Kebijakan penangkapan ikan terukur membuat nelayan tersungkur
Sore itu, sebuah kapal nelayan KM Lautan Samudera 8 berbobot 258 gross ton (GT) susah payah memperbaiki posisi bersandarnya di Pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. Terlalu banyak kapal yang hendak bersandar, memasuki pelabuhan.
Jumlahnya mencapai ratusan kapal bertonase 100 GT ke atas. Kapal-kapal itu memasuki pelabuhan karena “frustasi” melaut berhari-hari, namun hasil tangkapan sangat sedikit. Tak sebanding dengan ongkos yang telah dikeluarkan.
“Tarik! Majuin dikit! Tali lepasin, biar enggak nyangkut!” ujar seorang pria bertelanjang dada, memberikan aba-aba merapikan posisi kapal untuk memberi ruang kapal lain yang hendak bersandar, Rabu (3/5).
Apes nelayan karena kebijakan
Salah seorang awak kapal KM Lautan Samudera 8, Selamet Riyadi, 40 tahun, mengaku sangat ingin pulang ke kampung halamannya di Purwokerto, Jawa Tengah. Sudah berbulan-bulan ia tinggal di Muara Angke, tetapi tak mengantongi cukup uang lantaran kapal tempat ia mencari nafkah kerap tak melaut. Kapal itu mengalami kerusakan mesin atau takut kena sanksi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Selain itu, ikan di laut lagi sedikit. Jadi tombok terus,” ucap Riyadi kepada Alinea.id, Rabu (3/5).
Karena kapal terlalu lama bersandar, ia mengaku sempat telantar di Muara Angke. Kapal pun perlu menghitung cermat hasil kemungkinan tangkapan di daerah yang hendak dituju. Sebab, zonasi tangkapan ikan di laut Jawa dan Sumatera tidak bisa leluasa dijaring.
“Tekong (juragan) juga mau untung. Jadi ongkos sama hasil tangkapan perlu dilihat,” katanya.
Riyadi mengatakan, ia pun sempat tak mendapat uang sepeser pun karena kapal tempat ia bernaung terkena sanksi administratif yang besar, hingga miliaran rupiah. Uang denda itu harus ditanggung seluruh awak.
“Saya harus utang ke sana ke mari, buat menyambung hidup di sini,” ujarnya.
Seorang awak kapal lainnya, Harun, 32 tahun, juga senasib dengan Riyadi. Sejak awal 2023, katanya, banyak kapal di Muara Angke yang tak melaut lantaran kena masalah administrasi dan hasil tangkapan yang minim.
“Buat kami yang cuma ABK (anak buah kapal) berat banget kondisi ini. Karena sama sekali enggak kerja, cuma bisa rebahan di kapal,” tutur Harun.
Sanksi administratif adalah buntut penerapan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021 tentang Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kelautan dan Perikanan. Di dalam pasal 2 peraturan itu disebutkan, sanksi administratif dikenakan terhadap pelanggaran ketentuan perizinan berusaha di sektor kelautan dan perikanan, pemanfaatan ruang laut, kewajiban penyedia dan pengguna sistem pemantauan kapal perikanan (SPKP), serta pelaksanaan impor komoditas perikanan dan komoditas pergaraman.
Sanksi administratif yang terlalu besar juga memicu protes ratusan nelayan dan pemilik kapal di Tegal. Pada Rabu (3/5), mereka menduduki Kantor Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) di Pelabuhan Tegalsari, Kota Tegal untuk memprotes denda pelanggaran daerah penangkapan ikan yang mencapai miliaran rupiah.
Sanksi administratif yang terlampau tinggi dianggap bisa merusak kelangsungan usaha perikanan. Mereka pun terancam menganggur karena banyak kapal yang tak bisa melaut akibat sanksi itu.
Koordinator Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HSNI) Riswanto mengatakan, nelayan kapal besar mengaku nyaris bangkrut lantaran terkena denda yang terlalu tinggi hingga Rp3 miliar satu kapal.
"Kami tidak mampu beroperasi karena tidak sanggup membayar denda administrasi," ucap Riswanto, Selasa (2/5).
Sementara Ketua Asosiasi Perikanan Tangkap Terpadu (Aspertadu) Marzuki Yazid menuturkan, saat ini banyak juragan kapal dan pengusaha perikanan yang ketar-ketir terkait sanksi administratif itu.
Selain sanksi administratif, kata Marzuki, para pelaku usaha perikanan tangkap juga tengah cemas menunggu regulasi teknis dari Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur. Beleid itu menghendaki penangkapan ikan berbasis kuota dan zonasi.
