Jerat narkotika di kalangan remaja
Voza—nama samaran—mengingat kembali masa-masa suramnya kala ia mengenal narkotika. Pemuda yang kini berusia 23 tahun itu mengaku, sudah menyentuh barang haram tersebut saat usianya baru 15 tahun, ketika masih duduk di bangku SMP. Mulanya, ia mencoba jenis obat-obatan keras tanpa resep dokter karena rasa penasaran.
Kebiasaan buruknya itu makin menjadi-jadi ketika SMA. Saat itu, ia beralih ke tembakau gorila alias sintetis. Ia mengaku, mendapatkan barang terlarang itu dari pengedar atau bandar secara offline dan online.
“Kalau bandar online itu, kita kayak transaksi di Instagram, Twitter, sama via game juga ada,” katanya kepada Alinea.id, Senin (20/3).
“Kita transfer (bayarnya). Barangnya nanti ditempel (di suatu tempat) sama kurir. Misalnya di bawah tiang ini, panel ini, atau bungkusan rokok ini.”
Harga tembakau sintetis, kata dia, satu gram Rp100.000. Bisa dijadikan empat atau lima linting. Sesudah lulus SMA, Voza sempat mengonsumsi sabu-sabu. Ia baru berhenti menggunakan narkotika usai menjalankan rehabilitasi pada 2021.
Penyebab remaja terjerumus
Narkoba, seperti pengalaman Voza, sudah beredar di kalangan usia remaja. Bahkan, ada yang berperan sebagai pengedar. Bukan lagi konsumen. Kasus RD, 15 tahun, anak pedangdut Lilis Karlina yang ditangkap petugas Satuan Reserse Narkoba Polres Purwakarta pada Minggu (12/3) misalnya, menjadi salah satu bukti.
RD terbukti menjadi pengedar obat-obatan yang tak bisa diperjualbelikan secara bebas. Menurut pengakuan RD, ia sudah mulai mengonsumsi obat-obatan yang termasuk dalam daftar G itu sejak usai 13 tahun. Lalu, pada usia 14 tahun, ia mengedarkan obat-obatan itu, serta mengonsumsi sabu-sabu.
Contoh lainnya adalah ditangkapnya 38 siswa di salah satu SMA di Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat di tempat berbeda karena terbukti mengonsumsi tembakau sintetis. Mereka diamankan anggota Satuan Reserse Narkoba Polres Cimahi.
Penangkapan terhadap puluhan siswa itu diawali dengan tertangkapnya seorang siswa yang menjadi pengedar tembakau sintetis. Lalu, pada Senin (13/3) ditangkap 17 pelajar di suatu tempat di Lembang. Beberapa hari kemudian, siswa lainnya ikut ditangkap.
Menurut Wakil Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Kombes Jayadi, pada 2021 ada 2.951 remaja berusia 16 hingga 18 tahun yang ditangkap karena kasus narkoba. Kemudian, pada 2022 menjadi 2.735 orang.
“Terjadi penurunan sekitar 200-an (orang),” ucapnya, Senin (20/3).
Jayadi mengatakan, penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja menjadi sorotan kepolisian. Terlebih, pengedar narkoba beroperasi lewat game online dan media sosial.
“Sasarannya anak-anak SMA yang emosinya belum stabil, masih mau mengaktualisasikan diri, masih mau coba-coba,” ucapnya.
Selain tengah mencari jati diri, menurut Jayadi, remaja yang terjerumus dalam kasus narkoba karena pengaruh lingkungan. Kondisi tersebut bisa semakin parah bila pengawasan orang tua dan guru terhadap anak kendor.
“Idealnya masyarakat juga berpartisipasi, bersama-sama memberikan edukasi, mengajak untuk menjauhi narkoba,” kata dia.
Sementara itu, Program Manager Rumah Asa—sebuah pusat pemulihan adiksi dan rehabilitasi narkoba di Tangerang, Banten—Ishak Rahman mengatakan, saat ini tak sedikit remaja yang menggunakan merek obat batuk tertentu untuk mabuk. Akses membeli obat batuk itu pun sangat mudah.
“Karena memang usianya masih masa transisi, lalu kreaivitas lagi tinggi-tingginya. Jadi, nyari-nyari racikan untuk mabuk,” ucapnya, Selasa (21/3).
“Kebanyakan sekarang, obat daftar G yang diakses remaja karena lebih terjangkau dari uang sakunya.”
Penyebab anak di bawah usai 18 tahu mengonsumsi narkotika, menurut Ishak, adalah pergaulan. Lalu, mendapat dukungan dari akses yang mudah karena informasi gampang diperoleh.
“Ujung-ujungnya kalau ditarik itu adalah kurang baiknya kemampuan berkomunikasi,” kata dia.
Komunikasi yang dimaksud terkait hubungan dengan orang tua. Ia menjelaskan, tak dekatnya hubungan orang tua itu bisa menjadi pintu masuk bagi anak mengenal narkoba.
“Mungkin orang tuanya sibuk kerja. Kadang kan remaja butuh cerita segala problemanya di sekolah atau pergaulan. Tapi, ceritanya sedikit, ceramah (dari orang tua) bisa sejam,” katanya.
“Semua orang tua itu bisa menempatkan dirinya di posisi orang tua, tetapi (harus) perlu belajar menempatkan diri sebagai teman untuk anaknya.”
Lebih lanjut, berdasarkan data yang diperoleh Ishak, tren penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja mengalami kenaikan diduga karena pandemi Covid-19, yang mengharuskan mereka banyak belajar di rumah, sehingga meningkatkan rasa bosan.
Dihubungi terpisah, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengatakan, remaja yang mengonsumsi narkotika umumnya disebabkan lingkungan terdekat yang sudah tak bisa dipercaya. Dengan kata lain, remaja tak lagi mendapatkan figur dari orang terdekatnya.
“Anak-anak terlibat dalam konsumsi narkotika adalah puncak permasalahan yang tidak tertangani,” ucap dia, Senin (20/3).
Edukasi, rehablitasi, dan penegakan hukum
Di sisi lain, Korps Bhayangkara, kata Jayadi, gencar melakukan pencegahan dan edukasi, mulai di tingkat mabes hingga polres. “Di polres itu ada satlinmas (satuan perlindungan masyarakat) dan satnarkoba yang selalu memberi edukasi melalui sekolah-sekolah,” tuturnya.
“Kemudian ada BNN (Badan Narkotika Nasional) juga di kabupaten, kota, dan provinsi yang memberi edukasi kepada anak-anak kita.”
Seturut itu, Ishak menuturkan, cara terbaik agar anak bisa terkontrol adalah dengan menjaga komunikasi dan memberi edukasi. Rumah Asa, jelas Ishak, menyarankan agar edukasi terkait bahaya narkoba bisa masuk ke kurikulum pendidikan.
“Tujuannya, supaya lebih intens dan menyeluruh,” ucap Ishak.
Dijelaskan Ishak, setiap pasien yang direhabilitasi di Rumah Asa menggunakan penanganan berbeda-beda, sesuai kebutuhan. Ia mencontohkan, pernah menerima pasien usia remaja yang masih punya kewajiban sekolah.
“Akhirnya, pagi dia sekolah. Setelahnya, ikut program rehabilitasi,” ujar dia.
Sedangkan Jasra menerangkan, pentingnya asesmen setiap remaja yang direhabilitasi. Dalam beberapa hari, hasil rehabilitasi bisa terjawab. Tantangan dari hasil asesmen itu, menurut Jasra, adalah bagaimana masalah yang dialami remaja bisa terurai dan mendapat solusi permanen jangka panjang.
“Karena sering kali ditemukan kasus, ketika sudah direhab dan pulang, anak masih berhadapan dengan masalah yang sama,” kata Jasra.
“Sehingga kembali berhadapan dengan hukum dan kembali direhab.”
Jasra mengungkapkan, setiap anak yang menjalani asesmen, selalu menunjukkan berasal dari keluarga, sekolah, dan lingkungan yang rentan. Kondisi itu sejak awal tak tertangani.
“Harus ada yang berubah dari tempat hidup mereka,” ujarnya.
Koordinator Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat Yosua Octavian Simatupang mengungkapkan, pada 2016 pihaknya pernah melakukan studi terkait anak yang menggunakan narkotika.
Salah satu temuannya, anak dijadikan alat para pengedar. Ia menduga, pengedar memanfaatkan anak karena ancaman hukuman pidana terhadap anak berbeda dengan orang dewasa.
“Bahkan si anak enggak tahu apa yang dilakukan karena dianggap dia ingin membantu orang dewasa. Ajaran orang tua, membantu itu dapat pahala. Jadi, dianggap itu biasa saja,” ujarnya, Senin (20/3).
Tak jarang, kata Yosua, anak mengalami penjebakan karena kedapatan mengantar atau menerima narkotika. Masalah lainnya, anak yang ditangkap banyak yang tak mendapat hak-haknya.
Ia menjelaskan, Sistem Peradilan Pidana Anak (Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012) mengatur keadilan secara restorative justice. Mekanisme itu diutamakan dalam kasus yang melibatkan anak, terlepas apa perkaranya. Namun, dalam kasus narkotika hal itu jarang terjadi.
“Padahal, lahirnya SPPA (Sistem Peradilan Pidana Anak) itu diutamakan agar menjauhkan anak dari bayang-bayang penjara,” kata dia.
Menurut Yosua, sering ditemukan anak mengalami broken home dan kerap mendapat kekerasan di rumah, sehingga lebih nyaman di luar. Hal-hal semacam itu, kata dia, perlu diketahui dan dipertimbangkan.
“Ketika anak berkonflik dengan hukum yang diposisikan dia dituduh melakukan tindak pidana, itu harus clear. Tidak serta merta mengklaim, ya sudahlah yang penting ada unsur-unsur tindak pidana,” ucapnya.
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, pecandu wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial. Namun, dalam pengajuan rehabilitasi mandiri, posisi anak tak dalam kondisi yang menguntungkan.
Dalam pasal 55 aturan itu disebutkan, pecandu yang belum cukup umur dalam pengajuannya, dilaporkan oleh orang tua atau wali. Hal itu sama saja mewakilkan hak anak.
“Padahal, dalam konteks konvensi anak, anak itu sebenarnya diberikan hak untuk memilih treatment terbaik dan lain sebagainya untuk diri dia,” katanya.
Yosua menjelaskan, memang tak semua pengguna narkotika bisa direhabilitasi. Hal itu sesuai kebutuhan yang terlihat dari hasil asesmen, yang dalam prosesnya melibatkan tim medis, psikolog, dan hukum.
Jika tim hukum menilai, yang berkasus potensial menjual narkotika, maka pengajuan rehabilitasi bisa ditolak. Akan tetapi, masalahnya asesmen rehabilitasi kerap tebang pilih. Terkesan hanya berlaku untuk figur publik atau pejabat.
LBH Masyarakat, ujarnya, pernah menangani kasus pengguna narkoba yang berasal dari keluarga miskin dan sudah mengajukan permintaan rehabilitasi sebanyak tujuh kali, tetapi tak digubris.
“Kita bingung. Aneh. Tapi di kasus artis, dengan bangga teriak-teriak, mereka hanya korban dan lain sebagainya. Wah, enak sekali,” ujarnya.