close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Baiq Nuril hanya satu dari sekian banyak orang yang terjerat pasal karet UU ITE. Alinea.id/Sulthanah Utarid
icon caption
Baiq Nuril hanya satu dari sekian banyak orang yang terjerat pasal karet UU ITE. Alinea.id/Sulthanah Utarid
Nasional
Jumat, 26 Juli 2019 20:18

Kasus Baiq Nuril: Darurat revisi pasal karet dalam UU ITE

Kasus yang menjerat Baiq Nuril menguak kenyataan:ada banyak pasal karet di dalam UU ITE. Perlu revisi menyeluruh agar kasus tak berulang.
swipe

Tangis Baiq Nuril Maknun pecah usai secara aklamasi Komisi III DPR menyepakati surat Presiden Joko Widodo soal pemberian pertimbangan amnesti di dalam rapat pleno Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7).

Air mata tak bisa ia bendung lagi setelah bertahun-tahun berjuang mencari keadilan. Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) itu masih menyeka air matanya dengan tisu, setelah rapat pleno rampung.

"Saya hanya mengucapkan terima kasih pada Presiden Jokowi," kata Baiq Nuril saat ditemui wartawan usai pelaksanaan rapat pleno di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7).

Sementara, Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Rieke Diah Pitaloka yang mendampingi Baiq Nuril, mengapresiasi kerja timnya di Komisi III DPR.

Dengan persetujuan aklamasi itu, Rieke menegaskan, perjuangan Baiq Nuril hanya menunggu persetujuan Presiden Jokowi melalui penerbitan keputusan presiden, setelah mendapat kesepakatan dalam sidang paripurna DPR.

“Kalau Pak Jokowi saya yakin beliau tidak mau menunda-nunda masalah mengenai keadilan dan kemanusiaan,” kata Rieke di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7).

Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE) Baiq Nuril Maknun (tengah) menyaksikan rapat kerja Komisi III DPR dengan Menkumham di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7). /Antara Foto.

Kegembiraan Baiq Nuril semakin membuncah, setelah amnesti itu disahkan dalam rapat paripurna DPR di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7). Ia memeluk erat anak laki-lakinya, sembari menangis tersedu-sedu.

Jalan panjang mencari keadilan mantan guru honorer SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB) itu pun berakhir.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menolak pengajuan kembali (PK) Baiq Nuril, yang sesungguhnya merupakan korban pelecehan seksual verbal. Baiq Nuril dijerat UU ITE, dengan putusan tetap penjara 6 bulan dan denda Rp500 juta. Menurut MA, Baiq Nuril bersalah lantaran merekam secara ilegal dan menyebarkan hasil rekamannya.

Drama Baiq Nuril menambah deretan panjang korban pasal karet Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Masih ingat kasus Prita Mulyasari yang dijerat UU ITE karena curhat yang ditulisnya di surat elektronik terhadap layanan kesehatan di Rumah Sakit Omni Internasional pada 2008 lalu? Kasus Baiq Nuril dan Prita hanya segelintir perkara terkait UU ITE yang banyak memakan korban.

Perlu perbaikan total

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly (kanan) menyerahkan berkas pandangan pemerintah atas amnesti untuk Baiq Nuril Maknun kepada Wakil Ketua Komisi III DPR Irma Suryani (tengah) disaksikan oleh Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsudin (kiri) saat rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/7). /Antara Foto.

Penasihat hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi, tak pernah menyangka kasus yang ditanganinya ini berakhir pada amnesti, dan menyita perhatian publik. Sejak awal, kata Joko, Baiq Nuril sangat jelas merupakan korban UU ITE.

"Kalau kasus yang ini, kami sangat yakin sekali bahwa Nuril adalah korban," kata Joko saat dihubungi Alinea.id, Kamis (25/7).

Menanggapi penerapan UU ITE, Joko mengakui tak terlalu sempurna. Namun, menurutnya, peraturan itu tetap bisa baik, jika dijalankan sesuai dengan maksud awal saat disusun. Hanya, Joko melihat UU ITE justru salah kaprah dalam menerapkan pasal-pasalnya.

"Ibarat mengendarai mobil, tapi menjalankannya pakai ilmu mengendarai becak. Ya terjadi seperti ini, tidak sinkron antara tujuan undang-undang dengan pelaksanaannya sendiri," ujar Joko.

Menurut koordinator regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) Damar Juniaro, kasus seseorang yang dikenakan UU ITE selalu meningkat setiap tahun.

Pihaknya sempat menelusuri perkara yang terkait pasal UU ITE di Mahkamah Agung (MA). Menurut Damar, temuan SAFENet, tahun 2018 terdapat 292 kasus yang diputuskan di tingkat MA. Jumlah itu, kata Damar, meningkat 100% dibanding tahun 2017, yang hanya 140 kasus.

“Ini menandakan bahwa UU ITE menimbulkan gejolak sejak diterbitkan,” kata Damar saat dihubungi, Jumat (26/7).

Lebih lanjut, Damar menekankan, perlu ada perbaikan total dari norma yang bermasalah di dalam UU ITE. Amnesti dari presiden, kata Damar, hanya menyelesaikan perkara di sisi hilir saja. Selama norma yang mengatur delik utama dalam UU ITE tidak tuntas, Damar pesimis kasus serupa akan muncul lagi.

“Selama itu juga kita akan dihantui persoalan seperti yang dialami Baiq Nuril,” kata Damar.

Meski begitu, Damar mengatakan, kasus Baiq Nuril bisa memberikan suntikan semangat bagi korban UU ITE yang sedang mencari keadilan hingga upaya hukum pamungkas, yakni pengajuan amnesti.

“Selama ini paling perjuangan kami sampai kasasi di MA. Ternyata perjuangan itu bisa terus sampai ke amnesti,” ujarnya.

Pemberian amnesti kepada Baiq Nuril, bisa menjadi momentum untuk mengoreksi pasal-pasal di dalam UU ITE.

Revisi dan jalur hukum lain

Terpidana kasus pelanggaran Undang-Undang Transaksi dan Informasi Elektronik (UU ITE), Baiq Nuril Maknun memeluk putranya usai pengesahan amnesti untuk dirinya pada rapat paripurna DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (25/7). /Antara Foto.

Sementara itu, pakar hukum pidana dari Universitas Tarumanagara, Jakarta, Hery Firmansyah menilai, pasal yang dikenakan kepada Baiq Nuril memang dianggap terlalu sumir. Akibatnya, objek yang hendak disasar oleh pasal 7 ayat 1 rentan ditarik sesuai kepentingan.

"Termasuk pasal 27 ayat 1 yang belum secara detail dan jelas mengatur tentang siapa yang disasar dalam pasal tersebut," kata Hery saat dihubungi, Jumat (26/7).

Hery menuturkan, untuk mengurangi kasus-kasus dengan delik yang sama, ia menyarankan agar ada penyelesaian, tak mesti melalui peradilan. Menurut dia, ada instrumen hukum yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan perkara penghinaan dan pencemaran nama baik.

Sudah banyak kasus seseorang terjerat pasal UU ITE.

“Perlu kehati-hatian dan profesionalisme dalam penerapannya ke depan. Kalau bisa, sebaiknya penyelesaiannya adalah out of court settlement (keluar dari penyelesaian pengadilan),” ujar Hery.

Dari sisi regulasi, persoalan pengenaan pasal karet alias pasal yang tak jelas tolok ukurnya, tak serta merta bisa diubah.

Dihubungi terpisah, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta menjelaskan, DPR belum bisa berbuat banyak terkait pasal karet dalam UU ITE. Sebab, menurut anggota DPR Komisi I yang membidangi komunikasi dan informatika itu, pasal yang acap kali digunakan menjerat pelaku kejahatan informasi dan transaksi elektronik itu tak berdiri sendiri.

“Pasal 27 itu melihat dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). KUHP sendiri sedang proses revisi. Nanti kalau sudah selesai, undang-udang ikutannya akan perlu direvisi juga,” ujar Sukamta ketika dihubugi, Jumat (26/7).

img
Armidis
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan