Peneliti dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Muhammad Hanif melihat Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) salah langkah.
Hal itu setelah kubu OSO melaporkan dua komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yakni Ketua KPU Arief Budiman dan Komisioner KPU Hasyim Asy'ari ke Bareskrim Polri pada Jumat (21/12).
Pelaporan ini dilakukan karena OSO tidak menerima keputusan KPU yang mencoret namanya dari Daftar Calon Tetap (DCT) anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk pemilu 2019.
"Langkah OSO ini akan membahayakan semua keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Keputusan MK dapat dipermasalahkan oleh perserta pemilu nantinya," jelas Hanif dalam diskusi publik 'Pemilu 2019 Terancam, KPU Dikriminalisasi' di Sarinah, Jakarta, Minggu (30/12).
JPPR menilai permasalahan ini terjadi karena OSO kurang memahami Peraturan KPU (PKPU), UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu, dan putusan MK terkait pemilu.
Seperti diberitakan sebelumnya, melalui surat yang dikirimkan pada 8 Desember, KPU memberikan waktu hingga Jumat (21/12) kepada OSO untuk mundur dari jabatannya sebagai Ketum Hanura jika ingin namanya masuk ke dalam DCT anggota DPD Pemilu 2019.
Namun, hingga batas waktu yang ditentukan, OSO tidak membalas surat KPU. Akibatnya, nama OSO dicoret dari DCT.
KPU menyatakan sikap mereka berdasar pada putusan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang menyatakan ketua Umum parpol tidak boleh mencalonkan diri menjadi anggota DPD RI.
Hanif menilai langkah KPU yang berpegang pada keputusan MK sudah tepat dan berharap Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga akan mengambil keputusan yang adil.
"Saya berharap, kasus ini tidak lagi diperpanjang karena kalau misalnya penyelanggara pemilu selalu diusik, maka jalannya pemilu 2019 ini nanti akan terbebani," ungkap Hanif.
Sementara Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai adanya kejanggalan dalam penanganan permasalahan ini.
Sesuai dengan MK No. 30/PUU-XVI/2018 yang melarang ketua umum partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD, KPU mencoret nama OSO dari DCT.
Namun ternyata sejak tahap pencalonan awal, OSO sudah tidak memenuhi syarat tersebut karena tidak pernah menyerahkan surat pengunduran diri sebagai syarat pencalonan.
"Anehnya di Daftar Calon Sementara (DCS), syarat ini diabaikan oleh KPU dan mereka meloloskan OSO. Kenapa KPU lalai dan tidak memeriksa status pemenuhan syarat OSO?" tutur Feri dalam diskusi umum 'Pemilu 2019 Terancam, KPU Dikriminalisasi' di Sarinah, Jakarta, Minggu (30/12).
Sebagai lembaga yang bertugas mengawasi KPU, Feri menyebut, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) juga melakukan kelalaian.
"Dugaan saya, jangan-jangan pencoretan di DCT ini sudah terencana. Kalau ada permasalahan di DCT, penyelesaiannya lewat tiga jalur yakni Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)," imbuhnya.
Sedangkan jika sudah dipermasalahkan saat masih di DCS, maka proses penyelesaiannya tidak akan sepanjang ini. Seluruh pihak hanya menunggu putusan MK yang nantinya harus dipatuhi KPU dan Bawaslu.
Sebelumnya Kuasa Hukum OSO Firman Kadir mengklaim KPU melanggar pidana pemilu karena tidak menjalankan putusan PTUN. PTUN sebelumnya memerintahkan KPU untuk mencabut DCT anggota DPD yang tidak memuat nama OSO.
OSO berkukuh tidak mau mundur karena berpegang pada putusan MA terkait aturan yang sama.
Melalui putusannya, MA menegaskan, aturan tidak diperkenankannya calon anggota DPD dari parpol baru mulai berlaku untuk Pemilu 2024.
Feri menilai Bawaslu membuka ruang agar kubu OSO dapat melakukan gugatan sengketa administrasi ini. Menurutnya Bawaslu sengaja mengabaikan kelalaian KPU dan meloloskan OSO hingga tahap DCT.
Pelolosan ini akhirnya mempermudah kubu OSO mengajukan gugatan ke KPU.
"Jadi dugaan saya, semua ini sudah direncanakan dengan sangat rapih untuk membiarkan OSO bisa tetap kembali masuk ke dalam DCT," tukasnya.