Kurang dari sebulan setelah dilantik menjadi Kapolri, Jenderal Listyo Sigit melalui Bareskrim Polri meluncurkan polisi siber (virtual police). Ini merujuk Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif.
Sigit mengklaim, keberadaan polisi siber membantu menekan peredaran konten-konten negatif di ruang maya. Dalihnya, sebanyak 1.042 konten negatif diajukan polisi siber.
"Di mana 691 lolos verifikasi, 209 tidak lolos, dan 142 dalam proses verifikasi," katanya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Senin (24/1).
Mantan Kabareskrim ini menerangkan, pengguna media sosial (medsos) yang kedapatan membuat dan/atau menyebarkan konten negatif dan diduga melanggar UU ITE mula-mula akan edukasi melalui pesan langsung (direct message) via WhatsApp atau media lainnya. Itu disebut sebagai peringatan.
Di sisi lain, Sigit mengakui, penggunaan UU ITE untuk penegakan hukum di ruang siber acapkali menimbulkan polemik dan perdebatan. Pangkalnya, banyak ketentuan-ketentuan yang multitafsir atau pasal karet dan dinilai melanggar kebebasan berekspresi dan berpendapat bahkan menganggap Polri represif.
Dalam merespons dinamika tersebut, dirinya lalu menerbitkan telegram dan meneken surat keputusan bersama (SKB) dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dan Jaksa Agung.
Meskipun demikian, Sigit menegaskan, konten-konten yang berpotensi memecah belah bangsa, disintegrasi, intoleransi, dan menangdung unsur SARA dapat diproses. Dalihnya, diatur dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 156 dan Pasal 106 KUHP, dan sebagainya.
"Pemberlakuan aturan tersebut untuk membatasi UU ITE sehingga tercipta budaya dan beretika ruang siber yang bersih," pungkasnya.