Kejaksaan Agung (Kejagung) memastikan kasus dugaan impor emas yang sedang didalaminya berbeda dengan skandal emas Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) sekitar Rp189 triliun. Sebab, perkara yang tengah diusutnya masih tahap penyelidikan.
"Enggak, beda itu, beda! [Yang diusung Kejagung] masih lidik," kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Kuntadi, kepada Alinea.id, Rabu (13/4).
Dirinya menerangkan, berkas kasus impor emas yang ada di meja kerjanya kali pertama dibongkar anggota Komisi III DPR, Arteria Dahlan, saat rapat bersama Kejagung pada 2021. Potensi kerugian negaranya sekitar Rp2,9 triliun.
Sementara itu, Jampidsus Kejagung, Ali Mukartono, mengungkapkan, penyidik masih mempelajari kasus yang ditanganinya dari aspek regulasi. Sebab, setidaknya bersinggungan dengan dua peraturan perundang-undangan.
"Kita pelajari undang-undangnya. Kalau itu terkait dengan bongkahan emas, berarti harus menggunakan Undang-Undang Minerba. Tapi, kalau yang di bandara, pakai Undang-Undang Kepabeanan," tuturnya.
Kejagung pun sempat memanggil Bea Cukai Bandara Soekarno-Hatta untuk menggali kasus dugaan korupsi impor emas yang didalaminya. Pun sempat memeriksa importir hingga PT Aneka Tambang Tbk atau Antam.
Skandal emas Rp189 triliun yang melibatkan Bea Cukai terekspose belakangan ini menyusul viralnya utas akun Twitter @PartaiSocmed. Lalu, diklarifikasi Staf Khusus Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo.
Yustinus menerangkan, masalah ini bermula pada 2016. Kala itu, Bea Cukai Bandara Soetta menindak eksplorasi emas melalui kargo yang dilakukan PT Q dan ditindaklanjuti dengan penyidikan kepabeanan.
Dalam dokumen pemberitahuan ekspor barang (PEB), PT Q mengklaim emas dalam bentuk scrap jewellery. Namun, Bea Cukai mendeteksi kejanggalan dalam profil eksportir dan hasil sinar x sehingga menerbitkan nota hasil intelijen (NHI) guna mencegah pemuatan barang.
Lalu, ketika memeriksa barang ekspor, didapati emas batangan (ingot) alias tak sesuai dokumen PEB. Dengan demikian, mestinya dibutuhkan pesertujuan ekspor Kementerian Perdagangan (Kemendag).