar, Dave Fikharno. "[Hasil revisi kedua UU ITE] dapat menjadi acuan hukum yang komprehensif dan tidak multitafsir," katanya.

Anggota Fraksi Partai Gerindra, Subarna, menambahkan, masalah hukum akan dapat tertangani dengan baik dan jelas setelah UU ITE direvisi. Adapun perwakilan Fraksi Partai NasDem, Farhan, berharap, perubahan ini bisa melindungi perempuan lantaran kerap menjadi korban akibat video atau foto seksual yang viral.

Koalisi sipil skeptis

Koalisi Serius Revisi UU ITE, yang berisikan 28 organisasi sipil nasional, meragukan klaim-klaim DPR tersebut. Kecurigaan ini didasari beberapa hal, seperti mayoritas rapat digelar tertutup.

"Berdasarkan catatan, teman Koalisi juga melihat dari 14 rapat kerja, [tetapi] itu hanya beberapa kali saja yang terbuka untuk publik. Bahkan, catatan ataupun risalah rapatnya juga sangat terbatas dan tidak mencantumkan apa saja yang dibahas selama itu," jelas Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Nenden Sekar Arum.

"Padahal, kita tahu proses revisi Undang-Undang ITE ini menjadi sangat vital dan juga sangat penting karena berdasarkan catatan SAFEnet, juga terlihat bahwa pasal-pasal yang bermasalah dan Undang-Undang ITE ini memang sangat rawan disalahgunakan untuk menjerat masyarakat sipil yang memang kritis untuk menyuarakan pendapatnya, untuk berjuangkan haknya. Sehingga, memang proses revisi yang substansial, kemudian proses revisi yang tepat terhadap pasal-pasal yang bermasalah itu menjadi sangat penting," imbuhnya.

Hal senada diutarakan Campaign Coordinator Amnesty International Indonesia, Zaky Yamani. Ia skeptis perubahan kedua UU ITE membawa perubahan lebih baik karena keterlibatan publik minim dan tidak ada dokumen hasil pembahasan yang dapat diakses dengan mudah sehingga diragukan mengakomodasi aspirasi masyarakat.

Alasan lainnya, penguasa, utamanya pemerintah dan penegak hukum, masih kerap memanfaatkan UU ITE untuk merepresi masyarakat. "Sehingga, kebebasan kita akan terus terancam ke depannya," ujarnya.

Anggota Bidang Internet Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Adib Asfar, menambahkan, terdapat kontraproduktif dalam revisi kedua UU ITE. Misalnya, lebih banyak pasal-pasal karet yang berpeluang besar membelenggu kebebasan berekspresi dan berpendapat daripada mengurusi transaksi elektronik sesuai nomenklatur.

"Meskipun Undang-Undang ITE ini adalah undang-undang yang namanya 'transaksi elektronik', tapi lebih banyak pemidanaannya adalah terkait dengan penghinaan nama baik, dan pasal-pasal kesusilaan, dan hal-hal yang sebenarnya jauh dari semangat perlindungan dalam hal transaksi elektronik," ungkapnya. "Ini dua hal yang sangat kontradiktif."

Kemudian, merujuk keterangan pimpinan rapat dalam raker, AJI meyakini revisi kedua UU ITE akan tetap memperkecil ruang-ruang masyarakat untuk kritis dan berekspresi karena kewenangan pemerintah bertambah. Dicontohkannya dengan hak eksekutif untuk memutus akses terhadap informasi/dokumen elektronik serta dapat memerintahkan penyelenggara sistem elektronik memutus sementara terhadap akun-akun media sosial hingga rekening bank.

"Ini, kami pikir, jelas sangat tidak demokratis dan berbahaya bagi demokrasi," tegasnya. "Sepertinya pemerintah tidak belajar dari kasus pemutusan internet di Papua atau throttling [pada] 2019 kemarin, yang dinyatakan oleh Mahkamah Agung bahwa pemerintah bersalah."

