close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi buoy yang terdampar. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi buoy yang terdampar. Foto Pixabay.
Nasional
Selasa, 04 Juli 2023 07:14

"Karena tak sesuai kebijakan BRIN, Ina-TEWS tak dirawat dan mangkrak..."

Pengembangan sistem peringatan dini tsunami lewat program strategis nasional berhenti setelah beralih ke BRIN.
swipe

Enam buoy masih berada di tengah laut. Akan tetapi, pelampung pendeteksi tsunami itu sudah tidak lagi mengirimkan data. Baterai yang habis membuat buoy tidak lagi berfungsi dalam mengirim data, bahkan keberadaannya juga tidak bisa dipantau ada di mana.

Tidak hanya itu. Sistem deteksi tsunami berbasis teknologi tomografi akustik pesisir bernama Indonesia Coastal Acoustic Tomography (Ina-CAT) malah sudah tidak berfungsi sejak Desember 2021. Tidak pernah dilakukan perbaikan terhadap piranti itu.

Satu-satunya yang masih mengirimkan data ke Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) adalah tsunamimeter berbasis kabel bernama Indonesia Cable Based Tsunameter (Ina-CBT) di utara Labuhan Bajo. Ini karena Ina-CBT tak ada masalah energi.

Akan tetapi, menurut peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN yang tak mau disebut namanya, ia tidak tahu apakah data itu digunakan dalam operasional deteksi tsunami oleh BMKG atau hanya untuk riset. Sejak Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) diintegrasikan ke BRIN, konsorsium yang mengembangkan Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina-TEWS) atau sistem peringatan dini tsunami sudah tak berfungsi lagi.

Konsorsium ini dibentuk lewat Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2019 tentang Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami. Lewat Perpres itu, BPPT bersama Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BMKG, dan Badan Informasi Geospasial (BIG) ditugaskan melakukan penguatan dan pengembangan sistem informasi peringatan dini gempa bumi dan tsunami.

Eks perekayasa BPPT itu menjelaskan, ketika ada migrasi dari sambungan PT Telkom ke Icon+, sensor Ina-CBT itu masih mengirimkan data. Data-data itu bisa digunakan untuk mengonfirmasi adanya tsunami di area sebelah utara Nusa Tenggara Timur.  

Agar alat deteksi tsunami yang dikembangkan sejak 2006 itu bisa tetap mengirimkan data, ia memberi masukan kepada pimpinan BRIN. Isinya, setidaknya BRIN perlu melakukan pemulihan fungsi enam buoy yang baterainya habis dan masih berada di tengah laut.

"Tetapi hingga kini BRIN belum melakukannya. Mungkin karena kesulitan ketersediaan kapal. Intinya, karena tidak sesuai dengan kebijakan BRIN, maka operasional (perawatan dan pemantauan) peralatan Ina-TEWS tidak dilakukan. Bahkan mungkin ditelantarkan karena juga tidak dilakukan recovery aset negara itu," kata dia kepada Alinea.id, Minggu (2/7).

Tiga temuan

Kekhawatiran peneliti BRIN itu terkonfirmasi oleh audit Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) atas pengelolaan pendapatan, belanja, dan aset tahun anggaran 2021-2022 pada BRIN. Hasil audit telah diserahkan Ketua BPK, Isma Yatun, kepada Ketua DPR Puan Maharani, 20 Juni 2023 lalu. Juga ke Presiden Joko Widodo di Istana Negara pada 26 Juni 2023.

Dalam audit itu, BPK menemukan tiga hal, yang bermuara pada "risiko kerusakan peralatan, perangkat, dan/atau purwarupa Ina-TEWS karena sentralisasi pengelolaan aset serta ketiadaan jaminan pemeliharaan atas aset-aset Ina-TEWS."

Lebih dari itu. Karena riset tidak dilanjutkan dan pemeliharaan peralatan mandek, BPK mengkhawatirkan "berpotensi menimbulkan dampak terhadap kemanusiaan bilamana terjadi bencana karena pengabaian tugas (BRIN) selaku Komponen Struktur dalam Penguatan dan Pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami."

Ilustrasi tsunami. Foto Pixabay.

Temuan pertama, BRIN tidak mendukung percepatan pencapaian target proyek prioritas strategis (major project) penguatan sistem peringatan dini bencana. Kesimpulan itu didapatkan setelah auditor BPK memeriksa rencana, program kerja, dan anggaran BRIN.

Sebelum diintegrasikan ke BRIN pada September 2021, BPPT telah membangun teknologi peringatan dini tsunami berbasis platform buoy (Ina-Buoy), Ina-CBT, dan Ina-CAT. Data dari ketiga perangkat dipantau oleh pusat kendali dan data manajemen selama 24 jam bernama Indonesia Tsunami Observation Center (Ina-TOC).

