Karena udara bersih adalah berkah yang harus diperjuangkan...
Bagi Fahmi Saimima, menggowes sepeda bukan sekadar mempraktikkan gaya hidup sehat untuk diri sendiri. Tak peduli sekecil apa pun, ia berharap aktivitasnya sebagai pesepeda bisa mengurangi polusi udara di DKI Jakarta yang kian hari kian parah.
"Ya, walaupun tidak banyak memperbaiki kualitas, tetapi kami punya visi misi yang istiqomah. Dalam artian, ya sudah, kalau tidak bisa buat apa-apa, ya, ini salah satu apa yang kita buat untuk memperbaiki kualitas udara,” terang Fahmi saat berbincang dengan Alinea.id, Kamis (30/9).
Fahmi saat ini dipercaya menjabat sebagai Ketua Tim Advokasi Bike To Work (B2W) Indonesia. Berdiri sejak 2005, komunitas itu kini telah memiliki cabang di 120 kabupaten dan kota. Total ada lebih 100 ribu orang yang menjadi anggota B2W Indonesia.
Selain menganjurkan anggotanya menggunakan sepeda dalam mobilitas sehari-hari, menurut Fahmi, B2W Indonesia mempunya sejumlah program yang diharapkan mampu turut menurunkan polusi udara di Indonesia, semisal mendampingi dalam advokasi, mengampanyekan pola hidup sehat, melakukan kegiatan sosial, dan mengedukasi warga tentang bahaya polusi.
“Kalau kualitas udara, sudah pasti Jakarta jadi tempat mencemaskan dalam kualitas udaranya. Kami melakukan bersepeda sebenarnya hanya sedikit memberikan dorongan (untuk perbaikan kualitas udara) saja," tutur Fahmi.
Menurut data Iqair.com, Jakarta memang merupakan salah satu kota yang memiliki kualitas udara terburuk. Dari pendataan per 30 September 2021, Jakarta menempati peringkat 23 dari 92 kota paling tercemar udaranya di seluruh dunia.
Indeks kualitas udara (air quality index) ibu kota sebesar 79 AQI US. Kualitas udara di Jakarta diperkirakan tidak sehat bagi kelompok sensitif selama enam hari ke depan dengan indeks kualitas udara mencapai 129 AQI US.
Menurut Fahmi, memperbaiki kualitas udara di Jakarta merupakan pekerjaan super berat yang tidak bisa hanya dibebankan kepada pemerintah. Namun, ia meyakini upaya itu bakal berhasil jika tingkat kesadaran masyarakat terkait bahaya polusi kian meningkat.
“Jadi, ya, dimulai dari kitalah dengan bijak dalam berkontribusi terhadap nikmat yang luar biasa berbentuk udara ini. Kalaupun tidak bisa mengurangi secara makro, ya, bisa dimulai dari diri sendiri, hidup sehat dengan bersepeda,” tandasnya.
Inisiatif serupa dilakoni musikus Melanie Subono. Sejak dua tahun lalu, ia tak lagi mempunyai kendaraan roda empat. Untuk mobilitas di luar rumah, Melanie memilih menggunakan transportasi publik. Mobil digunakan sesekali untuk manggung bersama rekan-rekan satu band.
“Enak malah. Enggak usah pikir parkir di mana. Parkir di Jakarta PR (pekerjaan rumah) banget sih. Mau ngisi bensin, antreannya, aduh. Lebih simpel sih come and go,” tutur Melanie saat dihubungi Alinea.id, Senin (27/9).
Selain tak menggunakan kendaraan pribadi, sejumlah upaya kecil juga dilakukan Melanie untuk mengurangi tingkat polusi udara di Jakarta, mulai dari menanam pohon di pekarangan rumah, tidak memakai microwave dan alat pendingin udara, hingga mengurangi konsumsi rokok.
“Gue mengajarkan ponakan, saudara, teman, atau netizen. Itu bentuk upaya gue juga. Kalaupun membeli barang elektronik untuk rumah, gue mencari, paling enggak, yang ada logo eco-nya. Sekarang kan banyak produk yang lebih eco-friendly,” tutur putri promotor Adrie Subono itu.
Bagi Melanie, perubahan iklim yang disebabkan pemanasan global adalah persoalan serius. Fenomena itu, kata dia, menghadirkan dua pilihan bagi masyarakat: membiasakan diri dengan kondisi yang ada atau mencoba mengubahnya.
“Sekarang semua orang ngeluh Jakarta panas. Padahal, itu dari polusi juga. Itu lo mau membiasakan diri aja. Kalau gue, gue enggak ingin terus-terusan liat beruang kutub tiba-tiba enggak punya es. Gue enggak ingin bumi hancur. Gue masih ingin hidup di dunia ini,” ucap Melanie.
Berkah yang harus diperjuangkan
Menurut Melanie, udara adalah berkah dari Tuhan. Namun, berkah itu harus dipelihara dan diperjuangkan. Ia berharap inisitif-inisiatif kecil yang ia lakukan untuk mengerem pemanasan global dan menurunkan tingkat polusi udara itu diikuti orang-orang di sekitarnya.
"Gue terima kasih sama Tuhan. Masak enggak gue pelihara sih (udara yang bersih). Mungkin kalian akan anggap, 'Aduh, gue sudah biasalah sama panas.' Tetapi, pikirin anak-cucu kalian. Sekarang berasa kan ada banyak penyakit yang berhubungan sama paru dan segala macam," tutur produser film Tentang Ibu itu.
Perjuangan Melanie memperbaiki kualitas udara di Jakarta tak hanya sekadar di lingkup pribadi saja. Bersama sekitar 30 orang yang tergabung dalam Koalisi Ibu Kota, Melanie mencatatkan namanya sebagai penggugat kebijakan pemerintah terkait kondisi udara di Jakarta.
