Jenazah TKW korban kekerasan Adelina tiba di kediaman keluarga di Timor Tengah Selatan, NTT, Sabtu (16/2). Adelina merupakan korban ke-9 dari kematian beruntun buruh migran asal NTT di tahun 2018. Sebelumnya Migrant Care mencatat, kematian buruh migran pada 2016 mencapai 46 orang dan meningkat pada 2017 sebanyak 62 korban.
Kasus kematian buruh migran di Malaysia bukan satu-satunya problem yang menggelayuti para buruh migran. Pada 2017 di Malaysia ditemukan tindakan penyiksaan, khususnya terhadap buruh perempuan. Seperti yang dialami Suyantik, PRT migran Indonesia yang disiksa berulang-ulang. Lalu pada paruh awal 2017, Migrant care juga membongkar praktik perbudakan yang dialami buruh migran perempuan Indonesia yang dipekerjakan tidak sesuai dengan kontrak, oleh industri pengolahan makanan berbasis sarang burung walet, Maxim.
“Kasus ini juga menguak bentuk diskriminasi penegakan hukum oleh otoritas Malaysia, karena para korban perbudakan ini malah dikriminalisasi sebagai buruh migran tak berdokumen dengan memenjarakan mereka di kamp imigrasi,” urai Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo.
Masih di Malaysia, sejak Juli 2017, ratusan ribu bahkan jutaan buruh migran Indonesia juga menjadi sasaran razia otoritas Malaysia yang mengakhiri program amnesti (6P). Program Amnesti (6P) ini juga gagal memenuhi target melegalkan ratusan ribu buruh migran dari berbagai negara. Sebab, program ini dimanfaatkan pihak ketiga, yang ditunjuk menjadi agen pengurusan dokumen, untuk mendapatkan keuntungan secara maksimal. Caranya adalah dengan memungut biaya sebesar-besarnya dari buruh migran yang mengurus dokumen.
“Penunjukan pihak ketiga dalam pengurusan dokumen juga membuka ruang penyuapan dengan aparat pemerintah Malaysia maupun aparat pemerintah Indonesia. Ini terbukti dengan terungkapnya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Atase Imigrasi KBRI Malaysia oleh pihak KPK,” jelasnya.
Menurut Wahyu, semua kasus kekerasan, diskriminasi hukum, dan penipuan ini merupakan buntut dari praktik perdagangan manusia yang terjadi sejak bertahun-tahun silam. Untuk itulah Wahyu dalam keterangan persnya hari ini, mendesak komitmen Pemerintah Indonesia dan Malaysia untuk mengusut tuntas kasus ini, khususnya yang menimpa Adelila.
“Pemerintah RI harus mengungkap jaringan sindikat perdagangan manusia yang merekrut Adelina sejak masih di kampung halamannya, pemalsuan dokumen, hingga penempatan melalui jalur yang tidak resmi ke Malaysia,” ujarnya.
Sementara untuk Malaysia, Wahyu berharap proses hukum terhadap empat tersangka majikan Adelina serta agen penempatan TKW bisa ditegakkan.
Kasus ini menurutnya juga harus dijadikan momentum bagi kedua negara, untuk merampungkan MoU perlindungan pembantu rumah tangga (PRT) yang kadaluarsa pada Mei 2016. “Ini juga dijadikan momen untuk menguji keseriusan kedua negara menjalankan ASEAN Consensus on Protection and Promotion on Human Rights of Workers, yang ditandatangani kepala negara sepuluh anggota ASEAN pada November 2017,” urainya.
Merespon ini, Kepala BNP2TKI Nusron Wahid mengaku berkomitmen untuk mengawal penuntasan kasus Adelina. Dijumpai di Jakarta, Kamis (15/2), ia telah memberikan bantuan sambung kasih pada keluarga korban Adelina.
“Saya menyayangkan ada kejadian kekerasan lagi pada TKW kita. Saya telah mengirim memo pada Malaysia untuk segera mengusut tuntas kasus kematian Adelina, termasuk menghukum para tersangka yang bertanggung jawab. Ini jadi PR besar bagi kami dan catatan evaluasi yang penting menyangkut manajemen pengurusan buruh migran di Indonesia,” ujarnya.