Buoy dan Ina-CAT terus dimutakhirkan hingga generasi ketiga. Hingga 2021, buoy telah ditempatkan di 7 lokasi, Ina-CBT di 4 lokasi, dan Ina-CAT di 1 lokasi. Dari 2019 hingga 2021 investasi negara untuk pengembangan Ina-TEWS lewat BPPT telah mencapai Rp578 miliar dari anggaran total Rp736,7 miliar atau 78,47%. Ada 16 unit kerja yang terlibat.

Dalam rencana pengembangan dan operasional Ina-TEWS BPPT 2020-2024 disebut, BPPT akan mengapungkan buoy di 13 lokasi, Ina-CBT di tujuh lokasi, Ina-CAT di tiga lokasi, serta tsunami observation center (Ina-TOC) dan artificial intelligence (AI) tsunami.

Setelah BPPT diintegrasikan ke BRIN, tugas-tugas yang melekat pada BPPT, Kementerian ESDM, BMKG, dan BIG beralih ke BRIN. Dari pemeriksaan uji petik, BPK menemukan kebijakan BRIN atas kegiatan, anggaran, dan skema pendanaan riset, serta pemanfaatan infrastruktur riset tidak mendukung peralihan tugas itu.

Dari sisi riset misalnya, pada 2022 anggaran Rp60 miliar di Organisasi Riset (OR) Pengkajian dan Penerapan Teknologi BRIN untuk menghasilkan 15 purwarupa dan 2 konsep desain, 50 publikasi, 11 karya ilmiah, dan 5 desain industri. Tak ada soal Ina-TEWS.

Belakangan, organisasi riset yang dimaksudkan menghandel tugas pokok dan fungsi BPPT ini diubah jadi OR Energi dan Manufaktur. Riset teknologi kebencanan seperti Ina-TEWS diampu oleh OR Maritim dan Kebumian, yang anggaran Rp60 miliar terkena automatic adjusment. Pada 26 September 2022 anggaran direvisi jadi Rp11 miliar. Anggaran Ina-CBT hanya untuk kelistrikan dan pembuatan canister. Anggaran Ina-Buoy dan Ina-CAT tak ada.

Kebijakan kegiatan dan anggaran yang terpusat di BRIN, tulis BPK, membuat pengembangan Ina-TEWS tidak berjalan. Misalnya, OR hanya mengelola SDM periset yang sepenuhnya melakukan riset. Tidak mengelola aset atau infrastuktur untuk riset. Rencara kerja anggaran OR tidak dapat mengusulkan belanja modal atau pemeliharaan infrastruktur riset, sekalipun secara fisik infrastruktur itu berada di OR tersebut.

Infrastruktur riset dikelola Deputi Bidang Infrastruktur Riset dan Inovasi (DIRI) BRIN. Pengadaan dan pemeliharaan infrastruktur riset jadi otoritas DIRI. Periset yang hendak menggunakan pun harus lewat DIRI. Seluruh anggaran dan belanja terkait belanja modal dan pemeliharaan aset pendukung riset terpusat pada anggaran DIRI.

Salah satu infrastruktur riset yang digunakan dalam pengembangan Ina-TEWS adalah Kapal Riset Baruna Jaya. Saat ini, kapal itu dikelola oleh pihak ketiga, yaitu T Sinarmas LDA Maritime, sebagai operator. Kerja sama ini diurus Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi (PRI) atau Deputi Bidang Fasilitasi Riset dan Inovasi (FRI) BRIN.

BPK menyimpulkan, riset Ina-TEWS di BRIN bisa berjalan apabila proposal termasuk rencana anggaran dibuat terpisah dan diajukan ke satuan kerja berbeda. Misal, untuk kebutuhan laboratorium, ruang rapat, kapal riset, dan peralatan harus mengajukan proposal ke Sekretariat Utama dan DIRI sesuai yang dibutuhkan.

Di sisi lain, biaya riset melalui OR dipilih berdasarkan seleksi hasil kompetisi. Sementara sebelumnya, riset Ina-TEWS bersifat penugasan. "Alur birokrasi akibat penerapan kebijakan penyelenggaraan riset di BRIN menunjukkan pelaksanaan major project penguatan sistem peringatan dini bencana sulit berjalan dengan optimal," tulis BPK.

BPK memeroleh informasi dari eks tim pelaksana Ina-TEWS BPPT bahwa BRIN tidak pernah melibatkan mereka. Eks tim pelaksana Ina-TEWS BPPT juga tidak mengetahui ada kajian yang membuat riset tak dianggarkan. 

Di sisi lain, tulis BPK, sampai pemeriksaan selesai pada 6 Desember 2022 Kepala BRIN Laksana Tri Handoko juga belum menetapkan peraturan badan tentang Rencana Strategis BRIN 2022-2024 sebagai acuan pengusulan kegiatan baru maupun melanjutkan capaian kegiatan dari lembaga/badan yang dialihkan setelah dilebur ke BRIN. 

Akibat pengabaian

Temuan kedua, BRIN tidak melaksanakan tugas komponen struktur dalam penguatan dan pengembangan sistem informasi gempa bumi dan peringatan dini tsunami. Dari pemeriksaan BPK menemukan sejak 2022 Ina-TOC sebagai pusat kendali tidak dipantau 24 secara aktual dan terus menerus. Ini buntut dari penghapusan tenaga honorer atau Pegawai Pemerintah Non-pegawai Negeri per 1 Januari 2022. Semula, tenaga honorer ini yang memantau 24 jam.

Riset di OR Energi dan Manufaktur tidak menyasar teknologi observasi gempa bumi, deep sea level tsunami, cable based tsunameter, dan peralatan observasi laut. Saat diperiksa di lapangan, BPK menemukan tidak ada tes komunikasi terjadwal terhadap perangkat Ina-TEWS atau komunikasi terkait integrasi data dankoordinasi dengan K/L, khususnya BMKG.

Alat deteksi tidak terpantau dan terpelihara, salah satunya buoy. Baterai di buoy itu masa pakainya sekitar 1-2 tahun. Saat ini keenam buoy sudah tak terpantau. Jika pun terpantau lokasinya, ketiadaan petugas operator Ina-TOC, tidak adanya anggaran pemeliharaan, dan kapal dikelola pihak ketiga membuat pemeliharaan sulit dilakukan.

BPK menyimpulkan, "BRIN tidak menjalankan peralihan tugas selaku lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengkajian dan penerapan teknologi dalam melaksanakan penguatan dan pengembangan Sistem Informasi Gempa Bumi dan Peringatan Dini Tsunami sebagaimana amanat Perpres Nomor 39 Tahun 2019."

Temuan ketiga, risiko atas pemeliharan dan operasional aset-aset Ina-TEWS. Sesuai Perpres Nomor 78 Tahun 2021 tentang BRIN, pengelolaan barang milik/kekayaan negara dilaksanakan oleh Sekretaris Utama (Sestama). Akan tetapi, di BRIN pengelolaan tak hanya dilakukan Sestama, tapi juga oleh DIRI. DIRI mengelola laboratorium, alat, dan infrastruktur pendukung penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan.

Dari pemeriksaan BPK menemukan, dalam rencana kerja anggaran maupun DIPA Sestama dan DIRI tidak tercantum pemeliharaan infrastruktur dan aset-aset Ina-TEWS. Di sisi lain, OR tidak memiliki akses dan pembiayaan pemeliharaan langsung. Deputi PRI juga tidak memiliki akses langsung ataupun pembiayaan pemeliharaan atas hasil riset dan produk inovasi yang telah dihasilkan. Pemeliharaan Ina-TOC juga tak jelas.

Ini semua membuat tujuan prioritas nasional peningkatan ketahanan bencana tidak tercapai. Lalu, peralatan Inas-TEWS tidak terbangun, tidak beroperasi, dan tidak terpelihara. Integrasi data deteksi tsunami tidak dimonitor. Ini berpotensi menimbulkan dampak terhadap kemanusiaan bilamana terjadi bencana, dan risiko kerusakan peralatan.

Pembelaan Kepala BRIN

Menurut Laksana Tri Handoko, BRIN telah melakukan evaluasi terhadap program strategis nasional Ina-TEWS. Evaluasi dilakukan sejak Mei 2021 hingga Januari 2022, melibatkan tim pelaksana setiap program dan eks pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian yang dilebur ke BRIN. Sebagian bahkan dilakukan kunjungan secara fisik.

Evaluasi itu, versi Handoko, karena ada arahan Presiden Joko Widodo di rapat terbatas bahwa seluruh program yang tidak bisa selesai tahun 2024 harus dihentikan. Ina-TEWS, klaim Handoko, tetap dilanjutkan secara riset dan dilakukan refocusing untuk tujuan monitoring lingkungan. 

"Karena justifikasi ilmiah mitigasi tsunami berbasis sensor di laut belum dapat dipertanggungjawabkan. Teknologi Ina-TEWS mengadopsi teknologi serupa yang diujicobakan di Jepang dan Amerika, tetapi keduanya masih dalam tahapan riset, belum menjadi sistem operasional," terang Handoko, seperti ditulis BPK.

