close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi penanganan perkara hukum. Alinea.id/Oky Diaz
icon caption
Ilustrasi penanganan perkara hukum. Alinea.id/Oky Diaz
Nasional
Kamis, 10 Juni 2021 13:08

Keadilan restoratif ala Polri: Saat pemidanaan jadi nomor dua

Setidaknya sudah ada 1.864 perkara yang diselesaikan penyidik Polri menggunakan pendekatan keadilan restoratif.
swipe

Penyidik Polri di berbagai daerah mulai rutin menggunakan pendekatan restorative justice (keadilan restoratif) dalam menyelesaikan perkara. Sejak surat edaran Kapolri nomor SE/2/II/2021 tanggal 19 Februari 2021 terbit, setidaknya ada 1.864 perkara yang diselesaikan tanpa harus sampai ke meja hijau. 

Menurut Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabagpenum) Mabes Polri Kombes Ahmad Ramadhan mayoritas perkara yang diselesaikan menggunakan pendekatan keadilan restoratif ada di tingkat polda. Perkara terbanyak di Polda Jawa Timur (385 kasus), Polda Sumatera Selatan (287), dan Polda Sulawesi Selatan (172). 

"Di Bareskrim (Badan Reserse Kriminal) juga ada 28 kasus yang diselesaikan secara restorative justice," ujar Ramadhan saat berbincang dengan Alinea.id di Gedung Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu (8/6).

Dalam SE/2/II/2021, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menginstruksikan agar penyidik Polri mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara yang menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Disebutkan dalam SE itu, penyidik harus memfasilitasi mediasi antara korban dan pelaku serta para pihak yang terlibat dalam perkara yang ingin berdamai. Semua perkara diprioritaskan menggunakan pendekatan keadilan restoratif, terkecuali perkara yang berpotensi memecah belah, bernuansa SARA, radikalisme, dan separatisme. 

Menurut Ramadhan, petunjuk teknis (juknis) dan petunjuk pelaksanaan penanganan perkara dengan pendekatan keadilan restoratif sudah didistribusikan ke seluruh polda dan polres. "Sudah ada penjelasannya semua mengenai hal itu di peraturan Kapolri sebelumnya dan putusan MA (Mahkamah Agung). Pertimbangannya juga dijelaskan di dalam situ," kata dia. 

Salah satu acuan pendekatan keadilan restoratif ialah SE Kapolri Nomor 8/VII/2018. Dijelaskan dalam SE itu, pendekatan restorative justice digunakan jika perkara memenuhi syarat materiil dan syarat formil. 

Syarat-syarat formil yang mesti terpenuhi, semisal perkara tersebut tidak menimbulkan keresahan dan tidak ada penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, serta tingkat kesalahan pelaku relatif tidak berat.

Perkara pidana yang bisa ditangani dengan pendekatan restorative justice apabila surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) belum diserahkan ke kejaksaan. "Tidak semua kasus dapat diselesaikan dengan cara itu, tetap harus ada kesepakatan kedua belah pihak," kata Ramadhan.

Adapun yang termasuk syarat formil, semisal ada surat perdamaian (akte dading) dari kedua belah pihak, yakni pelapor dan terlapor, ada rekomendasi gelar perkara yang menyetujui penggunaan pendekatan keadilan restoratif, serta pelaku tidak keberatan atas tanggung jawab dan ganti rugi. 

Selain sejumlah SE, Perkap, dan Telegram Kapolri, surat keputusan (SK) Dirjen Peradilan Umum MA Nomor 1691 tertanggal 22 Desember 2020 juga menjadi panduan pertimbangan restorative justice. SK itu merinci mengenai syarat dan jenis tindak pidana yang boleh diselesaikan dengan cara damai.

Dalam surat keputusan itu, ditegaskan bahwa dialog yang menjadi cara penuntasan perkara akan dihadiri oleh pihak korban, keluarga korban dan pelaku. Cara ini dimaksudkan agar adanya pemulihan korban dengan ganti rugi dan kesepakatan-kesepakatan lainnya.

Jenis tindak pidana yang boleh diselesaikan dengan cara ini, semisal pencurian ringan hasil perkebunan, penggelapan cicilan oleh karyawan sektor finansial, penipuan ringan, kecurangan perdagangan, perusakan barang dengan kerugian barang hanya Rp600 ribu, dan penadahan yang nilai kerugiannya hanya Rp600 ribu.

