Koalisi Save Mahkamah Konstitusi mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan proses legislasi Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka menemukan kejanggalan dari beberapa poin yang akan direvisi.
Koalisi itu, terdiri dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif), Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) FH UNAND, Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada (Pukat UGM), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
"Koalisi Save Mahkamah Konstitusi mendesak agar Presiden Joko Widodo menolak membahas perubahan UU MK dan DPR menghentikan proses legislasi yang tidak berkualitas dan produktif serta fokus pada penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya," ujar angota koalisi dari ICW Kurnia Ramadhana, dalam keterangan resmi yang diterima Alinea.id, Senin (4/5).
Setidaknya terdapat tiga persoalan utama yang tercantum dalam draf regulasi itu. Pertama, kenaikkan masa jabatan Ketua dan Wakil Ketua MK, dari dua tahun enam bulan menjadi lima tahun, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat (3) RUU MK.
Kedua, menaikkan syarat usia minimal Hakim Konstitusi, dari 47 tahun menjadi 60 tahun, sebagaimana direncanakan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf d RUU aquo. Ketiga, masa jabatan hakim konstitusi diperpanjang menjadi hingga usia pensiun, yaitu hingga usia 70 tahun.
Kurnia menilai, perubahan yang bersifat teknis kinerja MK ini disinyalir mempunyai tujuan untuk menjegal beberapa regulasi yang tengah diuji materi atau judicial review.
"Perubahan ini disinyalir menjadi cara untuk 'menukar guling' supaya MK dapat menolak sejumlah pengujian konstitusionalitas yang krusial, seperti Revisi UU KPK dan Perppu Penanganan Covid-19," ujarnya.
Lebih lanjut, peneliti ICW itu menilai perubahan regulasi MK tidak mendesak. Pasalnya, Indonesia kini tengah mengatasi pandemi Covid-19. Kurnia menyarankan agar DPR dapat mengarahkan segala fungsinya pada penanganan permasalahan kesehatan masyarakat. "Bukan membentuk undang-undang yang bermuatan kontroversial," papar dia.
Selain itu, RUU MK dianggap kental dengan nuansa konflik kepentingan. Sebab, saat ini MK tengah menyidangkan dua undang-undang yang diusulkan oleh DPR dan Presiden, yakni uji formil UU KPK dan uji materi Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang dihujani banyak kritik.
"Jika menelisik substansi RUU ini justru yang diuntungkan adalah MK itu sendiri, sehingga publik khawatir ini akan menjadi bagian 'tukar guling' antara DPR, Presiden, dan MK," ujar Kurnia.
Di samping itu, isi RUU MK dinilai tidak substansial dengan persoalan yang ada. DPR juga dianggap tidak melibatkan publik dalam merubah regulasi tersebut.
"Naskah perubahan RUU ini semakin menambah catatan panjang produk legislasi DPR yang cacat formil dan tak sejalan dengan kebutuhan dan kehendak publik. Sebab, isu legislasi ini praktis tidak pernah melibatkan masyarakat, atau bahkan mungkin lembaga MK itu sendiri," ujar Kurnia.