Jaksa penuntut umum (JPU) dalam persidangan kasus dugaan korupsi usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin di Provinsi Riau periode 2004-2022, meminta majelis hakim menolak pledoi dari Surya Darmadi. Nota pembelaan itu disampaikan dalam persidangan pada Rabu (15/2) dan Kamis (16/2).
JPU memandang, uraian pembelaan oleh pihak kuasa hukum maupun Surya Darmadi sendiri, disampaikan dengan sudut pandang yang keliru. Maka dari itu, putusan dalam tuntutan dianggap tepat tetap dapat dijatuhkan pidana seumur hidup.
"Berdasarkan hal tersebut di atas, penuntut umum memohon kepada majelis yang memeriksa dan mengadili perkara untuk menolak seluruh pembelaan yang disampaikan oleh pribadi terdakwa Surya Darmadi dan penasihat hukumnya," kata JPU dalam sidang replik, Kamis (16/2).
JPU menyebut, penasihat hukum telah salah mengambil kesimpulan dalam pledoi yang disampaikan, yang menyatakan tindak pidana korupsi pada kasus ini tidak terbukti. Menurut JPU, tindak pidana di bidang kehutanan, perbankan, perkebunan, dan yang lainnya dapat dikenakan Undang-undang Tipikor apabila memenuhi rumusan-rumusan unsur tindak pidana korupsi.
"Suatu perbuatan yang diawali dengan adanya pelanggaran administrasi yang berakibat adanya kerugian negara, maka merupakan suatu tindak pidana korupsi," ujar JPU.
Dalam pledoi, Surya Darmadi mempertanyakan perihal kesalahan yang dituntutkan kepada dirinya dalam kasus dugaan korupsi usaha perkebunan kelapa sawit tanpa izin di Provinsi Riau periode 2004-2022.
Surya mengklaim dirinya dikenal sebagai pengusaha yang tidak pernah memiliki masalah dengan hukum. Selain itu, ia juga mengklaim bahwa usaha perkebunan yang dikelola oleh perusahaan miliknya selama puluhan tahun itu, juga merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia.
"Pada saat perkara ini terkena pada diri saya, dari awal saya bertanya, di mana salah saya? Karena kebun yang di perusahaan sudah saya kelola, sudah berjalan kurang lebih 26 tahun, tidak pernah ada masalah, tidak pernah diberikan teguran. Apalagi surat dokumen yang saya miliki tidak pernah dinyatakan cacat dan dibatalkan," ujar Surya di persidangan, Kamis (16/2).
Sementara, kuasa hukum menyebut Surya mengalami perlakuan diskriminatif pada proses hukum di perkara ini. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan milik Surya Darmadi disebut telah mengirimkan surat resmi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Surat tersebut terkait dengan persyaratan yang harus dilengkapi dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi kepada negara sesuai ketentuan Undang-undang Cipta Kerja. Namun, Surya Darmadi justru diproses secara hukum terkait kegiatan usaha yang dilakukannya.
"Bagaikan disambar petir di siang bolong, bukannya mendapat izin atau diproses sesuai Undang-undang Cipta Kerja, malahan terdakwa Surya Darmadi diproses pidana dengan tuduhan korupsi karena melakukan kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan tanpa adanya izin di kawasan hutan," kata Juniver Girsang dalam persidangan, Rabu (15/2).
Pada persidangan pekan lalu, JPU menuntut terdakwa Surya Darmadi dengan pidana seumur hidup. Bos PT Duta Palma Group itu juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsider pidana kurungan enam bulan.
"Menuntut supaya dalam perkara ini majelis hakim memutuskan menghukum terdakwa Surya Darmadi dengan pidana penjara seumur hidup," kata JPU Muhammad Syarifudin dalam persidangan, Senin (6/2).
Surya atau yang dikenal dengan Apeng tersebut juga dituntut untuk mengganti kerugian keuangan negara dan kerugian perekonomian negara senilai puluhan triliun rupiah. Uang pengganti kerugian keuangan negara dan perekonomian negara itu dibayarkan dalam kurun waktu satu bulan sesudah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap.
"Membebankan kepada terdakwa untuk membayar uang pengganti atas kerugian keuangan negara sebesar Rp4.798.706.951.641 dan US$7,785,857.36 dan kerugian perekonomian negara sebesar Rp73.920.690.300.000," tutur jaksa.