Ancaman hukuman maksimal untuk perkara-perkara pidana itu hanya berupa tiga bulan kurungan dan denda Rp2,5 juta. Karena itu, penuntasan perkaranya dianggap tidak perlu melalui pengadilan. "Pelaku sendiri juga harus dipastikan bukan residivis yang mengulangi tindak pidana," imbuh Ramadhan. 

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat (Kabidhumas) Polda Jawa Timur Kombes Gatot Refli mengungkapkan pendekatan keadilan restoratif sudah sejak lama digunakan penyidik. Namun, jumlah perkara yang diselesaikan menggunakan pendekatan itu meningkat drastis setelah SE dan surat telegram Kapolri teranyar terbit. 

Total, kata Gatot, sudah ada 234 perkara yang berakhir damai. Jenis perkara yang paling banyak ditangani menggunakan pendekatan keadilan restoratif, antara lain penipuan, penggelapan, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan penganiayaan ringan.

"Sebanyak 115 kasus diselesaikan dengan restorative justice saat masih proses penyelidikan dan 119 kasus diselesaikan ketika dalam proses penyidikan,"  kata Gatot saat dihubungi Alinea.id, Rabu (9/6).

Menurut Gatot, pendekatan keadilan restoratif meringankan beban penyidik dan memangkas biaya penanganan perkara. Penyelesaian perkara pun relatif lebih cepat ketimbang perkara-perkara lainnya.  "Waktu penuntasannya tergantung permasalahannya. Ada yang bisa cepat sekali. Satu hari dipertemukan, selesai," ujarnya. 

Komjen Polisi Sigit Listyo Prabowo saat memberikan paparan dalam uji kepatutan dan kelayakan atau fit and proper test di hadapan anggota Komisi lll DPR RI, Rabu (20/1/2021). /Foto dok. Humas Polri

Solusi mengurangi kepadatan LP

Anggota Komisi III DPR dari fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Adang Daradjatun mengapresiasi penerapan pendekatan keadilan restoratif yang didorong Kapolri Jenderal Listyo Sigit. Menurut dia, banyak kasus di masyarakat yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan cara damai.

Penanganan perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif, kata Adang, juga bisa jadi solusi untuk mengurangi kepadatan lembaga permasyarakatan (LP) di berbagai daerah.  

"Yang terjadi sekarang lembaga-lembaga permasyarakatan itu hampir rata-rata penuh oleh kasus-kasus kecil yang mungkin bisa dilakukan dengan pendekatan berkeadilan," kata Adang saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (5/6).

Selain karena kapasitasnya yang kurang, menurut Adang, LP mengalami kepadatan lantaran polisi kerap melihat perkara pidana secara kaku. Dengan dalih demi penegakan dan kepastian hukum, banyak penyidik yang mengejar mekanisme pemidanaan dalam menyelesaikan kasus. 

"Kualitas polisi di masa lalu dan kualitas polisi masa sekarang jauh. Kalau kita dulu lebih kaku terhadap hukum. Dulu itu ada istilah pokoknya untuk pemidanaan. Tapi, sekarang sudah ada perubahan nilai dan perubahan paradigma yang lebih baik," kata mantan Wakapolri itu. 

Lebih jauh, Adang menyarankan supaya pendekatan keadilan restoratif diterapkan sejak kasus mencuat di sentra pelayanan kepolisian terpadu (SKPT) sebagai pintu masuk penanganan perkara. Untuk itu, perlu ada pelatihan khusus kepada para petugas SKPT.

"Perwira di situ harus mampu menilai suatu laporan apakah bisa didamaikan atau harus dilanjutkan ke penyidikan. Jadi, kalau memang kualitas dihubungkan dengan penegakan hukum yang berkeadilan, ya, pintunya di SPKT itu," kata Adang.  

Tak hanya itu, Adang pun menyarankan agar key performance indicator (KPI) kinerja polisi dimodifikasi supaya tidak hanya berfokus pada prestasi penyelesaian kasus lewat pemidanaan. KPI personel polda dan polres juga mesti mengakomodasi penyelesaian kasus yang dilakukan lewat pendekatan restorative justice

"KPI di kepolisian selama ini adalah bagaimana dia memproses suatu kasus atau memberkas (hukum acara pidana) suatu kasus. Jadi, memang perlu (berubah). Kalau untuk saya sebenarnya ujung-ujungnya kan soal profesionalisme dalam arti luas. Ya, ini menyangkut kejujuran," kata dia. 

Adang mengatakan penerapan restorative justice perlu diimbangi dengan pengawasan yang ketat dari divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri. Ia khawatir penyelesaian kasus secara damai itu diselewengkan oleh oknum-oknum penyidik. 

"Dengan mekanisme ini, polisi akan menjadi  penengah, semisal yang satu uangnya lebih banyak, lalu dia berpihak. Nah, itu enggak bagus. Karena itu, langkah-langkah pengawasan dari Divpropam Polri dan pengawas lainnya harus optimal," jelas Adang. 

 Personel Polda Nusa Tenggara Timur memediasi pihak-pihak yang berperkara dalam sebuah kasus penganiayaan di Polres Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur, Kamis (3/6). /Foto dok. Humas Polri

Harus diawasi ketat

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengatakan penerapan restorative justice tepat untuk digunakan menyelesaikan perkara-perkara ringan. Menurut dia, pendekatan itu juga sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkembang di masyarakat. 

"Restorative justice sejalan dengan kearifan lokal untuk menyelesaikan masalah dengan musyawarah mufakat, saling memaafkan, dan pihak- pihak yang bermasalah mendapat keadilan yang seimbang," kata Poengky kepada Alinea.id, Rabu (2/6).

Poenky mengatakan penerapan restorative justice dalam penyelesaian perkara dapat membantu kepolisian meningkatkan kinerjanya. Menurut dia, penyidik Polri kerap kewalahan lantaran jumlah perkara yang masuk tidak sebanding dengan jumlah sumber daya manusia (SDM). 

"Terlebih bila para pihak (pelaku dan korban) punya hubungan kekerabatan atau pertemanan. Bhabinkamtibmas di kampung-kampung juga bisa berperan membantu memediasi perselisihan atau tindak pidana yang sifatnya ringan untuk dapat diselesaikan secara damai," ujar Poengky.

Untuk menghindari praktik mafia hukum bertopeng restorative justice, Poengky menyebut proses penyidikan dan mediasi perlu dilakukan secara transparan. Pengawas internal Polri pun harus diterjunkan untuk mensupervisi penanganan perkara. 

"Pengawasan harus dilakukan secara sungguh-sungguh oleh wassidik (pengawas penyidikan), atasan penyidik, dan pengawas internal. Laporan perkembangan penyidikan, alat-alat untuk monitor, semisal CCTV, video, recorder dapat membantu mengawasi tindakan penyidik agar tidak menyimpang," ujar Poengky. 

Infografik Alinea.id/Oky Diaz

Peneliti dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto sepakat penerapan pendekatan keadilan restoratif dalam penanganan perkara di kepolisian mesti diawasi ketat. Ia memandang pendekatan itu bisa jadi lahan persekongkolan pelaku pidana dan oknum polisi. 

"Bila tidak ada transparansi, bisa muncul asumsi bahwa polisi malah bertindak bukan sebagai penegak hukum yang profesional, tetapi cenderung menjadi “pengacara” yang lebih berpihak pada pelaku tindak pidana," kata Bambang kepada Alinea.id

Bambang meminta kepolisian mempublikasikan data penanganan perkara menggunakan pendekatan keadilan restoratif secara berkala dan mendetail. Ia khawatir ada perkara-perkara pidana "berbahaya" yang malah dituntaskan menggunakan pendekatan keadilan restoratif.

"Seperti tindak pidana kekerasan seksual atau kasus perkosaan. Ini kan sebenarnya juga tak layak bila diterapkan RJ (restorative justice) karena menyangkut trauma korban sepanjang hidup. Tanpa ada laporan secara transparan kepada publik, sangat susah untuk melihat kualitas kasus itu," kata Bambang. 

Transparansi dan data kualitatif, kata Bambang, juga penting untuk mengukur KPI personel polisi. Menurut, data kuantitas penanganan perkara tidak bisa sepenuhnya dijadikan acuan untuk menilai kinerja aparat kepolisian di lapangan. 

"Sebagai contoh penanganan perkara pidana korupsi tentunya tidak bisa dibandingkan dengan perkara kriminal biasa. Kualitasnya tentunya berbeda. Masing-masing wilayah pun punya karakter yang berbeda. Jadi, tidak bisa diukur cuma sekadar kuantitas saja," ucap Bambang. 
 

img
Ayu mumpuni
Reporter
img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Christian D Simbolon
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan