close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Peneliti LIPI Syamsuddin Haris usai rilis survei Lembaga Survei Indonesia di Kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (6/10).Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
icon caption
Peneliti LIPI Syamsuddin Haris usai rilis survei Lembaga Survei Indonesia di Kawasan Menteng, Jakarta, Minggu (6/10).Alinea.id/Kudus Purnomo Wahidin
Nasional
Minggu, 06 Oktober 2019 19:53

Jokowi disarankan terbitkan Perppu sebelum pelantikan kabinet

Skenario tersebut dimaksudkan untuk menghindari konflik dengan kepentingan partai politik yang sejauh ini "ngotot" agar UU KPK dijalankan.
swipe

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengatahuan Indonesia (LIPI) , Syamsuddin Haris, menyarankan Presiden Jokowi membuat skenario penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk membatalkan Undang-Undang KPK.

Skenario tersebut dimaksudkan untuk menghindari konflik dengan kepentingan partai politik yang sejauh ini "ngotot" agar UU KPK dijalankan KPK.

Jika ingin mengeluarkan Perppu, ada baiknya Jokowi mencari waktu yang tepat agar tak tersandera dengan partai politik pendukungnya di Pilpres 2019. Misalkan saja setelah pelantikan dan sebelum penyusunan kabinet.

Hal ini dimaksudkan agar partai politik tak mengancam jalannya pelantikan presiden pada 20 Oktober. "Sebab jika dikeluarkan sebelum pelantikan, bisa jadi partai politik kecewa dan tak datang pelantikan. Bahkan bukan tidak mungkin mengganggu jalannya pelantikan," ujarnya di sela-sela rilis survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) di kawasan Mentang, Jakarta, Minggu (6/10).

Selain itu, untuk meningkatkan nilai tawar Jokowi terhadap partai politik pendukungnya. Jokowi bisa memberikan warning kepada elite. "Kalau mau masuk kebinet, harus ikuti keputusannya," ujarnya.

Untuk, materi Perppu sendiri, Syamsuddin memberikan tiga rekomendasi, yakni Perppu yang dimaksudkan untuk membatalkan keseluruhan UU KPK, Perppu yang isinya menunda pelaksanaan UU KPK, untuk memperbaiki sejumlah pasal yang melemahkan KPK, serta Perppu yang dikeluarkan untuk membatalkan sebagian pasal saja  yang melemahkan independensi KPK.

"Dari ketiga itu beliau bisa pilih yang paling ideal," ujarnya.

Apalagi hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) memperlihatkan, 60,7% publik mendukung gerakan mahasiswa menentang UU KPK. Kemudian 76,3% mendukung presiden membatalkan UU tersebut dengan mengeluarkan Perppu.

"Ini angka yang tak bisa dipandang remeh. Ini desakan yang bisa dibilang besar," ujarnya.

Jika Presiden Jokowi tidak menerbitkan Perppu, ia memprediksi selama lima tahun ke depan bakal diwarnai aksi unjuk rasa yang bisa mengganggu jalannya pemerintahan. Bisa jadi aksi itu dimanfaatkan orang yang bukan ingin memperjuangkan independensi KPK, melainkan yang ingin mengganggu pemerintahan Jokowi-Ma'ruf.

Meski demikian, Syamsuddin memahami Jokowi tengah menghadapi situasi yang tak mudah. Sebab inisiatif merevisi UU KPK ini datang dari partainya sendiri, yakni PDIP. "Sudah pasti membuat dia (Jokowi) galau dalam menyikapinya," ujarnya.

Sementara, pengamat hukum tata negara Bivitri Susanto, menilai penerbitan Perppu oleh presiden tidak perlu menunggu proses uji materi revisi UU KPK di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Tidak ada yang melarang Perppu tidak boleh dikeluarkan karena ada judicial review (uji materi), karena tidak ada kaitannya," ujar pengamat sekaligus pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, di Jakarta, Jumat.

Bivitri mengatakan tidak ada satu pun aturan baik dalam Undang-Undang Dasar maupun Undang-Undang MK yang melarang penerbitan Perppu saat undang-undang yang diperkarakan tengah melalui tahapan uji materi di MK.

Proses uji materi dilakukan di MK, sementara penerbitan Perppu sepenuhnya menjadi wewenang konstitusi presiden menurut pandangan subjektifnya.

"Jadi kapan saja presiden bisa mengeluarkan Perppu bila diinginkan," kata dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera itu. (Ant)

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan