Penyidik Dittipideksus Bareskrim Polri menaikkan status kasus dugaan investasi bodong NET89 milik PT Simbiotik Multitalenta Indonesia (PT SMI) ke tahap penyidikan. Ketetapan itu keluar setelah penyidik melakukan gelar perkara.
"Saat ini status perkara (dugaan investasi bodong NET89) sudah tahap penyidikan,” kata Kabag Penum Ropenmas Divisi Humas Polri Kombes Nurul Azizah dalam keterangan, Senin (26/9).
Sementara, kepolisian telah meminta bantuan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM RI untuk mencekal 15 orang yang terlibat perkara ini.
"Pencekalan atau pencegahan ke luar negeri terhadap 15 orang dengan inisial AA, LSH, MA, AL, AAY, AR, RS, HS, M, ESI, HW, YWN, FI, FM, dan D," tuturnya.
Menurut Nurul, pencekalan belasan orang tersebut, dilakukan kepolisian sebagai langkah antisipasi agar mereka tidak melarikan diri ke luar negeri selama penyidikan berlangsung.
"Untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut, serta dikhawatirkan akan melarikan diri ke luar negeri," tuturnya.
Nurul menyebut, PT SMI dilaporkan atas dugaan melakukan skema piramida. Mereka menggunakan izin Surat Izin Usaha Perdagangan Penjualan Langsung (SIUPPL)./
Mereka, kata Nurul, juga diduga melakukan kegiatan perdagangan berjangka komoditi (PBK). Perdagangan dilakukan tanpa izin sejak 2017.
"Melakukan perdagangan berjangka komoditi tak berizin dengan cara menjual e-book untuk mendapatkan robot trading,” ujar Nurul.
Nuurl menyampaikan, dari proses itu kemudian langsung mendepositkan dana sesuai dengan harga robot di broker atau pialang luar negeri tak berizin, serta mengaktifkan robot tersebut di smartbot dan metatrader agar dapat melakukan trading secara otomatis.
“Dengan estimasi profit sebesar 1% sehingga profit tersebut dapat dibagi ke masing-masing untuk trader dan untuk PT SMI,” ucap Nurul.
Nurul menyampaikan, kerugian yang dialami oleh member dari NET89 atau PT SMI sebanyak kurang lebih 200.000 orang mencapai Rp1,8 triliun.
"Potensi kerugiannya dengan total member kurang lebih 200.000 member,yang masing-masing member membeli paket sebesar Rp9 juta. Sehingga, potensi kerugian kira-kira berjumlah Rp1,8 triliun," ujarnya.