close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Bedah buku Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan kolonialisme di Surakarta 1901-1957. Foto Fitra Iskandar/Alinea.id
icon caption
Bedah buku Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan kolonialisme di Surakarta 1901-1957. Foto Fitra Iskandar/Alinea.id
Nasional
Minggu, 16 Januari 2022 09:22

Jejak Listrik di Tanah Raja: Ketika listrik diperbincangkan dari sisi sejarahnya di Surakarta

Buku Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957 mengulas listrik, tetapi dari sisi sejarah.
swipe

Coba bayangkan suasana Kota Solo pada malam hari di era kolonial. Kalau yang ada dalam imajinasi Anda, suasananya gelap, faktanya ternyata tidak begitu.

"Jangan dibayangkan tahun 1930-an itu (Solo) gelap gulita," kata anggota Dewan Komisaris PT PLN Eko Sulistyo.

Di masa itu showroom lampu dan peralatan listrik milik perusahaan listrik Algemeene Nederlandsch Indische Electriciteits Maatschappij (ANIEM) pun sudah seperti pasar peralatan listrik saat ini. Terang benderang dan dipenuhi macam-macam model lampu yang menarik.

"Itu seperti di (Pasar) Kenari, yang di Jakarta itu. Enggak ada beda," ujar Eko.

Eko tidak sedang asal bicara. Ia melakukan penelitian tentang sejarah listrik khususnya di Surakarta. Selama satu tahun, sejumlah arsip terutama dari perpustakaan di Belanda dan Reksopustoko Mangkunegaran ia serap, dan ia tuangkan dalam buku Jejak Listrik di Tanah Raja: Listrik dan Kolonialisme di Surakarta 1901-1957.

Di buku itu, terpampang foto-foto yang membuktikan Solo terang benderang seperti yang Eko maksud. Ada lampu hias yang berderet memanjang dan kemudian membentuk patung dua anggota pasukan Legiun Mangkunegaran di gapura depan pura Mangkunegaran. Keterangan foto menunjukkan itu adalah suasana tahun 1930. 

Kemudian foto suasana Pendapa Pura Mangkunegaran 1938 yang memperlihatkan setiap sisi bangunan hingga atapnya, membentuk garis yang terbentuk dari lampu-lampu hias.

Intinya persis seperti suasana malam gedung pemerintah masa kini yang dihias lampu ketika sedang ada acara atau untuk tujuan tertentu seperti peringatan hari besar. Atau gapura tempat masuk arena hiburan malam, seperti di Pekan Raya Jakarta yang dihiasi lampu.

Ketika soal listrik di tangan sarjana sastra

Seperti yang disebutkan pada judulnya, buku ini bercerita tentang listrik di Surakarta. Yang menarik, Eko tidak sedang berusaha menyelami seluk beluk sisi teknik kelistrikan, tetapi mengeksplorasi sisi yang selama ini jarang disentuh ketika orang bicara soal listrik, yaitu kesejarahannya, dengan segala kronik persinggungan politik sosial dan budaya.

"Ini menjadi jembatan untuk melihat listrik ini tidak hanya pada infrastruktur keras. Tetapi infrastruktur lunak yang jadi katalisator perubahan budaya, peningkatan ekonomi, pendidikan dsb," kata Eko dalam acara bedah bukunya yang digelar bersama Komunitas Alumni Perguruan Tinggi (KAPT), Jawa Pos, PLN dan PT Pembangkitan Jawa Bali ( PT PJB). Acara dilangsungkan di Gedung Graha Pena, Surabaya, Sabtu sore (15/1).

Hadir dalam acara itu,  Direktur Utama PT PJB Gong Martua Hasibuan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Purnawan Basundoro, Sekjen DPN KAPT Achmad Fachruddin, dan profesional bidang kelistrikan Miftahur Rahman.

Eko menyebut istilah 'tekno politik' untuk menjelaskan posisi kehadiran teknologi yang menjadi faktor penting pendorong perubahan kehidupan dalam banyak sisi baik sosial, ekonomi, budaya, pendidikan maupun politik, seperti yang ia singgung sebelumnya.

Selain memaparkan kehadiran listrik yang tak lepas dari kontestasi politik kolonial saat itu, dan peran Mangkunegara VII membuat pembangkit listrik, dalam bukunya ini Eko juga mengulas apa budaya yang muncul setelah jaringan listrik masuk ke ruang-ruang publik dan privat di Solo. 

Ketika listrik mulai bisa dinikmati, Solo yang identik dengan tradisionalitas bertransformasi menjadi wajah yang diwarnai nuansa modernitas. Dalam Bab IV bukunya ini, Eko menceritakan bagaimana lahirnya budaya perkotaan, budaya ngelembur, trem listrik, dan munculnya fenomena angkringan, setelah kehadiran listrik.

Ia berkisah bahwa sejarah angkringan tidak lepas dari munculnya fasilitas listrik di Solo sejak 1902, di mana suasana  malam di kota yang semula gelap berubah diterangi cahaya lampu.  Waktu hidup penduduk Solo pun menjadi lebih panjang. Tidak lagi berhenti setelah malam tiba. Kota Solo yang menjadi pusat urbanisasi ketika itu, seperti Jakarta saat ini. Berdenyut 24 jam, seperti tak pernah tidur. Peluang mencari rejeki pun bertebaran di waktu malam, termasuk angkringan. 