Selain itu, papar Handoko, masalah utama sejak awal design Ina-TEWS kurang melibatkan para pakar kebencanaan. Termasuk belum tersedia peta sumber pemicu tsunami yang komperehensif di Indonesia. "Justifikasi ilmiah dan teknis yang belum jelas dibuktikan dengan penolakan BMKG mengadopsi dan mengoperasikan sistem Ina-TEWS," kata Handoko.

Secara regulasi, tambah Handoko, pelaksana mitigasi kebencanaan menjadi otoritas BMKG. BRIN tidak dapat menjadi operator, seperti mengelola Ina-TOC. Selain tidak diperlukan, jelas Handoko, ini memboroskan uang negara. Kelanjutan program Ina-TEWS, kata dia, disesuaikan dengan penganggaran di rumah program kebencanaan. 

Menurut BPK, evaluasi proyek strategis nasional (PSN) diatur di Pasal 2 ayat (3) Perpres Nomor 109 Tahun 2020. Perubahan PSN dilakukan Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas lewat kajian. Evaluasi sepihak oleh BRIN tidak bisa jadi dasar perubahan atau penghentian PSN. Lagi pula, Handoko sudah mengaku kepada tim BPK pada 6 Desember 2022 tidak ada evaluasi PSN itu. Ini juga diamini eks tim pelaksana BPPT.

Kurang informasi

Menurut eks perekayasa BPPT yang terlibat pengembangan Ina-TEWS, sensor laut dalam (deep sea) telah digunakan secara operasional oleh Amerika Serikat (NOAA), Jepang (NIED), dan Taiwan (MACHOS) untuk melakukan peringatan dini tsunami. Bukan sekadar riset. Bukan hanya mendeteksi gelombang tsunami yang sudah sampai ke pantai. 

"Tetapi mendeteksi ketika gelombang tsunami yang masih jauh di laut, sehingga memberikan waktu bagi penduduk di pantai untuk mengungsi. Pendapat bahwa sensor laut dalam belum memiliki justifikasi ilmiah sebagai mitigasi bencana menunjukkan kurangnya informasi yang beliau (Laksana Tri Handoko) terima," urai narasumber itu.

Info ini, kata sumber itu, sudah disampaikan sejak awal Handoko menjadi Kepala BRIN. Tapi info itu diabaikan. "Beliau perlu diberitahu berkali-kali, tidak cukup sekali. Tetapi kesempatan untuk bertemu beliau berkali-kali sangat sulit," kata sumber itu.Infografik Inatews mengadang tsunami. Alinea.id."Kasihan sekali perekayasa BPPT yang mengembangkan Ina-TEWS sekian lama, berdarah-darah. Saya tahu bagaimana mereka jungkir balik mengejar target. Padahal, tidak mudah memasang sensor di kedalaman laut. Deploy-nya juga tidak sembarangan," kata sumber itu kepada Alinea.id, Senin (3/7).

Soal penempatan sensor, kata sumber lainnya, tidak ditentukan oleh BPPT sendiri. Tapi hasil kesepakatan para pihak, yaitu BMKG, BPPT, akademisi, dan yang lain. Meskipun di pusat riset tempat ia bergabung di BRIN tidak ada lagi program dan tim Ina-TEWS, beberapa eks personel Inas-TEWS BPPT masih memantau kondisi Ina-CBT. 

Sebetulnya, kata dia, Ina-CBT bisa digunakan mengoleksi data riset laut dalam tropis yang masih amat jarang, selain untuk konfirmasi adanya gelombang tsunami. Masalahnya, saat ini tak ada lagi riset penugasan. Semua riset berdasarkan proposal dari peneliti. 

"Sekarang ini, periset amat disibukkan dengan pembuatan proposal untuk bahan penelitian melalui rumah program. Untuk perjalanan eksplorasi dan survei mesti melalui pendanaan eksplorasi. Untuk pengadaan peralatan pengembangan dan uji lewat pendanaan di DIRI, dan untuk pendanaan Riset dan Inovasi Indonesia Maju (RIIM) LPDP," urai sumber itu.

Saat ini, sumber Alinea.id itu tidak banyak berharap Ina-TEWS bisa dikembangkan lebih lanjut di BRIN. Sebab, di BRIN atmosfer kerja saat ini sangat individualitis, bukan lagi kerja tim seperti dulu. Proposal riset hanya kecil-kecil yang dilakukan oleh 5-7 orang hasil kompetisi, tidak multi-kompetensi seperti program Ina-TEWS. 

"Tidak ada yang mengoordinasikan kegiatan-kegiatan kecil dalam vektor yang sama menjadi produk yang lebih besar dan berdampak pada masyarakat," kata sumber itu.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Khudori
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan