Kisah kapal selam Indonesia: Terkuat di Asia Tenggara pada 1960-an
Pada 1963, bersama lima orang wartawan, sastrawan Motinggo Boesje diundang Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) untuk melakukan reportase latihan Operasi Uratnadi. Mereka ikut kapal KRI Ratulangie, yang merupakan induk semang kapal selam. Kemudian, Motinggo menyelam bersama kapal selam Nanggala.
Latihan ALRI tersebut dilakukan sebagai persiapan konfrontasi dengan Malaysia. Motinggo berada di kapal selam Nanggala dari Juli hingga Agustus 1963. Pengalaman itu kemudian ia kisahkan dalam buku 888 Djam di Lautan (1963).
Di masa itu, Indonesia dikenal sebagai negara yang digdaya armada lautnya. Dalam buku Menuju Negara Maritim: Kajian Strategis Mewujudkan Poros Maritim Dunia (2018), Darmawan menyebut, Indonesia merupakan negara pertama di Asia Tenggara yang mengoperasikan kapal selam.
“Indonesia pernah mempunyai armada bawah laut terkuat di kawasan pada era 1960-an dan menjadi satu-satunya negara di belahan selatan yang punya 12 kapal selam kelas Whiskey,” tulis Darmawan.
Kapal selam itu didatangkan, seiring ketegangan dengan Belanda yang masih bercokol di Irian Barat, pada akhir 1950-an hingga awal 1960-an.
Kapal selam asal Uni Soviet
Pada 19 Desember 1961, di hadapan setengah juta warga yang berkerumun di alun-alun utara Yogyakarta, Presiden Sukarno menyerukan Tri Komando Rakyat (Trikora). Kesabaran Bung Karno sudah habis. Ia menegaskan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman Belanda.
Isi Trikora, yaitu gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan Belanda, kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat, dan bersiap mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan Tanah Air.
Kekuatan militer disatukan dalam Komando Mandala pada awal 1962, yang dipimpin Mayor Jenderal Soeharto. Sebagai persiapan bertempur, sebelumnya Indonesia mengadakan perjanjian dengan Uni Soviet.
Dalam buku 25 Tahun Trikora (1988) disebutkan, sebuah perjanjian pembelian senjata atas dasar kredit jangka panjang dengan Uni Soviet dilakukan pada akhir 1960. Perjanjian itu diwakili Menteri Pertahanan dan Keamanan, Abdul Haris Nasution.
“Pembelian senjata tersebut adalah yang terbesar dalam penambahan kebutuhan kekuatan militer,” tulis buku 25 Tahun Trikora.
Kapal selam termasuk armada yang dipesan Indonesia. Di dalam bukunya, Darmawan menyebut, pada Desember 1961 datang empat kapal selam yang diberi nama Nagabanda 403, Trisula 404, Nagarangsang 405, dan Tjandrasa 406. Menyusul pada Desember 1962 datang kapal selam Alugoro 407, Tjundamani 408, Widjajadanu 409, Pasopati 410, Hendradjala 411, dan Bramastra 412.
Sebelumnya, pada 7 September 1959, Indonesia kedatangan dua kapal selam yang tiba di Surabaya dari Polandia, yang diberi nama Tjakra 401 (Cakra I) dan Nanggala 402 (Nanggala I).
Seluruh kapal selam itu kelas Whiskey, produksi Uni Soviet. Di zamannya, kapal selam kelas Whiskey memiliki kemampuan paling canggih. Spesifikasi kapal selam ini dijabarkan Darmawan dalam bukunya.
“Kapal selam Whiskey memiliki panjang 76,6 meter, lebar 6,3 meter, kecepatan 18,3 knot di atas air, 13,5 knot di bawah air, berat penuh 1.300 ton, berat kosong 1.050 ton, jarak jelajah 8.500 mil laut, dengan bahan bakar solar dan 224 buah baterai,” tulis Darmawan, yang pernah menjadi anggota Dewan Pakar Persatuan Purnawirawan Angkatan Laut itu.
Lebih lanjut, Darmawan menulis, kapal selam kelas Whiskey bisa diawaki 63 orang, dengan persenjataan torpedo steam 12 buah sepanjang 7 meter, serta memiliki 6 peluncur torpedo. Empat peluncur torpedo di haluan diisi torpedo konvensional, sedangkan dua peluncur torpedo di buritan diisi torpedo listrik akustik mandiri (SAET-50).
“Keberadaan torpedo SAET-50 ini yang membuat lawan ciut nyali karena senjata ini menjadi salah satu torpedo tercanggih di masanya, yang dapat melakukan sistem fire and forget ke target yang dituju,” tulis Darmawan.
Bikin Belanda ciut
Di dalam buku Irian Barat dari Masa ke Masa (1971) disebutkan, pada Februari-Juli 1962 dilakukan serangkaian operasi kapal selam untuk meladeni Belanda di Irian Barat. Operasi itu meliputi Operasi Antaredja, Alugura, Lumba-Lumba, dan Tjakra. Operasi kapal selam ini merupakan bagian dari pra-Operasi Jayawijaya.
