Bencana kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di tengah pandemi Covid-19 menjadi serangan ganda bagi sistem kesehatan di Indonesia. Bahaya asap karhutla bakal menambah beban bagi sistem kesehatan. Terlebih, saat ini banyak rumah sakit telah kewalahan menampung pasien Covid-19.
“Jika ada kasus karhutla lagi, maka akan semakin menambah berat beban sistem kesehatan yang sebetulnya sudah berat juga akibat Covid-19 ini,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Alam Sehat Lestari (ASRI) Monica Nirmala dalam diskusi virtual, Kamis (24/9).
Karhutla di tengah pandemi Covid-19 juga merupakan serangan ganda bagi kesehatan masyarakat di Indonesia. Polusi udara akibat asap karhutla bisa merusak paru-paru, jantung, hingga pembuluh darah manusia. Penyakit-penyakit yang dipicu asap karhutla merupakan komorbid dari Covid-19. Imbasnya, pasien Covid-19 yang terpapar asap karhutla berpotensi merasakan kesakitan lebih parah.
Asap karhutla juga merusak saluran pernapasan manusia. Khususnya, sel kekebalan tubuh bernama makrofag alveolar. Ketika fungsi makrofag alveolar menurun karena tubuh manusia terpapar polusi udara akibat asap karhutla, maka akan semakin rentan terinfeksi Covid-19.
“Di momen pandemi Covid-19 ini, karhutla yang berulang hampir setiap tahun di Indonesia dapat memperparah situasi yang sudah parah di Indonesia,” tutur Monica.
Di sisi lain, karhutla turut mempercepat penularan Covid-19 karena banyak warga yang harus mengungsi. Sarana pengungsian akibat karhutla umumnya menggunakan ruangan tertutup yang bertentangan dengan prinsip protokol kesehatan Covid-19.
“Karhutla sudah terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Asapnya pertama kali terdokumentasi menyebrang ke Singapura pada 1972. Jangan sampai disebut normal. Ini old normal yang justru membawa penyakit pada masyarakat Indonesia dan negara-negara tetangga,” ucapnya.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), sekitar 64.600 hektare area yang terbakar sepanjang periode Januari hingga Juli 2020.
Direktur Eksekutif Yaysan Madani Berkelanjutan Muhammad Teguh Surya mengatakan, selain cuaca, banyak faktor penyebab karhutla yang justru lebih mengkhawatirkan.
Dari periode 2015 hingga 2019, kata dia, sebanyak 5,4 juta hektare hutan dan lahan terbakar karena adanya perubahan tutupan lahan, keberadaan izin, dan kerusakan fungsi ekosistem gambut.
Sementara Ketua Satuan Tugas Penanganan (Satgas) Covid-19 Doni Monardo membenarkan, sebanyak 99% karhutla disebabkan ulah manusia.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana ini mengatakan, pihaknya juga telah melakukan upaya mitigasi untuk mencegah karhutla di tengah pandemi. Misalnya, dengan melibatkan warga setempat untuk diedukasi terkait dampak karhutla.
“Jangan ada yang membakar, apalagi lahan gambut karena memadamkannya sulit. Asapnya berbahaya bagi keselamatan jiwa manusia,” tutur Doni.
Ia pun menyebut, sejumlah provinsi berpotensi karhutla juga telah masuk dalam prioritas penanganan pandemi Covid-19. Misalnya, Kalimantan Selatan.