Indonesian Corruption Watch (ICW) menyatakan menolak nama-nama calon Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pilihan Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Selain itu, ICW juga menolak keseluruhan konsep adanya Dewan Pengawas KPK.
“Jadi, siapa pun yang ditunjuk presiden untuk menjadi Dewan Pengawas KPK, tetap menggambarkan bahwa negara gagal memahami konsep penguatan terhadap lembaga anti korupsi seperti KPK,” kata Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, saat dihubungi melalui pesan singkat di Jakarta pada Kamis (12/12).
Berdasarkan informasi yang beredar, Presiden Joko Widodo telah mengantongi nama-nama Dewan Pengawas KPK. Santer terdengar ada nama mantan Wakil Ketua KPK Tumpak Pangabean, dan pakar hukum pidana Romli Atmasasmita.
Kemudian, mantan hakim agung Gayus Lumbuun, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Adi Toegarisman, seorang jurnalis Budiman TR, serta mantan dua anggota panitia seleksi calon pimpinan KPK, Indriyanto Seno Adji dan Harkristuti Harkrisnowo.
Menurut Kurnia, penolakan tersebut didasari lantaran secara teoritik KPK termasuk lembaga negara yang independen. Karenanya, tidak mengenal adanya konsep dewan pengawas. Menurutnya, sifat dari lembaga independen ialah untuk membangun sistem pengawasan.
“Sistem pengawasan yang dimaksud sudah dilakukan KPK. Ada Deputi Pengawas Internal dan Pengaduan Masyarakat. Bahkan, kedeputian tersebut pernah menjatuhkan sanksi etik kepada dua pimpinan KPK, yakni Abraham Samad dan Saut Situmorang,” ujar Kurnia.
Selain itu, kata Kurnia, lembaga antirasuah juga sudah memiliki lembaga pengawas eksternal, seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan presiden. "Lalu pengawasan apa lagi yang diinginkan oleh negara?" katanya.
Selain itu, dia menyebut, kewenangan Dewan Pengawas KPK yang diatur oleh regulasi baru terlampau berlebihan. Sebab, kewenangan tersebut sudah masuk dalam ranah pro justicia, seperti perlunya meminta izin sebelum melakukan tugas penindakan.
"Sementara di saat yang sama, justru kewenangan pimpiman KPK sebagai penyidik dan penuntut dicabut," tutur dia.
Lebih lanjut, Kurnia menuturkan, kehadiran Dewan Pengawas KPK dikhawatirkan menjadi sarana intervensi pemerintah terhadap proses hukum yang berjalan di KPK. Sebab, penunjukan jabatan strategis untuk pertama kali itu dipilih oleh Presiden Jokowi.
"Jadi, siapa pun yang dipilih oleh presiden untuk menjadi Dewan Pengawas tidak akan merubah keadaan, karena sejatinya per tanggal 17 Oktober 2019 kelembagaan KPK sudah mati suri," ucap dia.
Kurnia menambahkan, kehadiran Dewan Pengawas KPK semakin menunjukkan bahwa sikap pemerintah dan DPR menginginkan lemahnya lembaga antirasuah. "Pemerintah dan DPR memang tidak menginginkan negeri ini terbebas dari korupsi," tutur Kurnia.
Seperti diketahui, Dewan Pengawas KPK adalah struktur baru dalam tubuh lembaga antirasuah berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.
Pasal 69A ayat (l) UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK menyatakan "Ketua dan anggota Dewan Pengawas untuk pertama kalinya ditunjuk dan diangkat oleh Presiden Republik Indonesia".
Kehadiran Dewan Pengawas di bawah presiden memang diatur sebagaimana dalam Pasal 37A, Pasal 37B, Pasal 37C, Pasal 37D, Pasal 37E, Pasal 37F, Pasal 37G, serta Pasal 69A, Pasal 69B, Pasal 69C, dan Pasal 69D.
Anggota Dewan Pengawas berjumlah lima orang. Mereka bertugas mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi, memberikan izin atau tidak memberikan izin penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan.
Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin sebagaimana dimaksud paling lama 1 x 24 jam sejak permintaan izin diajukan.
Berdasarkan Pasal 69 D UU No 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK disebutkan "Sebelum Dewan Pengawas terbentuk, pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dilaksanakan berdasarkan ketentuan sebelum Undang-Undang ini diubah".
Dewan Pengawas juga bisa menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat mengenai adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau pelanggaran ketentuan.