Kasus dugaan suap pengurusan izin impor bawang putih yang menjerat anggota Komisi VI DPR RI, I Nyoman Dhamantra, turut menyeret nama Indra Iskandar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun menjadwalkan pemeriksaan terhadap Sekretaris Jenderal DPR RI itu.
"Yang bersangkutan akan diperiksa sebagai saksi untuk tersangka IYD (I Nyoman Dhamantra)," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi melalui pesan singkat di Jakarta, Jumat (15/11).
Dalam perkaranya, politikus PDIP itu diduga kuat telah dijanjikan fee dari pemilik PT Cahaya Sakti Argo (CSA) Chandry Suanda alias Afung. Fee tersebut diperuntukan untuk mengurus proses izin impor bawang putih. Adapun fee yang dijanjikan yakni sekitar Rp1.700 hingga Rp1.800 dari setiap kilogram bawang putih yang diimpor.
KPK menduga, uang tersebut diberikan agar proses perizinan impor bawang putih tahun 2019 sebanyak 20.000 ton dapat terealisasi. Untuk mengurus kuota tersebut, muncul angka sebesar Rp3,6 miliar.
Namun, Afung tidak dapat membayar nilai kesepakatan tersebut secara tunai lantaran beberapa perusahaan yang ingin membeli kuota impornya belum memberikan uang. Lantas, Afung meminjam uang Zulfikar.
Kemudian, Zulfikar meminjamkan uang kepada Afung dengan syarat terdapat bunga pinjaman yang dibayar jika impor terealisasi dengan nilai sebesar Rp100 juta per bulan. Tak hanya itu, Zulfikar juga mendapat jatah dari setiap kilogram bawang putih yakni sebesar Rp50.
Zulfikar pun merealisasikan pinjaman tersebut dengan nilai sebesar Rp2,1 miliar. Uang itu dikirimkan ke rekening Doddy. Kemudian, Doddy mengirimkan uang sebesar Rp2 miliar ke rekening money changer milik I Nyoman.
KP menduga, uang itu digunakan untuk mengurus Surat Persetujuan Izin (SPI) di Kementrian Perdagangan. Setidaknya, uang untuk mengurus izin tersebut sebesar Rp2 miliar. Disisinyalir uang itu digunakan untuk mengunci kuota impor yang diurus atau istilah lainnya lock kuota. Sementara, sisanya sebesar Rp100 juta akan digunakan Doddy untuk mengurus administrasi perizinan.
Atas perbuatannya, I Nyoman disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.