Organisasi masyarakat yang bergerak di bidang kemerdekaan wanita, Perempuan Mahardika, menilai kasus Baiq Nuril sebagai pukulan telak terhadap upaya pemerintah Indonesia yang menampilkan diri sebagai negara yang mementingkan pemberdayaan perempuan.
Salah satu peneliti di Perempuan Mahardika, Vivi Widyawati, menyatakan bahwa dalam KTT G20 di Jepang pada 29 Juni, Presiden RI Joko Widodo menyampaikan pidato yang menekankan perempuan sebagai elemen penting dalam pencapaian target pembangunan nasional.
Dalam sesi KTT G20 bertema "Addressing Inequalities & Realizing an Inclusive and Sustainable World", Jokowi mengangkat isu terkait akses pendidikan dan pemberdayaan perempuan.
"Kita semua paham bahwa akses pendidikan dan pemberdayaan perempuan merupakan elemen penting untuk mencapai target Sustainable Development Goals (SDGs). Dan itu memerlukan kerja sama kita semua," kata Presiden Jokowi seperti dikutip dari keterangan tertulis Kantor Staf Presiden (KSP).
Namun, kenyataannya di dalam negeri, Baiq Nuril, perempuan yang mengalami pelecehan seksual, justru akan dijatuhi hukuman enam tahun penjara dan denda Rp500 juta.
Itu berdasarkan putusan Mahkamah Agung (MA) pada 26 September 2018 karena Baiq Nuril dinilai melanggar UU No 11 Tahun 2018 tentang ITE.
"Kami mendesak pemerintah untuk segera memiliki UU yang secara spesifik melindungi perempuan dari kriminalisasi akibat pelecehan seksual. Sekarang, masih banyak hukum yang bisa mengkriminalisasi korban pelecehan seksual, seperi Ibu Nuril," tegas Vivi dalam konferensi pers di Gedung YLBHI, Jakarta, Sabtu (6/7).
Sekretaris Nasional Perempuan Mahardika Mutiara Eka menyampaikan bahwa sejak ditahan polisi pada Maret 2017, Baiq Nuril memegang prinsip dirinya tidak bersalah.
"Tindakan merekam ucapan pelaku pelecehan seksual adalah bentuk pembelaan yang dia lakukan, berharap rekaman itu menjadi bukti atas pelecehan seksual yang dialaminya," lanjutnya.
Alih-alih menjadi bukti, kata Mutiara, Baiq Nuril justru dijadikan tersangka. Menurutnya, hal itu terjadi karena instrumen hukum di Indonesia belum sepenuhnya mengakomodir bentuk kekerasan seksual non-fisik atau verbal sebagai pelecehan seksual.
"Rekaman yang dimiliki Baiq Nuril justru menjadi barang bukti yang memberatkannya dan membuat pelaku bebas. Sejak menjadi tersangka pun, Baiq Nuril telah kehilangan pekerjaan sebagai guru honorer di SMAN 7 Mataram," jelas Mutiara.
Vivi menambahkan apa yang terjadi pada Baiq Nuril tidak dapat dianggap remeh karena hal yang sama dapat menimpa perempuan lainnya yang melaporkan kasus pelecehan seksual.
"Pekerja perempuan dan seluruh wanita yang mengalami pelecehan seksual menjadi takut karena tidak mendapat perlindungan di bawah hukum," ujarnya.
Maka itu, Vivi mendorong pemerintah untuk membuat hukum atau mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar perempuan Indonesia merasa aman ketika melaporkan kasus yang mereka alami.
Dalam konteks pekerja, lanjutnya, ketika mereka dikriminalisasi, ada kemungkinan besar dapat dipecat dari tempat kerja seperti yang dialami Baiq Nuril.
"Kami berupaya menggalang solidaritas dari berbagai kelompok terutama serikat buruh karena Baiq Nuril merupakan seorang guru. Pelecehan seksual yang berujung kriminalisasi korban seperti ini justru menghilangkan kesempatan kerja bagi korban," kata dia.
Pada 2017 dan 2018, Perempuan Mahardika merilis hasil penelitian yang fokus pada isu pelecehan seksual di lingkungan kerja. Menurut penelitian itu, sebanyak 56,5% buruh garmen perempuan adalah korban kekerasan berbasis gender di tempat kerja.
"Maka itu kami merasa senasib dengan Baiq Nuril karena kami tahu betul, saat ini tempat kerja masih sangat rentan terhadap pelecehan seksual," tutur Mutiara.