Terdakwa kasus dugaan korupsi pengadaan proyek Kartu Tanda Penduduk berbasis elektronik (KTP-el) Markus Nari, dituntut hukuman 9 tahun penjara dan denda Rp500 juta, subsider 6 bulan kurungan.
Penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi Andhi Kurniawan mengatakan, Markus Nari telah melakukan dua perbuatan melawan hukum. Pertama, Markus dianggap telah secara sah melakukan praktik rasuah secara bersama-sama.
Kedua, mantan politikus Partai Golkar itu dianggap telah melakukan perbuatan pidana, berupa merintangi secara tidak langsung pemeriksaan dalam sidang pengadilan perkara korupsi.
"Kami meminta majelis hakim untuk menjatuhkan pidana terhadap terdakwa, berupa pidana selama 9 tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta, dengan ketentuan apabila denda tidak dibayar, diganti dengan kurungan selama 6 bulan," kata Andhi saat membacakan nota tuntutan, di Pengadilan Jakarta Pusat, Senin (28/10).
Markus juga dituntut pidana tambahan berupa uang pengganti sejumlah US$900.000. Uang tersebut, merupakan jumlah total dana yang digelapkan Markus dari kasus korupsi KTP-el.
Adapun rinciannya, US$ 400.000 dari Sugiana Sudihardjo selaku Direktur Umum PT Quadra Solution, dan US$ 500.000 dari koordinator fee proyek e-KTP Andi Narogong.
Andhi menuntut Markus agar membayarkan uang pengganti itu dalam tenggat waktu sebulan, setelah putusan inkracht. Jika dalam waktu sebulan pasca-putusan tidak membayar pidana pengganti, kata Andhi, penuntut umum KPK akan menyita dan melelang harta benda Markus, guna menutupi pidana pengganti tersebut.
Selain itu, Andhi juga menuntut agar hak politik Markus dicabut selama 5 tahun, setelah selesai menjalani masa hukuman penjara.
Menurut Andhi, tuntutan tersebut disampaikan karena Markus dianggap melakukan tindakan yang memberatkan, dengan tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Akibat praktik rasuah yang dilakukan Markus, terjadi dampak luas dan masif, yang menyangkut kedaulatan pengelolaan data kependudukan nasional.
Bahkan, sambung Andhi, dampak dari korupsi itu masih dirasakan masyarakat hingga saat ini. Di samping itu, perbuatan Markus Nari juga telah menimbulkan kerugian keuangan negara yakni mencapai Rp2,3 triliun. Tidak mengakui perbutan rasuah itu, juga menjadi hal yabg memberatkan untuk Markus.
"Sedangkan hal yang meringankan, terdakwa bersifat sopan di persidangan," kata Andhi.
Markus dianggap melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun tindakan Maskus merintangi pemeriksaan, dianggap melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.