“Kuota ini belum jelas seperti apa mekanismenya, takutnya tak sebanding dengan bobot kapal dan ongkos yang telah dikeluarkan. Dan juga potensi perikanan yang ada di zonasi itu,” kata Marzuki, Selasa (2/5).
Menurut Marzuki, kuota penangkapan ikan yang diterapkan pemerintah tak bisa berlaku tetap. Soalnya, setiap zona penangkapan ikan memiliki potensi berbeda. Besar-kecil kapal pun turut memengaruhi perbedaan hasil tangkapan.
"Ikan di laut tidak bisa dideteksi. Nelayan yang tiap hari tangkap dan hafal waktu musim saja masih meleset," ucap Marzuki.
Di samping itu, data sumber daya perikanan juga berubah sepanjang waktu, sehingga tak bisa ditetapkan dengan basis data yang sesaat. “Kuota akan menjadi tidak ada manfaat bagi pelaku usaha lokal,” ujarnya.
“Apakah benar ikan di laut benar-benar ada? Ini kan bukan tambang.”
Mekanisme penangkapan ikan terukur, menurut Marzuki, juga perlu diperkuat dengan infrastruktur yang menunjang untuk stabilitas harga ikan supaya tak jauh. Namun, fakta di lapangan, masih banyak pelabuhan yang tidak layak untuk bongkar muat kapal, sehingga membuat prosesnya sangat lama, menyebabkan kualitas ikan menurun dan harganya anjlok.
“Permen (peraturan menteri) yang mengatur harga ikan di setiap pelabuhan juga hanya mampu mengakomodir 70-an pelabuhan perikanan,” katanya.
“Sementara eksisting yang selama ini kapal-kapal di atas 30 GT lebih dari 150 pelabuhan. Jadi, ada kesan kapal-kapal dipaksa harus bongkar di mana yang pemerintah mau, padahal infrastruktur dan daya dukung SDM belum siap.”
Ia mencontohkan kasus yang terjadi di Pelabuhan Perikanan Pantai Popoh, Tulungagung, Jawa Timur. Di sana, banyak kapal harus antre lantaran fasilitas pelabuhan yang tidak memadai. Bahkan, ada yang sampai sepekan baru rampung bongkar muat.
“Kan ini membahayakan jaminan mutu hasil tangkapan,” tuturnya.
Saat ini pun, kata dia, kapal lokal masih banyak terlunta-lunta untuk mendapatkan perpanjangan izin beroperasi. Sebab, harus menunggu aturan turunan PP 11/2023 berupa peraturan menteri.
Operasional penangkapan ikan terukur berbasis kuota, menurut Marzuki, mesti diperkuat terlebih dahulu dengan infrastruktur yang memadai, agar tak mencekik pelaku usaha perikanan dan sanksi dengan tarikan pajak.
“Poinnya, jangan dipaksakan jika belum siap,” ujarnya.
Celah korupsi dan pengawasan
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai, kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota perlu dikaji dengan jelas sesuai komoditas primadona zona penangkapan ikan. Ia merasa, sistem kuota benih justru membuka celah korupsi di lingkaran KKP, jika melihat kasus korupsi benih lobster yang menimpa mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Mekanismenya, ujar Susan, harus ditimbang apakah memang sudah sesuai dengan potensi komoditas primadona di setiap zonasi tangkapan ikan model penangkapan nelayan yang beragam, aneka sumber daya perikanan, dan disparitas geografis yang juga menentukan jenis alat tangkap, jenis komoditi yang ditangkap, serta ketersediaan fasilitas.
Apalagi sejauh ini belum ada data valid yang menggambarkan potensi wilayah pengelolaan perikanan negara RI (WPNRI). Karena KKP dan Komisi Nasional Pengkajian Sumber Daya Ikan (Komnaskajiskan) tidak sama dalam memaparkan potensi masing-masing zona.
Data potensi perikanan, menurut Susan, pernah bermasalah saat terjadi kasus korupsi benih lobster. Banyak daerah yang dianggap punya potensi benih lobster, tetapi faktanya nelayan tak pernah mendapati lobster lagi karena eksploitasi industri perikanan berskala besar.
"Kalau kita lihat lagi dan diskusi dengan nelayan yang ada di Lombok itu sebenarnya enggak ada benih (lobster), sudah habis," ucap Susan, Kamis (4/5).
Ia berpendapat, potensi korupsi dari pemberian izin kuota sangat mungkin terjadi, seperti kasus rasuah benih lobster. Bisa saja oknum pejabat menggunakan PP 11/2023 untuk main mata dengan investor yang berniat melakukan eksploitasi komoditas perikanan unggulan.
