close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi disabilitas. Alinea.id/Oky Diaz.
icon caption
Ilustrasi disabilitas. Alinea.id/Oky Diaz.
Nasional
Kamis, 03 Desember 2020 17:39

Fitra: Kebijakan anggaran masih memarginalkan kelompok disabilitas

Masih banyak ditemukan kesenjangan terhadap kelompok disabilitas.
swipe

Program pembangunan inklusif disabilitas adalah sebuah program yang bertujuan untuk memberikan jaminan terhadap seluruh kelompok masyarakat, khususnya kelompok disabilitas.

Manajer Knowledge Manajement Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenti Nurhidayat mengatakan, dalam praktiknya, masih banyak ditemukan kesenjangan terhadap kelompok disabilitas. Peran mereka di dalam masyarakat ternyata masih termarjinalisasi, padahal kelompok disabilitas jelas memiliki hak yang sama untuk dapat berpartisipasi dalam pembangunan. Adanya marjinalisasi tersebut jelas menjadi suatu penghambat utama dalam tercapainya pembangunan inklusif di dalam kelompok masyarakat.

Berdasarkan catatan Fitra, implementasi kebijakan dan anggaran untuk kelompok disabilitas setelah pengesahan UU Disabilitas Tahun 2016, ternyata masih menggunakan paradigma charity base.

"Penggunaan paradigma charity base tersebut jelas menyebabkan ketimpangan yang besar, dimana struktur anggaran disabilitas masih didominasi oleh program dan kegiatan yang sifatnya sebagai bantuan sosial," kata dia dalam keterangan tertulisnya, Kamis (3/12).

Mengutip data dari Pepres APBN tahun 2018-2020 yang diolah kembali oleh Fitra tentang Anggaran Belanja Kegiatan Rehabilitasi Sosial bagi Penyandang Disabilitas di Kementerian Sosial, sejak 2018-2020 anggaran belanja Kemensos mencapai angka mulai dari Rp41.295,7 miliar-Rp104.440,9 miliar.

Sementara untuk anggaran belanja kegiatan rehabilitasi sosial bagi penyandang disabilitas sejak rentang 2018-2020 menunjukkan angka mulai dari Rp317.5 miliar-Rp331.5 miliar, dengan persentase mulai dari 0,8%-0,3% yang kian menurun setiap tahunnya.

"Alokasi anggaran yang cenderung menurun setiap tahun tersebut jelas menjadi sebuah tanda tanya besar terkait keseriusan pemerintah dalam mewujudkan pembangunan yang inklusif bagi penyandang disabilitas," ucap dia lagi.

Selain itu, ketimpangan bagi para penyandang disabilitas juga kerap terjadi di dalam dunia kerja. Penyandang disabilitas masih saja mengalami marjinalisasi untuk memperoleh kesempatan bekerja, atau perlakuan yang berbeda dari para pekerja umumnya.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPS perihal Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) Umur 15 Tahun ke Atas Menurut Status Disabilitas pada 2016-2019 yang diolah kembali oleh Fitra, hasil ketimpangan yang cukup besar antara pekerja penyandang disabilitas dengan pekerja nondisabilitas. Sejak 2016-2019 tercatat persentase angka TPAK nondisabilitas kian meningkat setiap tahunnya. Persentasenya mulai dari 68,79% pada 2016 dan 70,01% pada 2019.

Sementara itu, TPAK penyandang disabilitas justeru berbanding terbalik dengan apa yang terdapat pada TPAK nondisabilitas, sejak 2016-2019 persentase angka menunjukkan sekitar 48,23% pada 2016, dan 45,9% pada 2019. Hal tersebut seakan memberikan gambaran detail mengenai sulitnya penyandang disabilitas untuk dapat mengakses dunia kerja.

"Kesenjangan tersebut juga tidak berhenti di situ. TPAK penyandang disabilitas perempuan rupanya lebih mengkhawatirkan dibandingkan TPAK penyangang disabilitas laki-laki. Menurut data BPS dalam Indikator Kesejahteraan Rakyat 2020, TPAK penyandang disabilitas perempuan hanya sekitar 33,96% saja. Sementara itu TPAK penyandang disabilitas laki-laki menunjukkan persentase sebanyak 60,06%," papar Koordinator data Fitra, Rizka Fitriyani. 

Mengutip data dari Bappenas pada 2020, sebanyak 1,37 juta jiwa atau sekitar 72% penyandang disabilitas ternyata bekerja pada sektor informal. Hal tersebut berbanding jauh dengan angka pekerja nondisabilitas yang bekerja pada sektor informal. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menyebabkan melonjaknya tingkat kerentanan sosial dan ekonomi bagi para penyandang disabilitas. Selain itu, praktik keji terhadap penyandang disabilitas juga masih sering terjadi seperti diskriminasi dalam pengupahan, keterbatasan ruang dan hak yang meliputi hak atas kesehatan, hak atas pendidikan, dan hak lainnya.

Untuk itu, Seknas Fitra menilai pengesahan UU No.8 Tahun 2016 beserta beberapa regulasi turunan yang dikeluarkan oleh pemeritah untuk memastikan penghormatan, perlindungan, hingga pemenuhan hak penyandang disabilitas, dirasa masih belum cukup untuk mencapai pembangunan inklusif masyarakat.

Seknas Fitra memberikan rekomendasi untuk menjadikan inklusif disabilitas menjadi mainstreaming dalam pembangunan. Serta sebagai prasyarat mutlak yang harus dipenuhi oleh pemerintah, antara lain, membangun regulasi yang mendukung, berkeadilan dnegan melibatkan partisipasi aktif penyandang disabilitas (perempuan dan laki-laki) dalam proses penyusunannya.

"Lakukan perbaikan sistem data kependudukan secara umum, dan data disabilitas secara khusus. Ketersediaan anggaran yang cukup dengan perubahan paradigma charity base menjadi human right base di semua sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur, ekonomi, sosial, dan politik. Serta  lakukan penguatan kapasitas dan perspektif aparatur dalam memahami tidak ada satu orang pun yang ditinggalkan dalam pembangunan," papar dia.

img
Andi Adam Faturahman
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan