Presiden Joko Widodo (Jokowi) diminta meninjau ulang keberadaan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) lantaran pendekatan sentralistis sulit berhasil. Dicontohkan dengan yang telah dilakukan dan dihasilkan BRIN.
"BRIN yang diharapkan dapat mensinergikan kelembagaan riset dan teknologi, yang berujung pada peningkatan kinerja invensi dan inovasi, ternyata sampai hari ini belum menghasilkan apa-apa," kata anggota Komisi VII DPR, Mulyanto, Jumat (10/2).
BRIN dibentuk dengan meleburkan sejumlah lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada, termasuk badan penelitian dan pengembangan (litbang) kementerian, sejak 2 tahun lalu. Namun, kebijakan tersebut menuai polemik.
Alih-alih proses konsolidasi yang menyeluruh, ungkap Mulyanto, yang terjadi justru transisi tanpa akhir. Misalnya, sumber daya manusia (SDM), organisasi, pendanaan dan anggaran riset, perencanaan program, peralatan dan ruang laboratorium, infrastruktur riset, aset, hingga kursi dan ruang kerja.
"Ini disebabkan karena sejak awal proses pembentukan kelembagaan BRIN bertele-tele, menuai kontroversi, penuh risiko, menimbulkan banyak korban, dan inkonstitusional," tutur politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.
Mulyanto lantas meminta Presiden Jokowi dan Ketua Dewan Pengarah BRIN, Megawati Soekarnoputri, segera bersikap. Apalagi, penggabungan lembaga riset menelan korban yang tidak sedikit dan mengancam kegiatan riset nasional.
"Kita dengar kisah tragis ratusan tenaga terampil dari kapal Baruna Jaya yang sesaat bersandar usai misi pelayaran langsung di-PHK. Begitu juga para ahli yang tengah mengembangkan vaksin Covid-19 di LBM Eijkman diberhentikan dan laboratoriumnya dipindah paksa. Laboratorium LAPAN di Pasuruan, Jawa Timur, ditutup. Maka, tak kurang menuai protes NASA," ungkapnya.
Mulyanto menambahkan, Indonesia terancam kekurangan peneliti dan periset apabila masalah ini dibiarkan berlarut-larut. "Mau sampai kapan pemerintah membiarkan peristiwa ini terjadi?"