Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengakui korupsi di Indonesia masih merajalela. Bahkan, banyak melibatkan penyelenggara negara di ranah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Ia lantas memerinci pejabat yang terjerumus kasus rasuah.
"Catatan saya, 2004-2022 yang dipenjarakan karena tindak pidana korupsi ada 344 pimpinan dan anggota DPR dan DPRD. [Sebanyak] 344 termasuk ketua DPR dan juga ketua DPRD," ujarnya dalam Puncak Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2023 di Jakarta, Selasa (12/12).
"Ada 38 menteri dan kepala lembaga. Ada 24 gubernur dan 162 bupati dan wali kota. Ada 31 hakim, termasuk hakim konstitusi. Ada 8 komisioner, di antaranya komisioner KPU (Komisi Pemilihan Umum), KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha), dan KY (Komisi Yudisial)," imbuhnya.
Jokowi melanjutkan, banyaknya pejabat yang dihukum tidak membuat korupsi berkurang bahkan berhenti. "Artinya, ini kita perlu mengevaluasi total."
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mendorong demikian lantaran berbagai program untuk mencegah penyimpangan yang telah dilaksanakan tidak berhasil mengerem kasus korupsi. Misalnya, online single submission (OSS), e-katalog, sistem logistik nasional (sislognas), dan sistem informasi pemerintah daerah (SIPD).
Menurut Jokowi, yang diperlukan untuk menekan kasus korupsi adalah pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana dan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal. "Saya harap pemerintah-DPR dapat segera membahas dan menyelesaikan," katanya.
RUU Perampasan Aset diprakarsai Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dengan mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption (UNCAC). Beleid tersebut bahkan telah diajukan ke DPR sejak 2008.
Dalam perkembangannya, tidak ada kemajuan berarti hingga kini setelah 15 tahun. Prosesnya masih tertahan di DPR.
Peneliti Pusat Penelitian Anti Korupsi Universitas Mulawarman (SAKSI Unmul), Herdiansyah Hamzah, memaklumi jika hal itu terjadi. Alasannya, bakal merugikan pejabat yang nantinya tersandung kasus korupsi.
"Kalau RUU ini disahkan oleh DPR dan pemerintah, itu seperti menggantung leher mereka sendiri karena yang potentially aset-asetnya dirampas adalah mereka," jelasnya kepada Alinea.id, Rabu (13/12).
Lebih jauh, Castro, sapaannya, sependapat dengan Jokowi soal perlunya RUU Perampasan Aset disahkan. Sebab, penanganan perkara yang dilakukan penegak hukum hingga sekarang belum optimal, khususnya menyita seluruh kekayaan koruptor.
"Bukan hanya kejaksaan, tapi semua APH (aparat penegak hukum) terkendala tidak adanya regulasi yang memadai dalam perampasan aset, termasuk perampasan aset penyelenggara negara yang kekayaannya meningkat secara tidak wajar. Karena itu, kita berkepentingan untuk mendesak agar RUU Perampasan Aset itu segera dibahas dan disahkan," ulasnya.
Ia meyakini disahkannya RUU Perampasan Aset akan memaksimalkan kinerja Badan Pemulihan Aset Kejaksaan Agung (BPA Kejagung). "Meskipun konteks perampasan dan pemulihan berbeda, tapi akan saling menguatkan, akan mengakselerasi."
Komitmen capres
Dua dari tiga calon presiden (capres) 2024 berkomitmen mendorong pengesahan RUU Perampasan Aset untuk memaksimalkan pemberantasan korupsi dalam debat perdana, 12 Desember. Hanya Prabowo Subianto yang tidak menyinggungnya.
"Yang mesti dilakukan adalah pemiskinan [koruptor]. Yang kedua, perampasan aset. Maka, segera kita bereskan Undang-undang Perampasan Aset," janji Ganjar Pranowo.
Pun demikian dengan Anies Baswedan. "Koruptor dijerakan dengan UU Perampasan Aset disahkan dan hukum mengikuti pemiskinan."
Pimpinan Pusat (PP) Pemuda Muhammadiyah mengapresiasi komitmen keduanya. Sebab, semangat untuk memberantas korupsi harus terus dilanjutkan oleh pemerintahan berikutnya.
"Kita mendukung penuh agar Undang-Undang [Perampasan Aset] itu bisa digolkan sepanjang itu untuk kepentingan yang terbaik untuk masyarakat dan negera dalam rangka mencegah adanya tindakan-tindakan korupsi," tutur Ketua Pemuda Muhammadiyah, Nasrullah, kepada Alinea.id, Kamis (14/12) malam.
Ia berpandangan, RUU Perampasan Aset memiliki peran vital memaksimalkan kinerja penegak hukum dalam pengusutan kasus korupsi. Setidaknya mengoptimalkan harta hasil kejahatan yang diperoleh para pelaku.
Nasrullah melanjutkan, tersendatnya pembahasan RUU Perampasan Aset karena belum ada titik temu antarlembaga pembuat undang-undang. Namun, diyakininya pemerintah dan DPR memiliki visi yang sama.
"Kalau dibilang hambatan, ya, mungkin karena banyak pembicaraan yang belum ketemu kali, ya. Tapi, saya kira, semangatnya samalah untuk kita dorong," jelasnya.