Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan kembali menuai keluhan.
Andreas Nur dari Dewan Kesehatan Rakyat (DKR) Jawa Tengah mengatakan salah seorang pasien yang diadvokasi DKR Semarang bernama Karsinah, sulit menggunakan kartu BPJS Penerima Bantuan Iuran (PBI). Awalnya, kata Andreas, Karsinah yang merupakan warga Semarang dengan sakit kanker payudara dirujuk oleh Puskesmas ke RSUD K.R.M.T. Wongsonegoro, Kota Semarang.
"Namun, karena peralatan medis yang kurang memadai, Karsinah lalu dirujuk ke Rumah Sakit Islam Sultan Agung," tutur Andreas dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/7).
Karsinah kemudian dirawat menggunakan jaminan pelayanan kesehatan sesuai fasilitas kesehatan PBI yang dibayar oleh negara. Menurut Andreas, pelayanan rumah sakit kepada Karsinah yang semula cukup baik, lama-kelamaan menjadi berubah.
"Dokter menjadi sulit diakses oleh pasien," kata dia.
Setelah beberapa kali melakukan perawatan, dokter meminta Karsinah mengikuti kemoterapi. Tapi, pasien menolak kemoterapi karena merasa tidak siap secara fisik dan meminta pulang. Saat itu dokter mengizinkan pulang, namun meminta agar pasien membayar semua biaya pengobatan dan perawatan yang sudah berlangsung selama di rumah sakit.
“Hal ini sangat aneh dan mengagetkan pasien. Masuk rumah sakit dengan menggunakan BPJS PBI yang dibayar pemerintah. Tapi karena menolak kemoterapi, pasien diminta bayar sendiri semua biaya di rumah sakit sebagai pasien umum,” ujar Andreas.
Dituturkan Andreas, keluarga Karsinah ketakutan. Keputusan sulit pun harus diambil, keluarga pasien harus mencari pinjaman uang guna menutupi biaya perawatan. Pasalnya, biaya perawatan bakal membengkak jika tak segera membayar.
Andreas mengatakan prinsip gotong royong yang dijanjikan dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), yakni peserta yang sehat akan berkontribusi mendanai peserta JKN KIS yang sedang sakit, tak terbukti.
“Yang terjadi sebaliknya, iuran naik, tapi pelayanan pasien miskin dengan kartu BPJS PBI yang dibayar pemerintah, justru diminta bayar sendiri,” ujar Andreas.
Atas peristiwa tersebut, Andreas mengaku DKR Semarang telah menghubungi Dinas Kesehatan Kota Semarang.