John Kei dan jejak premanisme di Jakarta pasca-Orde Baru
Minggu (21/6) siang, orang-orang di Perumahan Green Lake City, Cipondoh, Tangerang dibuat geger dengan kedatangan sekelompok “tamu tak diundang”. Mereka merusak sebuah rumah di perumahan itu. Tak jauh dari lokasi, penyerangan pun terjadi di Duri Kosambi, Cengkareng, Jakarta Barat. Peristiwa tersebut menyebabkan seorang tewas.
Atas peristiwa tersebut, sejauh ini polisi sudah menangkap 39 tersangka. Salah satunya, John Refra alias John Kei. Aksi penyerangan itu diduga berlatar belakang masalah pribadi antara John dan pamannya, Nus Kei, terkait penjualan tanah di Ambon, Maluku.
John baru bebas bersyarat dari Lapas Permisan di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah pada akhir 2019. Ia dihukum karena tersangkut kasus pembunuhan berencana terhadap bos PT Sanex Steel Indonesia Tan Harry Tantono alias Ayung pada 2012.
Menurut peneliti di Asia Research Center dan dosen senior di Murdoch University, Australia Ian Douglas Wilson, serangan ke Perumahan Green Lake City dan Duri Kosambi yang dilakukan kelompok John Kei merupakan cara lama dan ketinggalan zaman. Ia bilang, masih ada persepsi lama bahwa mereka bisa aman dan lolos.
Ia mengatakan, sesungguhnya beberapa kelompok dalam praktiknya menghindari pertikaian di ruang publik karena menyadari hal itu tak menguntungkan bagi semua pihak.
“Dari tingkat ormas kalau anggota clash, pada tingkat ketua atau pengurus itu biasanya cepat diselesaikan karena mereka tidak mau ada masalah besar, dan polisi juga sering mediasi agar terhindar dari konflik,” ucap Ian saat dihubungi reporter Alinea.id, Rabu (1/7).
Nama John Kei tak asing bagi warga Jakarta. Ian pun membahas sepak terjang kelompok ini di bukunya, Politik Jatah Preman: Ormas dan Kuasa Jalanan di Indonesia Pasca Orde Baru (2018).
Antara Hercules, John Kei, dan Basri Sangaji
Di dalam bukunya, Ian menulis, masa peralihan pasca-Orde Baru, geng etnis tersebar di Jakarta dan banyak yang sudah memiliki ceruk pasar yang mapan dalam bisnis remang-remang hingga jasa perlindungan.
Menurutnya, geng di Jakarta muncul dari jaringan keluarga, ikatan klan, dan arus migrasi ke Ibu Kota, dengan pemimpin-pemimpin karismatik, seperti John Kei, Hercules Rosario Marshal, dan Ongen Sangaji—adik Basri Sangaji.
Pada 1990-an, kelompok Hercules pernah berjaya di Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ian menulis, pada 1993 pengikut Hercules mendekat angka 400 orang, yang kebanyakan pemuda dari Indonesia Timur. Pada 1994, Hercules dan kelompoknya berhasil merebut Jati Bunder, Tanah Abang, yang sebelumnya didominasi kelompok Betawi dan Madura.
“Menguasai jatah setoran di gedung pasar utama yang lukratif, serta mengendalikan pelacuran di Bongkaran, tempat mereka mendirikan markas besar,” tulis Ian.
Lambat laun, kekuasaan Hercules di Tanah Abang runtuh. Ian menulis, pemicunya adalah pecah kongsi antara Hercules dengan anggotanya sendiri pada 1995. Di sisi lain, ada organisasi baru bernama Ikatan Keluarga Besar Tanah Abang (IKBT) pimpinan Yusuf Masehi alias Bang Ucu, yang diberi mandat memberantas preman.
Pada 19 November 1997, tulis Ian, sebuah hotel yang digunakan sebagai tempat pertemuan geng Hercules dibakar. Penyerangan itu merupakan tahap pertama yang dilakukan IKBT.
