Polda Sumatera Utara telah menggelar sidang kode etik pada lima anggota Korps Bhayangkara terkait kasus penganiayaan di kerangkeng manusia milik mantan Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Kelimanya menjalani sidang itu karena dianggap mengetahui kasus penganiayaan tersebut namun tidak melaporkan kepada atasan.
Kabid Humas Polda Sumatera Utara Kombes Hadi Wahyudi mengatakan, hasil sidang itu menunjukkan kelimanya dihukum dengan demosi serta mutasi. Selain itu, mereka juga diganjar penundaan kenaikan pangkat hingga tidak menerima gaji.
“Iya betul sudah demosi dan mutasi,” kata Hadi kepada Alinea.id, Rabu (25/5).
Hadi menyebut, kelima orang itu berasal dari dua polres yang berbeda, yakni wilayah Langkat dan Binjai.
“Kelimanya dari Polres Langkat dan Binjai,” ucap Hadi.
Sebelumnya, Migran Care menemukan penjara pribadi di belakang kediaman Bupati Langkat Terbit Perangin-Angin. Terdapat 40 orang pekerja yang ditahan di dalam jeruji besi tersebut.
Menurut temuan Migran Care, para pekerja diduga tidak mendapatkan perlakuan baik, seperti tidak mendapat makanan layak saji, tidak mendapatkan upah gaji yang sesuai, atau bahkan tidak digaji serta terdapat perlakuan penganiayaan dan penyiksaan kepada para tahanan pekerja sawit itu. Migrant Care telah menyampaikan temuannya kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada Senin (24/1) siang.
Menurut Polda Sumut, kerangkeng tersebut merupakan tempat untuk rehabilitasi pengguna narkotika yang tak berizin dan telah berlangsung selama 10 tahun. Polda Sumut menyatakan, akan menggandeng pihak Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Sumut dan BNNP Kabupaten Langkat agar dapat memperjelas persoalan tersebut.
Taufik menegaskan, Indonesia telah meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia melalui Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998. Konvensi tersebut memberikan tanggung jawab negara untuk mencegah segala bentuk penyiksaan dan bentuk perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia, serta melakukan penegakan hukum apabila terdapat kejadian dan bertanggung jawab untuk memberikan pemulihan bagi korban.
Oleh karena itu, Taufik menegaskan, terdapat beberapa hal yang harus dilakukan pihak Kepolisian dan Komnas HAM. Yakni, pihak Kepolisian bersama Komnas HAM harus menelusuri bagaimana kerangkeng manusia tersebut digunakan, bagaimana kondisi kelayakan untuk ditempati manusia, adakah tindak penyiksaan atau perlakuan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat?
Kemudian, mencari pihak-pihak yang terlibat dalam penggunaan kerangkeng manusia tersebut, baik penanggungjawab utama maupun yang mengetahui penggunaannya yang turut bertanggung jawab. Lalu, menelusuri sejak kapan kerangkeng manusia tersebut digunakan, siapa saja yang pernah dikerangkeng di tempat itu, serta apa dampaknya bagi yang pernah berada di tempat tersebut baik secara fisik maupun psikologis?
"Jika ternyata hasil pengusutan ditemukan memang benar digunakan untuk menempatkan seseorang dalam kerangkeng, terlebih bila terdapat tindakan penyiksaan atau perlakuan yang tidak manusiawi, maka penegakan hukum harus dilakukan kepada semua yang bertanggung jawab dan pihak pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk memulihkan kondisi para korban," ujar politikus Partai Nasdem ini.