Mengancam demokrasi

Divisi Riset dan Dokumentasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Rozy Brilian, melanjutkan, tidak dihapuskannya pasal-pasal karet dalam revisi kedua UU ITE mengancam masa depan demokrasi. Pangkalnya, hal itu membuka ruang masyarakat dan pejabat negara melapor kepada aparat berwajib dengan dalih pencemaran nam baik. 

Dicontohkannya dengan Ketua Indonesia Police Institute (IPW), Sugeng Teguh Santoso, dilaporkan asisten pribadi Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej atau Eddy Hiariej, Yogi Ari Rukmana, kepada Bareskrim Polri atas dugaan pencemaran nama baik. Itu dilakukan setelah Sugeng melaporkan Eddy Hiariej kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menerima suap dan gratifikasi. Belakangan, KPK sudah menetapkan Eddy Hiariej sebagai tersangka.

"Beberapa waktu lalu, ada salah satu organisasi masyarakat sipil juga yang melakukan pelaporan kepada KPK terkait dengan korupsi atau dugaan suap yang dilakukan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM. Tapi, direspons oleh pelaporan kepolisian terkait dengan pencemaran nama baik. Belakangan, diketahui bahwa dugaan korupsi dan dugaan suap itu betul adanya," katanya.

Rozy juga menyinggung soal Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, melaporkan dua pegiat HAM, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti, atas dugaan pencemaran nama baik karena membahas hasil riset tentang penempatan militer di Intan Jaya, Papua, dan hubungannya dengan konflik bisnis pejabat publik. Kasus ini sudah bergulir di pengadilan, di mana Haris dan Fatia masing-masing dituntut 4 tahun dan 3 tahun 6 bulan penjara.

Ia juga membahas soal kasus dugaan penyebaran hoaks dan ujaran kebencian oleh pengamat politik Rocky Gerung lantaran menyebut UU Cipta Kerja tidak berpihak kepada buruh dan mengkritisi megaproyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Laporan dilakukan beberapa politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Rocky belum berstatus tersangka sekalipun kasus sudah naik ke tahap penyidikan.

"Jadi, sebetulnya peran-peran masyarakat sipil ini merupakan peran positif untuk membongkar-menagih akuntabilitas negara. Bukan justru malah disikapi dengan pembatasan-pembatasan yang akhirnya berbahaya bagi demokrasi dan kebebasan sipil kita," beber Rozy.

"Maka, sebetulnya saya mau bilang, bahwa yang namanya revisi Undang-Undang ITE ini harusnya dijadikan sebagai momentum untuk menutup ruang kriminalisasi yang sering digunakan dengan menggunakan perangkat hukum atau yang bisa kita sebut sebagai judicial harassment. Pemerintah seharusnya sadar betul bahwa budaya ini tidak sehat dalam alam demokrasi," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengajak masyarakat sipil menggalang kekuatan untuk memastikan tidak ada lagi pasal-pasal karet di dalam UU ITE. Pangkalnya, siapa saja dapat dipidana karena masalah sepele, seperti bergunjing, membicarakan tetangga, mengkritik pemerintah, hingga mengeluhkan layanan publik.

"Semua bisa kena! Bukan cuma aktivis, bukan cuma NGO, bukan cuma orang-orang LSM yang kena, atau jurnalis, tapi masyarakat," ucapnya. "Masyarakat harus bertindak, agar apa? Agar apakah mendukung atau mengesahkan di tahap kedua (rapat paripurna, red) atau tidak."

"Karena apa? Karena Karena masyarakat yang punya mandat ke DPR. Maka, menurut saya, masyarakat harus call kembali, sampaikan suara rakyat untuk disampaikan ke DPR," sambungnya.

Isnur berharap, penggalangan kekuatan sipil ini bisa berhasil seperti pengalaman sebelumnya. Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan UU Mineral dan Batubara (Minerba), misalnya, batal disahkan dalam paripurna karena adanya masukan dan gelombang aksi penentangan sehingga dibahas kembali.