Gugatan rakyat (citizen lawsuit) itu masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 4 Juli 2019. Dalam gugatan, Melanie dan kawan-kawan menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Kesehatan, Menteri LHK, Mendagri, dan sejumlah gubernur bertanggung jawab atas memburuknya kualitas udara di Jakarta selama bertahun-tahun.
“Gue merasa berhak mengajukan tuntutan karena gue sudah berusaha. Gue akan merasa buruk kalau gue tiap hari bakar sampah, gue punya mobil lima, punya ini segala macam, terus sok-sok ngajuin gugatan polusi udara. Kan gila,” tuturnya.
Pertengahan September lalu, sebagian gugatan dikabulkan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Presiden Joko Widodo, tiga menterinya, serta Gubernur DKI Jakarta melakukan perbuatan melawan hukum lantaran lalai menunjang hak warga negara untuk mendapat udara sehat.
Hukuman yang dikeluarkan pengadilan beragam. Untuk Presiden Jokowi, misalnya, pengadilan menuntut agar pemerintah mengetatkan baku mutu udara ambien nasional guna melindungi kesehatan manusia, lingkungan, ekosistem, dan populasi yang sensitif terhadap pencemaran udara.
Menteri LHK, dalam putusan itu, diminta untuk melakukan supervisi terhadap Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat dalam inventarisasi emisi. Adapun untuk Mendagri, pengadilan meminta pemerintah memperketat pengawasan dan membina kinerja Gubernur DKI Jakarta dalam pengendalian pencemaran udara.
Melanie mengapresiasi putusan pengadilan itu. Ia berharap rekomendasi dari penggugat dan majelis hakim segera dijalankan pemerintah. “Lebih baik kita duduk bareng. Oke, solusinya apa? Yang kalian bisa lakukan apa? Ini usul dari kami. Ini ide dari kami," tutur perempuan berusia 45 tahun itu.
Untuk Gubernur DKI Jakarta, majelis hakim meminta agar pemprov mengawasi kepatuhan warga dalam menaati aturan-aturan terkait pengendalian pencemaran udara, seperti melakukan uji emisi terhadap kendaraan tipe lama, mengawasi ketaatan standar dan spesifikasi bahan bakar, serta melarang warga membakar sampah sembarangan.
Melalui akun pribadi Twitter-nya, Anies menyatakan menghormati putusan dan sanksi yang dikeluarkan pengadilan. “Pemprov DKI mengapresiasi gugatan terkait polusi udara yang diajukan oleh 32 warga negara, dan tidak mengajukan banding dalam rangka mempercepat pelaksanaan putusan tersebut,” ujar Anies, dalam cuitannya, Jumat (17/9).
Pemerintah pusat menolak putusan
Sikap berbeda ditunjukkan pemerintah pusat dalam merespons putusan pengadilan. Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pengendalian dan Pencemaran KLHK Sigit Relianto menyatakan pemerintah akan mengajukan banding terhadap putusan tersebut.
"Alasan banding karena putusan tersebut memerintahkan hal-hal yang sudah dilakukan sebelum putusan tersebut dibacakan,” kata Sigit dalam pesan singkat telepon seluler yang diterima Alinea.id, Kamis (30/9).
Sigit mencontohkan supervisi Menteri LHK terhadap Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat untuk menginventarisasi emisi lintas batas. Ia mengklaim supervisi telah berjalan selama lebih dari 20 tahun. "Dan sampai sekarang tetap dilaksanakan, bukan karena putusan pengadilan,” imbuh dia.
Selain melakukan supervisi, KLHK disebut telah melakukan segala hal untuk menekan pencemaran udara di ibu kota seperti mengetatkan baku mutu emisi kendaraan bermotor tipe baru setara Euro 4 sejak 2017. “Selain itu, pengetatan baku mutu emisi pembangkit, baku mutu emisi industri pupuk dan amonia, baku mutu emisi industri semen,” kata dia.
Kuasa hukum para penggugat, Jeanny Silvia Sari Sirait mengaku kecewa pemerintah pusat masih berniat mengajukan banding. Menurut dia, seharusnya pemeritah pusat legawa menerima putusan pengadilan dan segera fokus memperbaiki kualitas udara di DKI Jakarta.
"Bukannya fokus pada perubahan dan perbaikan sistem kualitas udara bersih di DKI Jakarta, malah sibuk menarasi tanding seolah-olah tidak mau dikalahkan dan melupakan kewajibannya,” kata Jeanny saat dihubungi Alinea.id, Kamis (30/9).
Menurut Jeanny, seharusnya pemerintah pusat berhenti berkelit. Terlebih, sejumlah riset telah menunjukkan bahwa Jakarta merupakan kota dengan tingkat polusi terparah di dunia. Hasil-hasil riset itu telah dipaparkan di muka sidang dan tidak dibantah oleh pihak pemerintah.
“Kebayang enggak sih? Penggugat yang notabene masyarakat sipil saja punya pemikiran (bahaya polusi udara) itu. Pemerintah justru tidak memiliki pikiran itu dan memilih beradu argumen di muka persidangan. Kan lucu, ya, sebenarnya,” kata advokat dari LBH Jakarta itu.
Meskipun melelahkan dan bakal memakan waktu yang panjang, Jeanny mengaku siap menghadapi pemerintah di pengadilan banding. Menurut dia, perjuangan untuk memperbaiki kualitas udara di Jakarta tidak boleh terhenti.
"Ini tetap harus dilawan karena tidak bisa ditunda lagi nih upaya untuk mendorong udara DKI Jakarta yang tidak polutif ini. Walaupun proses persidangannya cukup lama, tetapi enggak mungkin enggak dilawan kan,” kata Jeanny.