Ketua Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI), Tri Ambarwatie mendorong jurnalis perempuan untuk lebih proaktif menggeluti isu-isu gender. Menurut dia, ruang redaksi atau newsroom jurnalisme Indonesia masih belum ramah gender.
Menurut Tri, dari segi jumlah, keberadaan jurnalis perempuan di Indonesia memang masih kalah jauh ketimbang jurnalis pria. Berdasarkan survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia 2012, dari sepuluh jurnalis, hanya ada dua sampai tiga jurnalis perempuan.
"Mungkin hanya di Jakarta komposisi jurnalis perempuan dan laki-laki mencapai 40 berbanding 60. Di luar kota Jakarta, terutama di kota-kota madya, ketimpangan jumlah jurnalis perempuan dan laki-laki sangat terasa dan memprihatinkan," kata Tri dalam webinar LP3ES bertajuk "Peran Perempuan dalam Perubahan Sosial" menyambut Hari Kartini, Rabu (21/4).
Kendati jumlahnya sedikit, Tri mengatakan keberadaan jurnalis perempuan sangat krusial, terutama keberpihakan terhadap isu-isu gender. Baik dari segi kepedulian terhadap persoalan-persoalan sosial, empati kepada korban, pemilihan angle berita, hingga keberpihakan kepada perempuan dan anak.
Dia kemudian mencontohkan kasus prostitusi online yang menjerat artis Vanessa Angel (VA) pada 2019 di Jawa Timur. Saat itu, Tri selaku produser program mengaku tidak larut dengan euforia pemberitaan, termasuk mengejar rating share. Dia memilih meliput kasus VA tersebut pada saat yang bersangkutan ditangkap, masuk sidang dakwaan dan sidang vonis.
"Karena menurut saya ini masalah sosial. Saya gak ingin remaja putri berpikir bahwa begitu mudah mendapatkan uang dengan terjun ikut prostitusi online. Jadi penting sekali bagi jurnalis perempuan bahwa tidak hanya rating share tapi juga kepedulian sosial," jelas Tri.
Selain menyoroti masalah isu gender di ruang redaksi, Tri membeberkan sejumlah tantangan yang dihadapi jurnalis perempuan di Indonesia saat ini. Pertama, masih ada pandangan yang cenderung menilai jurnalis perempuan hanya dari penampilan fisik daripada karya jurnalistik. Kondisi itu kerap terjadi di media televisi.
"Padahal yang perlu adalah wawasan yang baik, menulis dengan baik, bisa mencerahkan, bukan melulu penampilan," kata dia.
Tantangan kedua, sambungnya, ialah kecenderungan menjual sensasionalisme di televisi untuk mengejar rating, dan media online untuk mengejar traffic dengan mengeksploitasi perempuan dari sisi fisik serta menguatkan stereotip yang seksis.
Tantangan ketiga ialah soal keselamatan bagi jurnalis dan pekerja perempuan di perusahaan media. "Masih banyak yang mengalami pelecehan di ruang redaksi, saat bekerja di lapangan, maupun cyber bullying," jelas Tri.
"Jadi, menurut saya ini betapa pentingnya pendidikan perspektif gender di ruang redaksi, baik bagi jurnalis laki-laki dan perempuan," pungkasnya.