“Tanpa negara melakukan cek dan ricek latar belakang dari si pengaju. Kemudian, bagaimana mereka menggunakan alat tangkap, mekanisme kontrolnya, apakah ada transshipment di tengah laut,” ujarnya.
Isu kelestarian ekosistem laut pada kebijakan penangkapan ikan terukur, menurutnya, hanya retorika untuk membuka celah korupsi izin penetapan kuota perikanan. Baginya, kebijakan yang lahir akibat Undang-Undang Cipta Kerja ini memang ingin memberi ruang seluas-luasnya untuk investor perikanan.
“Pemerintah mau memanfaatkan sumber daya yang ada, kemudian membangun narasi bahwa perikanan tangkap sudah dieksploitasi,” kata dia.
Ia merasa pesimis kebijakan penangkapan ikan terukur bisa diawasi secara ketat oleh pemerintah. Alasannya, saat ini saja KKP dan pihak terkait masih kelimpungan mengawasi aktivitas penangkapan di laut.
“Ketika pemerintah sudah mengeluarkan kuota, bagaimana pemerintah bisa melakukan pengawasan kapal-kapal yang sudah diberi izin?” katanya.
“Bagaimana mereka menggunakan alat tangkapnya? Bagaimana perlakuan pekerja di atas kapal? Bagaimana pemerintah menjawab tantangan kalau kapal-kapal itu melakukan alih muatan di tengah laut?”
Ia berpendapat, niat untuk melindungi sumber daya perikanan lebih terkendali, malah bisa berbuah petaka kalau ternyata kapal besar dapat melakukan eksploitasi. Akibatnya, nelayan tradisional akan terkena imbas dari praktik ini.
“Mereka ini kan beroperasi di atas perairan 13 mil. Kalau narasi besarnya tidak akan mengganggu nelayan tradisional karena itu bukan jalur lintas mereka, itu betul. Tapi, laut itu kesatuan seperti mangkuk besar,” kata dia.
“Di mana pun dia dikeruk, itu akan berpengaruh pada titik lain. Kalau sudah over exploited karena penangkapan ikan luar biasa dilakukan kapal-kapal besar, otomatis akan berdampak pada nelayan tradisional," ucap Susan.
Terpisah, Guru Besar Departemen Manajemen Sumber Daya Akuatik Universitas Diponegoro (Undip) Suradi Wijaya Saputra memandang, sebaiknya penetapan kuota tangkapan ikan disesuaikan berdasarkan bobot kapal dan potensi daerah tangkapan.
“Kemudian dihitung juga berapa kapal yang beroperasi di zona tangkap tersebut,” ujar Suradi, Kamis (4/5).
Bobot kapal perlu dikalkulasi agar tak terlalu menjerat pelaku perikanan. “Kapal 300 GT dengan yang 100 GT, tentu kuotanya banyak yang 300 GT, melihat biaya operasional dan jumlah ABK yang lebih banyak,” ucapnya.
Namun, risikonya, metode perhitungan ini bakal membuat kapal yang berbeda zonasi tangkapan tidak akan punya kuota yang sama. Sekali pun punya bobot yang sama.
“Sebab, ketersediaan ikan masing-masing zonasi berbeda,” katanya.
Ia mengakui, bukan perkara gampang menerapkan model penangkapan ikan terukur. Terlebih, selama ini pelaku perikanan dihantui pajak dan sanksi administratif yang besar.
“Semula memang akan dibebankan kepada GT. Tapi, GT ini tidak tentu hasilnya, pajaknya sudah pasti besar. Makanya banyak yang protes. Sekarang yang cenderung disepakati adalah pasca-produksi,” kata dia.
Sementara untuk sanksi administratif, menurut Suradi, masih menjadi bola panas di kalangan pelaku perikanan. Ia menyarankan pihak KKP segera bertemu pihak yang keberatan supaya tak terjadi konflik terus-menerus. KKP juga harus bisa menjawab tantangan pihak yang meragukan pengawasan industri perikanan yang lemah.
“Caranya, melakukan pengawasan ketat dari kapal berangkat di pelabuhan dan menyebar petugas observasi di laut untuk mencegah terjadinya pelanggaran. Segera juga eksekusi rencana pengawasan lewat satelit,” katanya.
Alinea.id sudah berusaha mengkonfirmasi polemik penangkapan ikan terukur kepada Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP Ukon Ahmad Furqon. Namun, hingga artikel ini dipublikasikan, belum ada tanggapan.