Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 2 melanggar peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011. Pangkalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023, yang memungkinkan putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu maju pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 belum ditindaklanjuti pembuat UU melalui legislative review atau peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
Demikian disampaikan Guru Besar Perbandingan Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Ratno Lukito, saat memberikan pendapatnya sebagai saksi ahli dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik Perkara Nomor 135/PKE-DKPP/XII/2023 di Kantor Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Senin (15/1).
Ia menyampaikan, Putusan MK Nomor 90 adalah putusan yang bersifat tidak bisa dieksekusi (non-executable). Oleh karena itu, sesuai Pasal 10 ayat (1) huruf d dan ayat (2) UU 12/2011, putusan tersebut harus ditindaklanjuti pembuat UU, baik presiden maupun DPR, dengan mengubah rumusan norma hukum yang dibatalkan agar tidak ada kekosongan hukum.
"Praktik yang dilakukan oleh presiden atau DPR dan KPU ternyata tidak seperti yang diamanatkan dalam UU," ujarnya dalam sidang.
Diketahui, salah satu syarat seseorang menjadi calon presiden (capres) dan cawapres minimal berusia 40 tahun. Namun, ketentuan itu ditambahkan "atau sedang/pernah menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pilkada (pemilihan kepala daerah)" dalam Putusan MK Nomor 90. Gibran merupakan Wali Kota Solo dan genap berusia 36 tahun per 1 Oktober 2023.
Di sisi lain, dalam praktiknya, KPU pun merevisi Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 usai menerima pendaftaran Prabowo Subianto-Gibran. "Putusan MK Nomor 90 tersebut harus ditindaklanjuti oleh DPR dengan melakukan legislative review atau penerbitan perppu," tegas Ratno.
KPU lalai
Terpisah, Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta, mengamini argumen Ratno. Apalagi, ungkapnya, tidak ada perubahan regulasi ketika KPU menerima berkas pendaftaran Prabowo-Gibran sebagai pasangan calon (paslon) pada hari terakhir, 25 Oktober 2023.
"Saya pikir, adalah lalai yang dilakukan KPU sehingga ini menimbulkan masalah hukum," katanya kepada Alinea.id, Rabu (17/1).
Kaka melihat, pelanggaran tersebut bukan sebatas etika, melainkan mencakup hukum moral sehingga terjadi ketidakpastian hukum. Selain itu, sambungnya, masalah ini menjadi polemik hukum yang berbahaya.
Lebih jauh, ia berharap DKPP bisa mengambil keputusan dengan bijak dalam menyidangkan Perkara Nomor 135/PKE-DKPP/XII/2023 itu. Sebab, bisa memberikan kepastian hukum atas polemik tersebut. "Nah, putusannya [DKPP] melanjutkan atau menghentikan tentu, kan, akan punya konsekuensi."
Putusan MK bukan peraturan
Hal senada diutarakan pakar hukum tata negara Universitas Pembangunan Nasional (UPN) "Veteran", Wicipto Setiadi. Ia mengakui putusan MK bersifat final and mmengikat, tetapi bukanlah peraturan perundang-undangan.
Agar menjadi peraturan perundang-undangan yang bersifat mengikat umum, jelasnya, maka putusan MK harus ditindaklanjuti menjadi norma peraturan perundang-undangan. Apalagi, MK bukan lembaga pembentuk peraturan perundang-undangan (UU).
Lebih jauh, Wicipto menerangkan, dalam teori, legislator menjadi dua: positif (DPR) dan negatif (MK). Sayangnya, MK dalam praktiknya sudah menjadi legislator positif karena putusannya langsung mengikat tanpa dilakukan perubahan peraturan perundang-undangan.
"Putusan MK seharusnya menjadi bahan untuk membentuk norma peraturan perundang-undangan," ucapnya kepada Alinea.id, Kamis (18/1).
Wicipto mengingatkan, putusan MK mestinya tidak mengandung kecacatan, baik hukum maupun etik. Namun, yang kini terjadi justru sebaliknya.
Penegakannya pun, sambung dia, harus dipisahkan antara etik dan hukum. Pelanggaran etik tidak bisa dikenakan sanksi hukum apalagi pidana.
Berkaca atas situasi saat ini, Wicipto menyarankan Prabowo agar kelak memilih calon yang tak bermasalah etik ataupun hukum. "Sayangnya, kita masih belum tinggi tingkat kesadarannya, baik di bidang hukum maupun etik."