"Jadi, saya mendorong kita harus punya pemahaman, keberanian, dan kita mengorganisir diri untuk bisa membaca dan kemudian menganalisis dengan cepat," tandasnya.

Kronologi revisi kedua UU ITE:
2021

  • 6 Februari: Presiden Jokowi meminta DPR merevisi UU ITE jika regulasi itu tidak bisa memberikan rasa keadilan.
  • 22 Februari: Kominfo bersama Kemenko Polhukam dan Kemenkumham membentuk Tim Pelaksana Kajian UU ITE.

2022

  • 23 November: Rapat intern Komisi I DPR membahas RUU ITE setelah raker dengan Menkominfo tentang migrasi analog switch off (ASO) dan kebocoran data.

2023

  • 13 Februari: Pemerintah mengajukan 7 materi usulan revisi UU ITE dalam raker Komisi I DPR.
  • 27 Maret: Komisi I DPR mengundang Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech), Amnesty International, SAFEnet, dan AJI dalam RDPU untuk mendapatkan masukan atas revisi UU ITE.
  • 10 April: Pemerintah dan DPR sepakati untuk membahas revisi UU ITE.
  • 24 Mei, 20 Juni, 3-5 Juli, 10 Juli, 12 Juli, dan 26 September: Panja DPR dan pemerintah membahas daftar investaris masalah (DIM) UU ITE dalam rapat tertutup.
  • 30 Oktober: Rapat paripurna DPR menyepakati perpanjangan masa pembahasan 7 RUU, termasuk revisi UU ITE, hingga penutupan masa persidangan I 2023-2024.
  • 14-16 November: Komisi I DPR melakukan perumusan dan sinkronisasi revisi UU ITE bersama Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi Pemerintah.
  • 21 November: Tim Perumus dan Tim Sinkronisasi menyampaikan laporan terkait hasil perumusan dan sinkronisasi revisi UU ITE dalam rapat Panja DPR.
  • 22 November: Komisi I DPR dan pemerintah menyetujui revisi UU ITE untuk dibawa ke paripurna dalam pembicaran tingkat I (raker).
  • 5 Desember (tentatif): Rapat paripurna DPR untuk mengesahan revisi UU ITE menjadi UU.

Hasil revisi kedua UU ITE:

  1. Mengubah ketentuan Pasal 5 ayat (4) serta penjelasan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (4);
  2. Mengubah ketentuan Pasal 13 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) serta penjelasan Pasal 13 ayat (5);
  3. Menyisipkan Pasal 13A di antara Pasal 13 dan Pasal 14;
  4. Mengubah penjelasan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2);
  5. Menyisipkan Pasal 16A dan Pasal 16B di antara Pasal 16 dan Pasal 17;
  6. Mengubah ketentuan Pasal 17 ayat (1) dan ayat (3) serta menyisipkan ayat (2a) di antara ayat (2) dan ayat (3);
  7. Menyisipkan Pasal 18A di antara Pasal 18 dan Pasal 19;
  8. Mengubah ketentuan Pasal 27;
  9. Menyisipkan Pasal 27A dan Pasal 27B di antara Pasal 27 dan Pasal 28;
  10. Mengubah ketentuan Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36;
  11. Mengubah ketentuan Pasal 40 ayat (5) dan penjelasan Pasal 40 ayat (2b) serta menyisipkan Pasal 40 ayat (2c) dan ayat (2d);
  12. Menyisipkan Pasal 40A di antara Pasal 40 dan Pasal 41;
  13. Mengubah ketentuan Pasal 43 ayat (2) dan ayat (8) dan penjelasan Pasal 43 ayat (5) huruf j serta menyisipkan Pasal 43 ayat (5) huruf l; dan
  14. Mengubah ketentuan Pasal 45 dan Pasal 45A.
img
Immanuel Christian
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan