Presiden Joko Widodo menegaskan Indonesia adalah negara berdasarkan hukum. Siapapun, termasuk pejabat negara, harus mengikuti proses hukum.
Pernyataan Jokowi menanggapi dugaan menteri menerima uang korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik atau e-KTP. Dalam pemeriksaan di persidangan, terdakwa Setya Novanto mengatakan, berdasarkan keterangan Andi Narogong dan Made Oka Masagung kepada dirinya, Puan Maharani dan Pramono Anung masing-masing menerima US$ 500 ribu.
Saat proyek e-KTP bergulir, Puan dan Pramono masih menjabat di DPR RI. Sekarang, Puan dan Pramono duduk sebagai menteri.
"Ya, negara kita ini negara hukum, jadi kalau ada bukti hukum, ada fakta-fakta hukum, ya diproses saja," kata Jokowi saat diminta menanggapi keterangan Setya Novanto, Jumat (23/3), dilansir Antara.
Masih di persidangan, Novanto juga merinci anggota dewan yang diduga menikmati bancakan korupsi E-KTP, yakni Chairuman Harahap, Ganjar Pranowo, Melchias Mekeng, Tamsil Linrung, Olly Dondokambey, dan Jafar Hafsah.
Menurut Jokowi, semua harus berani bertanggung jawab. Namun, proses hukum harus dengan bukti kuat. "Ada fakta-fakta hukum, ada bukti-bukti hukum yang kuat," kata Jokowi.
Pramono Anung mengaku siap dihadapkan langsung dengan siapapun dan di manapun terkait kesaksian Novanto. "Karena ini sudah menyangkut integritas," ujar dia.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menyatakan, KPK akan mempelajari munculnya nama Puan dan Pramono dalam persidangan. Keterangan Novanto tak bisa langsung dipercaya karena dia mendapat informasi dari orang lain.
"Maka, tentu informasinya perlu dikroscek dengan saksi dan bukti lain," ujar Febri dikutip dari Kompas.com.