Dua hari kemudian, anggota kelompok Hercules secara sendiri-sendiri menjadi sasaran dan dihajar. Hercules, tulis Ian, bukan tanpa perlawanan. Kelompoknya mencoba membalas, tetapi terhalang blokade jalan pasukan Kodam Jaya. Beberapa hari berselang, Hercules dan sekitar 100 orang anggotanya dikepung IKBT di markas besarnya di Bongkaran.
“Dengan kematian anggota gengnya, lebih selusin hilang, ditambah ancaman berkelanjutan dari IKBT, dan ditelantarkan oleh bekas patron mereka, Hercules dan para pengikutnya dipaksa keluar dari Tanah Abang,” tulis Ian.
Usai hengkang dari Tanah Abang, Hercules fokus dalam bisnis penagihan utang dan makelar tanah. Tak jarang, kelompok Hercules, Basri Sangaji, dan John Kei bertikai. Misalnya, Ian mencatat, pada 2002 geng Hercules bentrok dengan kelompok Basri Sangaji di Kemang, Jakarta Selatan. Perkelahian dipicu perkara penagihan utang.
Pada Maret 2004, massa John Kei terlibat bentrok dengan kubu Basri Sangaji di Diskotek Stadium, Tamansari, Jakarta Barat. Basri Sangaji tewas di Hotel Kebayoran Inn, Jakarta Selatan pada Oktober 2004. Hercules, sebut Ian, sempat dituduh menjadi tersangka pembunuhan itu. Namun, belakangan, polisi menetapkan kelompok John Kei yang terlibat.
Pada 2012 di Cengkareng Barat, Jakarta Barat, kelompok Hercules dan John Kei pun pernah bentrok dengan kubu Hercules terkait pengambil alihan kekuasaan tanah PT Sabar Ganda.
Menurut Ian, dalam kurun waktu 2000-an, tiga kelompok itu bekerja dalam celah antara layanan legal dan ilegal. Pertikaian terjadi dan sudah berlangsung sejak akhir 1990-an, yang mengakibatkan lusinan orang tewas terjadi lantaran persaingan bisnis.
“Perang ini berakhir—setidaknya sementara, dengan ditangkap dan dipenjaranya John Kei pada 2012 atas pembunuhan Direktur PT Sanex Steel Harry Tantono dalam sebuah kasus penagihan utang yang kacau balau, disusul oleh pembunuhan gaya ‘petrus’ (penembak misterius) atas adiknya, Tito Kei,” tulis Ian.
Ian menegaskan, kelompok Kei yang belakangan muncul kembali, bisa terjadi lantaran diberi panggung oleh media. Pemberian ruang itu mengakibatkan nama geng tersebut kian terkenal dan membantu membangun mitos dalam menerapkan strategi.
Nama kelompok John Kei lebih dikenal dibandingkan kelompok lain, menurut Ian, karena mereka lebih sering terjerat kasus, seperti perkelahian hingga pembunuhan.
“Karena tidak ‘good for business’ dan tentu akan menaruh perhatian penegak hukum,” ujarnya.
Dilihat dari segi bisnis, selain jasa penagihan utang, Ian mengatakan kelompok-kelompok tadi juga bermain di jasa pengamanan dan sengketa lahan. Sosok Hercules, sebut Ian, terbilang unik. Selain di sektor keamanan dan penagihan utang, Ian mengatakan Hercules juga bermain di bidang politik.
Ian mencatat, ia pernah bergabung dalam barisan pendukung Prabowo Subianto saat Pemilihan Presiden 2014. Timbul-tenggelamnya nama Hercules, kata Ian, disebabkan munculnya pemain lain yang dianggap lebih baik.
“Lebih profesional dan lebih pintar untuk mengolah citranya di ruang publik,” katanya.
Kendali premanisme
Ian memandang, pola kelompok-kelompok itu sejak 2010 cukup stabil dibandingkan awal 2000-an. Jika pun ada konflik antargeng, rata-rata penyelesaiannya melalui mediasi. Menyoal perubahan pola dari jalanan menuju profesional, Ian menerangkan hal itu terjadi lantaran terdapat pasar yang memungkinkan kelompok tersebut berkembang.