Pada 1 Juli 1962, menurut buku 25 Tahun Trikora, dibentuk Kesatuan Kapal Selam (KKS) 15, yang terdiri dari empat kapal selam, yakni Nagabanda, Trisula, Candrasa, dan Nagarangsang. Empat kapal selam ini melakukan Operasi Tjakra, dengan tujuan mendapatkan keunggulan di laut.
“Mereka akan menyerang kapal-kapal perang musuh di perbatasan. Kapal selam Nagabanda pernah dikejar pesawat Neptune dan dua destroyer Belanda di utara Kotabaru, dihujani 61 bom laut, tapi bisa lolos dari kepungan,” tulis buku Irian Barat dari Masa ke Masa.
Tugas kapal selam dalam Operasi Antaredja dan Alugura adalah patroli perang, pengintaian, dan penyerangan kapal-kapal perang musuh. Sementara Operasi Lumba-Lumba bertujuan mendaratkan pasukan di Kotabaru.
Pada 15 Agustus 1962, tulis buku 25 Tahun Trikora, sebanyak tiga kapal selam bertolak dari Teluk Sapu. Masing-masing membawa tim Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) sebanyak 15 orang. Hanya kapal selam Candrasa yang berhasil mendaratkan pasukan di Teluk Tanahmerah.
Pada 12 Agustus 1962, direncanakan perang terbuka, dengan Operasi Jayawijaya. Dalam operasi ini, kapal selam termasuk bagian penyerang. Ada enam kapal selam dari KKS-13 dan empat kapal selam dari KKS-15.
“Operasi Jayawijaya merupakan operasi terbesar. Sebanyak 120 kapal dikerahkan, 15.000 pasukan marinir dari ALRI didaratkan, menyusul 30.000 prajurit infantri Angkatan Darat,” tulis buku 25 Tahun Trikora.
Operasi itu rencananya tuntas dalam lima hari, sehingga Irian Barat bisa direbut dari Belanda. Namun, diplomasi berjalan di PBB. Maka, operasi ditunda selama 14 hari dari waktu yang sudah ditetapkan.
Belanda pun ciut. Pada 15 Agustus 1962, dilakukan penandatanganan Perjanjian New York, yang berisi pemindahan kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda ke Indonesia. Presiden Sukarno memerintahkan untuk menghentikan permusuhan pada 16 Agustus 1962. Dengan demikian, Operasi Jayawijaya pun dibatalkan.
Menurut Darmawan, setelah operasi pembebasan Irian Barat, terdapat beberapa catatan cemerlang kapal selam milik Indonesia itu. Misalnya, konvoi kapal induk Amerika Serikat pernah diadang dan diusir dari perairan Indonesia.
Kapal selam Nagarangsang 405 dan Brasmata 412 pernah bertugas hingga Pakistan untuk sebuah misi rahasia pada 1965. Lalu, Nagabanda pernah patroli hingga perairan Australia dan iseng membuang sampah di Perth tanpa terdeteksi.
“Selama hampir 30 tahun, kapal selam Whiskey mampu menjadi penangkal efektif setiap ancaman terhadap kedaulatan maritim Indonesia,” tulis Darmawan.
Pada awal 1980-an, kapal selam kelas Whiskey itu “pensiun” lantaran keterbatasan suku cadang, biaya perawatan yang mahal, dan faktor usia. Kapal selam Pasopati 410 adalah yang terakhir “diparkir” pada 25 Januari 1990. Sekarang, publik bisa melihat gagahnya Pasopati 410 yang bersandar abadi di tepi Sungai Kalimas, sebelah Delta Plaza Surabaya.
Seiring waktu, Indonesia membeli kapal selam Cakra 401 dari Jerman. Lalu, membeli kapal selam Nanggala 402 (Nanggala II), juga dari Jerman.
Menurut Kompas edisi 12 Juli 1981, serah terima kapal selam Nanggala 402 yang berbobot 1.200 ton itu dilakukan di galangan kapal Howald Deuts She Werke di Kota Khiel, diwakili duta besar RI untuk Jerman, Josef Muskita.
Pada 2000-an, tiga kapal selam didatangkan dari Korea Selatan, yakni Alugoro 405, Ardadedali 404, dan Nagapasa 403. Dengan begitu, Indonesia punya lima kapal selam.
Namun, menurut Haryanto Kadir dalam tulisannya “Berdaulat di Bawah Laut” di buku Dinamika Kelautan Nasional (2017), idealnya Indonesia punya lebih dari 10 kapal selam untuk patroli pengawasan dan pendektesian dini.
Haryanto membandingkan negara tetangga yang punya kapal selam lebih banyak ketimbang Indonesia, meski perairan mereka tak seluas Nusantara. Ia menulis, Singapura punya enam kapal selam, Malaysia empat kapal selam, sedangkan Australia ada enam kapal selam.
“Bahkan Vietnam memiliki enam kapal selam,” tulis Haryanto.
Ironisnya, Indonesia kehilangan satu kapal selam usai Nanggala 402 dinyatakan tenggelam di kedalaman lebih dari 800 meter di bawah laut utara Bali pada Sabtu (24/4). Sebelumnya, pada Rabu (21/4) Nanggala 402 melakukan latihan penembakan senjata strategis. Sebanyak 53 prajurit di dalamnya gugur dan menjaga samudera untuk selamanya.