Di balik ramainya persoalan polusi udara di Jakarta, peristiwa kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia meluas dengan cepat sepanjang Juli-Agustus 2023. Para pihak harus bergerak bahu-membahu menanggulangi karhutla di daerah-daerah paling rawan dengan memperhatikan kesehatan masyarakat dan kebutuhan masyarakat adat dan lokal di tingkat tapak.
“Dengan potensi karhutla yang semakin besar dalam beberapa bulan ke depan, kami mendorong lembaga-lembaga di pusat dan daerah yang telah dimandatkan dalam Inpres Penanggulangan Karhutla untuk berkomitmen melaksanakan tugas dan dan kewajibannya,” ujar Legal Officer MADANI Berkelanjutan Sadam Afian, dalam keterangan resminya, Senin (4/9).
Jika tidak ditangani dengan tepat, karhutla akan menghambat upaya pemerintah untuk mencapai target iklim nasional. Sebagaimana diketahui, sektor hutan dan lahan merupakan kunci yang sangat vital dalam pencapaian komitmen iklim Indonesia dalam NDC (Nationally Determined Contribution). Hal ini juga erat hubungannya dengan Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 sebagai strategi yang menjamin keselarasan dengan target Paris Agreement yang menargetkan karhutla ditekan hingga nol.
Sayangnya, karhutla tahun ini lebih parah dibandingkan tahun lalu. Dalam model Area Indikatif Terbakar (AIT) yang dikembangkan MADANI Berkelanjutan, luas total area indikatif terbakar di Indonesia selama Januari-21 Agustus 2023 telah mencapai 262.000 hektare, lebih besar dari kebakaran tahun lalu yang mencapai 204.000 hektare.
Di dalamnya, area indikatif terbakar di ekosistem gambut sudah mencapai 45.000 hektare. Kebakaran di gambut perlu ditanggulangi segera karena dapat menimbulkan kabut asap yang sangat membahayakan kesehatan masyarakat dan kerugian ekonomi.
“Agar tidak terbakar lagi, ekosistem gambut yang terbakar juga perlu dimasukkan ke dalam Peta Prioritas Restorasi Gambut 2024,” papar Program Officer Hutan dan Iklim MADANI Berkelanjutan ujar Yosi Amelia.
Dari sisi wilayah, sepuluh provinsi paling rawan terbakar adalah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Timur, Riau, dan Aceh. Pada periode Januari-21 Agustus 2023, ke-10 provinsi tersebut memiliki luas area indikatif terbakar paling tinggi.
Di tingkat kabupaten, 10 kabupaten paling rawan adalah Kabupaten Sanggau, Ketapang, Merauke, Landak, Sintang, Kapuas Hulu, Sekadau, Hulu Sungai Selatan, Kubu Raya, dan Tanah Laut. Area Indikatif Terbakar di Kabupaten Sanggau bahkan naik 147 kali lipat pada periode Juni ke Agustus.
“Seluruh pihak perlu bahu-membahu menanggulangi api di provinsi dan kabupaten yang paling rawan. Penanggulangan tidak boleh hanya difokuskan pada pemadaman api, tetapi juga harus mencakup penanganan masyarakat yang terdampak asap dan bantuan pembukaan lahan tanpa membakar untuk masyarakat adat dan lokal” imbuh Resni Soviyana, Program Officer Pembangunan Hijau MADANI Berkelanjutan.
Selain itu, pemerintah provinsi Aceh dan Papua pun perlu segera menetapkan status siaga darurat karhutla karena masuk sepuluh provinsi dengan area indikatif terbakar paling besar namun belum menetapkan siaga darurat.
Area terindikasi terbakar di wilayah izin dan konsesi meningkat berkali-kali lipat dari Juni ke Agustus. Area indikatif terbakar paling tinggi dari Januari-21 Agustus 2023 terdapat di izin perkebunan sawit dengan 40 ribu hektare, disusul PBPH-HT (hutan tanaman) dengan 22,7 ribu hektare, dan konsesi migas dengan 20,3 ribu hektare.
“Sangat penting bagi pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum di area izin dan konsesi dengan area indikatif terbakar terluas. Tidak kalah penting, di tahun politik ini potensi pemberian izin di area hutan alam dan ekosistem gambut akan mengindikasikan praktik yang tidak memperhatikan perspektif pembangunan berkelanjutan,” tutup Sadam.