Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mengirimkan amicus curiae (sahabat pengadilan) kepada Pengadilan Negeri (PN) Denpasar untuk perkara nomor 828/Pid.Sus/2020/Pn.Dps atas nama terdakwa I Gede Aryastina alias Jerinx, Rabu (18/11).
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus AT Napitupulu, meminta hakim hati-hati dalam memutus perkara Jerinx. Pertimbangannya, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dikritik merupakan organisasi profesi dan terlalu jauh jika dihubugkan dengan golongan penduduk ataupun dipersamakan dengan agama, suku, dan ras sebagaimana sangkaan Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
"Hakim harus berhati-hati melihat, bahwa penuntut umum tidak mampu membuktikan bahwa terdakwa Jerinx sengaja menyerang dokter secara umum. Jelas dalam persidangan, yang dituju oleh terdakwa Jerinx adalah kebijakan yang diambil terkait kewajiban rapid test," ujarnya dalam keterangan tertulis, beberapa saat lalu.
Menurut Erasmus, logika penuntut umum akan menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, apakah seseorang yang mengkritik sebuah organisasi berbadan hukum, yang secara spesifik beranggotakan golongan tertentu, merupakan ujaran kebencian.
"Seandainya ada kritik pada kebijakan Gubernur Bali, apakah artinya itu telah menghina masyarakat Bali? Apakah kalau ada krtitik pada lembaga demokratis, seperti NU atau Muhamaddiyah, artinya menghina Islam? Apakah mengkritik kebijakan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) artinya menghina agama Kristen Protestan? Hakim harus sangat berhati-hati dan meluruskan kembali logika fatalistik dari penuntut umum tersebut," tuturnya.
Dalam tataran formal, terangnya, banyak kesalahan penuntut umum. Mengaplikasikan dakwaan alternatif, misalnya, karena mencampuradukkan semua dakwaan tanpa memberikan pengecualian.
Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE, menurut Erasmus, semestinya tidak bisa disusun secara alternatif merujuk kualifikasi pasal masing-masing. Dirinya pun menyebut, dakwaan penuntut umum tidak cermat dan semestinya gugur mengingat perbuatan penabuh drum Superman is Dead itu sama sekali tidak memenuhi unsur yang dituntut.
Jerinx, baginya, seorang musisi yang menyuarakan aspirasi publik, bahkan mengadakan kegiatan sosial, seperti berbagi makanan sejak Mei 2020. Pun mengecam tata kelola kebijakan Covid-19 terkait tes cepat sebagai persyaratan administrasi bepergian di era normal baru, padahal banyak pakar kesehatan masyarakat telah lama meragukannya sebagai alat diagnosis.
Masalahnya, lanjut Erasmun, tes cepat juga diberlakukan sebagai persyaratan dalam pelayanan melahirkan. Akibatnya, beberapa pemberitaan ibu hamil mengalami keguguran karena kesulitan mengaksesnya dan terbebani biaya tambahan.
Jerinx lantas mempertanyakannya kepada IDI melalui akun resmi @ikatandokterindonesia. Namun, lalu dilaporkan kepada kepolisian pada 16 Juni 2020 lalu.