“Kelompok yang lama-lama menjadi cukup tertib, profesional, dan mereka bisa memberikan pelayanan. Mereka cukup sukses dalam konteks Jakarta karena ada pasar,” ujar Ian.
Dihubungi terpisah, kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Arthur Josias Simon Runturambi mengatakan, ada beberapa latar belakang munculnya gangster. Salah satunya, masalah ekonomi. Jakarta, yang menjadi tempat berkembangnya geng itu, kata Josias karena statusnya sebagai ibu kota, yang dianggap menjadi sumber pendapatan.
Selain motif ekonomi, Josias mengemukakan, kelompok preman muncul karena keterbatasan personel keamanan formal dalam memberi rasa aman di masyarakat.
“Awalnya, mereka sifatnya membantu aparat keamanan formal. Lama-lama mereka dapat ‘porsinya’,” ucapnya saat dihubungi, Senin (29/6).
Dalam praktiknya, sebut Josias, kelompok-kelompok “jagoan” itu tak berdiri tunggal. Namun, muncul dengan aneka latar belakang. “Tidak hanya identitas, melainkan juga bergerak dalam bentuk organisasi formal,” katanya.
Mengenai hubungan patron klien, Josias mengatakan itu dapat terjadi berdasarkan karakteristik atau kategori kelompok tersebut. Menurutnya, cara bermain kelompok pemula dengan yang lama jelas berbeda.
Josias menerangkan, kelompok lama dapat dikatakan sebagai kelompok yang profesional. Geng tersebutlah yang dipastikan memiliki hubungan dengan instansi, baik negara maupun swasta.
“Lingkaran yang dimaksud ini mulai dari lingkaran aparat keamanan sendiri, pelaku ekonomi, pelaku politik, bahkan global. Masuk dalam jaringan-jaringan internasional dalam beberapa kejahatan tertentu,” kata Josias.
Hubungan itu, kata Josias, terjalin karena adanya posisi yang saling menguntungkan satu sama lain. Hubungan dengan pihak swasta, banyak berkutat di jasa penagihan utang. Selain itu, mereka bertumbuh di pusat keramaian, seperti pasar atau mal. Dalam pembagian jatah ini, ujar Josias, biasanya sudah ditentukan kelompok formal dan informal yang dilibatkan.
“Kalau tidak, upaya antisipasi terjadinya ketidaktertiban, bahkan gangguan kejahatan itu sangat sulit tanpa melibatkan aparat formal dan informal,” katanya.
Josias membeberkan, negara juga berperan dalam pembagian wilayah kekuasaan. Menurutnya, jika itu tidak dilakukan, maka membuka kemungkinan adanya pertikaian antargeng dalam perebutan wilayah.
Eksisnya kelompok preman di Jakarta, menurut Josias lantaran mereka bisa ditertibkan, tetapi bisa pula dipelihara negara. Pada konteks tertentu, negara membutuhkan kelompok tersebut.
"Misalnya, kekurangan aparat dibandingkan luasnya wilayah, itu membuat penting adanya kelompok-kelompok ini, tapi dengan pelimpahan kewenangan yang sangat terbatas atau hanya membantu," ujar dia.
Namun, hal ini bisa menjadi masalah ketika muncul kelompok baru dengan ragam latar belakang. Sebab, dengan cara memanfaatkan mereka, berisiko memberi peluang kelompok-kelompok baru untuk berkembang menjadi masif.
Josias memandang, kasus penyerangan kelompok John Kei ke kubu Nus Kei beberapa waktu lalu merupakan ekses dari kemanfaatan kelompok-kelompok itu. Ia mengatakan, pada konteks yang lain, aparat keamanan harus tegas dalam penegakan hukum terhadap kelompok yang melakukan tindak kriminal.
"Tanpa upaya yang tegas itu, negara atau pihak penegak hukum, terkesan mudah dan kurang berperan," tuturnya.