Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK telah melimpahkan berkas perkara Direktur Utama PT CMI Teknologi Raharjo Pratjihno, tersangka kasus dugaan korupsi proyek backbone coastal surveillance system di Badan Keamanan Laut (Bakamla) 2016 ke penuntutan atau tahap dua.
"Kamis (28/5/2020) Tim JPU KPK telah melimpahkan berkas perkara atas nama terdakwa Rahardjo Pratjinho ke PN Tipikor Jakarta Pusat," kata Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri, dalam keterangannya, Jumat (29/5).
Dikatakan Fikri, pihaknya belum mengetahui jadwal sidang perdana. Pasalnya, penuntut umum KPK masih menunggu penetapan waktu sidang dari Majelis Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
"Tim JPU KPK masih menunggu penetapan hari sidang," tuturnya.
Dalam perkara itu, KPK telah menetapkan tiga tersangka pada 31 Juli 2019. Ketiganya ialah, Ketua Unit Layanan dan Pengadaan, Leni Marlena, anggota Unit Layanan Pengadaan BCSS Juli Amar Ma'ruf, dan Direktur Utama PT CMIT Rahardjo Pratjihno selaku rekanan BCSS Bakamla.
Ketiganya dianggap telah melakukan perbuatan menguntungkan diri sendiri atau pihak lain dengan merugikan keuangan negara mencapai Rp54 miliar.
Kasus itu bermula saat ULP Bakamla RI mengumumkan lelang pengadaan perangkat Backbone Coastal Surveillance System (BCSS) yang terintegrasi dengan Bakamla Integrated Information System (BIIS) dengan pagu sebesar Rp400 miliar pada Agustus 2016. Padahal, nilai total Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebesar Rp399,8 miliar.
Sebulan berselang, PT CMI Teknologi (CMIT) ditetapkan sebagai pemenang tender dalam pengadaan BCSS. Tetapi, Kemenkeu memotong anggaran proyek tersebut pada awal Oktober 2016.
Meskipun anggaran tersebut nilainya di bawah HPS, ULP Bakamla tidak melakukan pelelangan ulang. Tetapi ULP Bakamla justru melakukan negosiasi dalam bentuk Design Review Meeting (DRM) dengan PT CMIT untuk membahas pemotongan anggaran pengadaan tersebut.
Kemudian, Bambang Udoyo selaku pejabat pembuat komitmen dan Direktur Utama PT CMIT Rahardjo Pratjihno menandatangani kontrak kerja sama senilai Rp170,57 miliar pada November 2016. Akibat dari proyek tersebut, nilai kerugian keuangan negara diperkirakan mencapai Rp54 miliar.
Sementara Rahardjo, KPK menyangkakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2001 jo. Pasal 18 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi jo. pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.