Jaringan Reformasi Kebijakan Narkotika (JRKN) mendorong pemerintah melakukan dekriminalisasi terhadap pengguna narkotika. Sebab, lebih banyak manfaatnya daripada menerapkan hukum pidana. Apalagi, sudah dipratikkan Portugal dan berdampak positif.
Perwakilan JRKN, Girlie Aneira, menyampaikan, Portugal melakukan dekriminalisasi kala 0,7% populasinya menggunakan heroin dan 60% infeksi HIV karena penggunaan heroin. Program tersebut didorong komite yang berisikan dokter, sosiolog, psikolog, pengacara, dan aktivis sosial, yang dibentuk pemerintah Portugal pada 1988. Setelah memberlakukan dekriminalisasi, yang diiringi perubahan pendidikan tentang narkotika, angka penggunaan narkotika usia sekolah di Portugal secara konsisten di bawah rerata Eropa.
"Jika Presiden dan jajarannya masih menanggap solusi permasalahan ini dengan narasi penghukuman apalagi perang terhadap narkotika, maka sayang sekali, itu berarti ... pemerintah tidak belajar dari praktik baik negara-negara yang juga mengalami permasalahan penggunaan narkotika," ujarnya dalam keterangannya.
Peneliti ICJR ini mengingatkan, dekriminalisasi tak berarti tidak ada respons terhadap pengguna narkotika. Sebab, dekriminaliasi bertujuan menghilangkan respons berwatak menghukum dan mempidana menjadi pengarusutamaan pada kesehatan.
"Menurut komite ahli di Portugal, yang berisikan lintas disiplin, dekriminalisasi adalah jalan paling efektif untuk mengurangi konsumsi narkotika yang bermasalah dan mencegah orang menjadi ketergantungan. Dengan dekriminalisasi, pengguna narkotika tidak akan takut mengakses layanan kesehatan jika membutuhkan dan kita bisa memberikan pemahaman kepada publik bagaimana penggunaan narkotika yang aman dan mencegah dampak buruknya," tuturnya.
Lebih jauh, Girlie mengungkapkan, terjadi peningkatan pengguna narkotika secara global. Merujuk data World Drug Report (WDR) UNODC 2023, jumlah pengguna narkotika global mencapai 296 juta orang pada 2021 atau naik 23% dalam 10 tahun terakhir. Peningkatan karena bertambahnya jumlah penduduk dunia.
Dari jumlah tersebut, WDR 2023 menuliskan, 13% dari pengguna narkotika mengalami gangguan. Dengan demikian, terjadi peningkatan mengingat laporan WDR 2019 mencatat, hanya 1 dari 9 pemadat yang penggunaan narkotikanya berdampak pada masalah kesehatan dan sosialnya.
"Kita perlu sama-sama tekankan adalah jangan sampai peningkatan jumlah pengguna narkotika justru menjadi legitimasi untuk menghadirkan kebijakan yang salah: yang menghukum pengguna malah meningkatkan risiko penggunaan narkotikanya menjadi berdampak pada kesehatan dan sosialnya," katanya.
Bagi Girlie, rehabilitasi bukan alternatif solusi tunggal dalam menanggulangi penyalahgunaan narkotika. Apalagi, rehabilitas bersifat paksa. Kemudian, 13% pengguna narkotika yang mengalami masalah membutuhkan pendekatan yang bervariasi dan tak terbatas rehabilitasi rawat inap/jalan.
"Upaya dekriminalisasi dengan pendekatan kesehatan serta intervensi berbasis sosial bagi 87% pengguna narkotika tanpa gangguan [lebih baik] ketimbang mengirim mereka ke penjara dan/atau layanan rehabilitasi yang bersifat mandatory, di mana justru peredaran narkotika bebas dilakukan serta membuka celah pemerasan bagi pengguna narkotika yang dilakukan oknum rehabilitasi," ucapnya.
Girlie menambahkan, dekriminalisasi akan menjawab masalah overcrowding rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas). Merujuk kajian JKRN tentang skema dekriminalisasi pada revisi Undang-Undang (UU) Narkotika, diproyeksikan sekitar 66.420 pengguna narkotika (40%) dapat keluar dari sistem peradilan pidana. Berdasarkan data BNN, jumlah pengguna narkotika di Indonesia 1,95% atau 3,6 juta jiwa dari total penduduk.
Selain itu, menghemat belanja negara Rp1.615.666.500 per hari atau Rp589.718.272.500 per tahun. "Dalam jangka panjang, jika penghematan dilakukan setiap tahunnya, biaya yang bisa ditekan negara yang terseok-seok karena overcrowding tersebut dapat mencapai Rp8 triliun pada 2024 dan Rp8,99 triliun pada 2025," jelasnya.
Kendati demikian, JKRN membuat klasifikasi pengguna narkotika yang bisa dikenakan dekriminalisasi. Yakni, pemakaian untuk kepentingan pribadi dan dalam rentang gramasi tertentu.
"Sudahlah, kita harus mawas diri bahwa di Indonesia memang ada pengguna dan kebutuhan narkotika dan penghukuman tidak menurunkan angka pengguna. [Penghukuman] justru menjauhkan pengguna dari layanan kesehatan, yang membuatnya justru terus menerus 'diporoti' pasar gelap. Pun pasar gelapnya dikendalikan aparat korup bahkan sekelas jenderal polisi," tandas Girlie.