Sopir bus pariwisata Putera Fajar yang membawa rombongan SMK Lingga Kencana, Depok, Sadira, sudah ditetapkan sebagai tersangka atas kecelakaan yang menewaskan sembilan siswa, satu guru, dan satu warga di daearah Ciater, Subang, Jawa Barat pada Sabtu (11/5) lalu. Ia terancam hukuman 12 tahun penjara.
Pihak kepolisian mengungkap, penyebab utama kecelakaan itu karena kegagalan fungsi pada sistem pengereman bus. Pihak pemilik bus baru akan diperiksa. Kecelakaan bus sendiri kerap menyeret sopir sebagai “tumbal.”
Menurut pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat, Djoko Setijowarno, langkah yang diambil kepolisian membuat masyarakat semakin sulit percaya, kasus bakal tuntas. Sebab, perusahaan pemilik bus tak diusut lebih jauh.
Dalam kecelakaan tersebut, Djoko mengakui, sopir memang bersalah. Namun, tak ada kecelakaan yang diakibatkan satu sebab. Ia merasa, penyebab sopir lalai—apalagi karena kelelahan—perlu dilihat lebih jauh. Pemilik bus yang kerap memodifikasi bentuk kendaraan sesuka hatinya pun perlu diperiksa lebih dalam.
“Jika terbukti pengemudi membawa kendaraan atas perintah perusahaan, maka yang dipidana adalah perusahaan atau pengurus yang memerintahkan,” katanya kepada Alinea.id, Rabu (15/5).
Inti kecelakaan itu, kata Djoko, ada kelalaian pihak operator yang absen dalam melakukan uji kir—rangkaian kegiatan uji kendaraan bermotor sebagai tanda kendaraan tersebut layak digunakan secara teknis di jalan raya. Bila tidak dilakukan uji kir, maka bus tak layak jalan. Sayangnya, pihak operator tetap mengizinkan.
Dikutip dari Antara, Kepala Bagian Hukum dan Humas Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Aznal mengungkapkan, bus yang membawa rombongan siswa dan guru itu tak punya izin angkutan. Aznal juga mengatakan, hasil pengecekan pada aplikasi Mitra Darat, status lulus uji berkala dari bus itu sudah kedaluwarsa. Diduga pula, bus itu sudah mengalami modifikasi dan rakitan tahun 2006.
“Sudah saatnya pengusaha bus yang tidak mau tertib administrasi diperkarakan. Selama ini, selalu sopir yang dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus,” ujar Djoko.
“Sudah jarang sekali ada perusahaan bus yang diperkarakan hingga ke pengadilan. Termasuk pemilik lama juga harus bertanggung jawab.”
Djoko menambahkan, nyaris semua bus pariwisata yang terlibat kecelakaan adalah bus bekas antarkota antarprovinsi (AKAP) atau antarkota dalam provinsi (AKDP). Korban yang celaka polanya mirip, yakni akibat tak ada sabuk keselamatan dan badan bus yang keropos.
Sanksi pidana, denda, dan pencabutan izin bagi perusahaan angkutan umum terdapat dalam Pasal 315 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Terpisah, Guru Besar Hukum Universitas Pancasila, Agus Surono menekankan pertanggung jawaban terhadap perusahaan bus itu masih dimungkinkan. Perkaranya, perusahaan sudah semestinya menjamin kondisi bus sesuai standar keamanan dan kelayakan.
Kemananan dan kelayakan itu terlihat dari uji kir. “Kalau terkait uji kir, itu menjadi kewajiban dan tanggung jawab perusahaan bus,” kata Kepala Pusat Studi Pancasila tersebut, Jumat (17/5).
Akan tetapi, bila kecelakaan ternyata disebabkan kesalahan manusia, seperti sopir mengantuk atau tidak awas saat berkendara, maka sopir tersebut dapat dipidana. “Perusahaan wajib memberi santunan seabgai bentuk tanggung jawab atas korban,” tutur dia.
Sementara itu, pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar mengatakan, dalam situasi kecelakaan, sudah jelas pengemudi adalah orang yang paling bertanggung jawab. “Sedangkan perusahaan busnya hanya dapat dipertanggung jawabkan kerugian perdata,” ujar Abdul, Jumat (17/5).
Abdul menyebut, bila ada dugaan kendaraan tak layak jalan, hal itu merupakan tanggung jawab sopr untuk melakukan pemeriksaan rutin. Apalagi sebelum kendaraan digunakan.
“Perusahaan hanya ikut bertanggung jawab atas kerugian korban,” ujar Abdul.
Di sisi lain, demi menurunkan angka kecelakaan Djoko menyarankan, perlu ada aturan upah standar bagi sopir bus dan truk dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Lalu, kenaikan upah bagi tim uji kir. Tak lupa, Djoko mengingatkan agar dibuat pengumuman secara berkala oleh Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub terkait perusahaan otobus (PO) yang layak digunakan untuk tujuan wisata.
Selain itu, Dtjen Perhubungan Darat Kemenhub perlu memerintahkan Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) untuk bekerja sama dengan dinas perhubungan guna melakukan ramp check atau inspeksi keselamatan lalu lintas angkutan jalan (LLAJ) bus wisata.
Di samping itu, mesti pula ada kampanye masih penggunaan sabuk keselamatan untuk perjalanan jarak jauh. Lalu, kewajiban menggunakan dua pengemudi bagi setiap bus dan destinasi wisata menyediakan tempat istirahat yang layak bagi sopir.
“Perlu diaktifkan (juga) Direktorat Keselamatan Transportasi Darat di bawah Ditjenhubdat (Ditjen Perhubungan Darat),” ucap Djoko.