"Landskap Kota Solo sebelum listrik, penduduk memakai obor dan gas. Dengan adanya listrik, kota yang semula remang jadi terang. Ini berdampak banyak, ada dampak yang multi. Inilah kenapa listrik menarik perhatian karena dampak yang ditimbulkan listrik itu," ujar pengamat budaya Purnawan Basundoro. 

"Listrik adalah sesuatu yang penting bagi kehidupan manusia. Hampir satu abad (sejak kehadirannya di Indonesia) baru dikaji. Meski lingkupnya masih Surakarta, ini jadi penting karena pusat kerajaan Jawa tradisional menjadi berubah total dengan kehadiran listrik. Kehadiran listrik di Solo, berhasil mendobrak suasana ketradisionalan dengan kemodernan," kata Purnawan yang merupakan Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga ini.

Ketika soal listrik ditilik dari aspek sejarah, memang menjadi pembahasan yang menarik, tidak membuat dahi mengernyit. Gong Matua Hasibuan yang juga Direktur Utama PT PJB, mengapresiasi buku Jejak Listrik di Tanah Raja ini sebagai langkah yang diperlukan untuk mengkomunikasikan apa yang telah dikerjakan PLN kepada masyarakat.  

"Selama 27 tahun saya berkarier, saya baru tahu (dengan buku ini) bagaimana mengkomunikasikan kerja para enginer, produsen listrik ke masyarakat. Ini langkah pertama bahwa PLN perlu interperator. (Dengan buku ini) Apa yang dikerjakan PLN menjadi bisa dipahami masyarakat, itu berkat Mas Eko," puji Gong Matua.

Kolonial Belanda dan Jokowi soal sungai

Eko berharap bukunya, yang menunjukkan bagaimana listrik berperan penting dalam membawa kemajuan suatu daerah ini juga menjadi pelecut semangat kepada PT PLN untuk mengejar rasio elektrifikasi 100%.

"Daerah yang dilalui jalur listrik pasti jadi daerah maju. Buku ini untuk menjadi semangat hari ini kepada teman-teman di PLN untuk merampungkan rasio elektrifikasi yang hari ini sudah tinggal 0 koma sekian persen, yang (belum dialiri listrik) karena jangkauannya sulit, dan terpencil. Ini harus diselesaikan karena mandat dari pemerintah," ujar Eko. 

Buku jebolan Fakultas Sastra Universitas Negeri Surakarta ini pun cukup relevan dalam konteks hari ini di mana isu energi baru terbarukan sedang menjadi perhatian global dan nasional. 

Buku Jejak Listrik di Tanah Jawa ini dapat menggambarkan bahwa potensi energi baru terbarukan di Indonesia melimpah dan tinggal dimanfaatkan maksimal. 

Ini seirama dengan Presiden Jokowi yang dalam sebuah kesempatan sempat menyinggung tentang potensi sungai Indonesia yang jumlahnya banyak. 

"Energi hijaunya ada, renewable energy-nya ada, banyak sekali. Kita memiliki kekuatan 29.000 megawatt. Kita memilki 4.400 sungai di negara kita (Indonesia)," kata Jokowi dalam acara virtual Pertemuan Tahunan Bank Indonesia 2021, November lalu.  

Kata Eko, pemerintah kolonial Belanda, sudah paham soal itu. Pada 1927 Belanda sampai membentuk dinas khusus tentang urusan sungai-sungai. Perusahaan listrik di era pemerintah kolonial, seperti di Solo dan daerah lain memanfaatkan sungai untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA). 

"Mereka sudah mengamati sumber daya air ( di Indonesia) yang melimpah. Sungai di Jawa diplototi, debitnya diukur terus, setiap sungai ada stasiun pemantauannya." 

Sebab itu, Eko mengungkapkan, "Jangan sampai transisi energi jadi beban baru bagi negara. Renewable energi ada di perut bumi kita," tegasnya. 

Profesional di bidang kelistrikan di Tanah Air  Miftahur Rahman, sepakat dengan pesan yang disampaikan Eko. Menurutnya buku karangan Pak Eko sangat menarik karena menceritakan sejarah perkembangan kelistrikan di Indonesia khususnya di Solo, tentang pemanfaatan energi baru terbarukan yang sudah dilakukan sejak dulu, serta upaya mandiri yang dilakukan Keraton Solo dalam penyediaan listrik tanpa bergantung ke kolonial Belanda. 

"Dengan demikian kita dapat belajar dari perjalanan proses sejarah dari buku Jejak Listrik di Tanah Raja, terutama terkait semangat untuk mandiri serta lebih fokus dalam pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan untuk menerangi negeri," ujar Miftahur Rahman, yang juga merupakan Wakil Bendahara DPN KAPT itu.  

img
Fitra Iskandar
Reporter
img
Fitra Iskandar
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan