Jaksa penuntut umum (JPU) menganggap nota keberatan mantan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Muhammad Rizieq Shihab, tentang dakwaan sarat fitnah, tuduhan keji, dan diskriminatif terhadap sejumlah kasus pelanggar protokol kesehataan (prokes) adalah mengada-ada dan tidak berdasar.
Pernyataan ini merespons poin 1 pendahuluan halaman 4 eksepsi Rizieq yang menyatakan, dakwaan penuh dengan fitnah dan tuduhan keji terhadap terdakwa serta ada perlakuan diskriminatif terhadap penindakan prokes lainnya, seperti kerumunan putra sulung dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi), Gibran Rakabuming Raka-Muhammad Bobby Afif Nasution, saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di Surakarta dan Medan serta Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres), Habib Luthfi bin Yahya, di Pekalongan.
Kemudian, pelanggaran prokes selebritas Raffi Ahmad dan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, di pesta keluarga pembalap Sean Gelael, kerumunan Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat Deli Serdang, hingga kerumunan yang ditimbulkan saat Presiden Joko Widodo melakukan kunjungan kerja di Maumere, NTT, pada 23 Februari 2021.
"Alasan-alasan yang dikemukakan terdakwa tersebut di atas, kami anggap hanya sebuah penggiringan opini yang mengada-ada, berlebihan, dan tidak berdasar," kata JPU saat membacakan tanggapannya atas materi eksepsi Rizieq dalam persidangan yang disiarkan KompasTV dari Pengadilan Negeri Jakarta Timur (PN Jaktim), Selasa (30/3).
Menurut JPU, alasan Rizieq yang merasa diskriminatif atas sejumlah kasus pelanggar prokes tidak ditindak hanya membuat asumsi untuk mengaitkan pelaksanaan tugas penegakan hukum dan menyudutkan penuntut umum (PU).
"Untuk menyudutkan posisi PU sebagai pihak yang seolah-olah harus turut bersalah dan bertanggung jawab atas terjadinya asumsi-asumsi tindakan yang diskriminatif dalam proses penegakan hukum sebagaimana yang dicontohkan terdakwa tersebut," terang JPU.
JPU lalu menjelaskan pelaksanaan tugas PU seperti yang tertera dalam Pasal 6 huruf a dan b KUHAP. Dalam diktum a menjelaskan, jaksa merupakan pejabat yang diberi wewenang untuk bertindak sebagai PU serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh hukum tetap.
Adapun diktum b berbunyi, PU adalah jaksa yang diberikan wewenang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. "Berdasarkan penjelasan itu, justru membingungkan kami tentang dari mana sudut pandang terdakwa muncul hingga mempunyai anggapan bahwa PU telah lakukan tindakan-tindakan yang diskriminatif terhadap terdakwa kapan dan bagaimana caranya," tutur JPU.
"Yang jelas, hal-hal tersebut sepertinya tidak perlu lagi kami tanggapi lebih lanjut karena dibangun berdasarkan opini-opini yang tidak berdasar secara yuridis dan tidak termasuk dalam lingkup materi eksepsi sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP sehingga sudah sepatutnya untuk ditolak dan dikesampingkan oleh majelis hakim," pinta JPU.
Dalam perkara kerumunan di Petamburan ini, Rizieq didakwa menghasut masyarakat untuk menghadiri acara pernikahan putrinya dan Maulid Nabi saw di Markas FPI serta melanggar prokes. Dia lantas didakwa pasal berlapis, yakni Pasal 160 KUHP jo Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, atau Pasal 216 KUHP, atau Pasal 93 UU Kekarantinaan Kesehatan, atau Pasal 14 Ayat (1) UU Wabah Penyakit Menular dan Pasal 82 Ayat (1) jo Pasal 59 Ayat (3) UU Ormas.