Kejaksaan Agung (Kejagung) diyakini dapat lebih bertaji apabila Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset disahkan. Pangkalnya, saat ini, ketika perangkat hukum belum memadai, "Korps Adhyaksa" sudah progresif dalam mengembalikan kerugian negara saat menangani kasus tindak pidana korupsi (tipikor).
"Dengan keadaan seperti sekarang saja kejaksaan, kan, paling tinggi pengembalian kerugian negara, termasuk perampasan aset dr hasil tindak pidana khususnya tipikor," kata Ketua Komisi Kejaksaan (Komjak), Barita Simanjuntak, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (21/4).
"Dengan UU Perampasan Aset, hal ini akan lebih maksimal lagi karena ada landasan hukum yang lebih kuat, yang dapat digunakan dengan cepat ke mana pun hasil tipikor dialihkan. Tangkap orangnya, kejar uangnya, buru dan rampas asetnya," sambungnya.
Pembahasan RUU Perampasan Aset kembali mengemuka seiring mencuatnya transaksi mencurigakan lebih dari Rp300 triliun di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kejagung pun merespons dengan berencana menaikkan status Pusat Pemulihan Aset menjadi Badan Pemulihan Aset atau setara eselon I.
Sementara itu, berdasarkan laporan tahunan Indonesia Corruption Watch (ICW) 2022, Kejagung menjadi institusi penegak hukum yang paling getol menggarap kasus tipikor pada tahun lalu. Pangkalnya, menangani 405 kasus yang merugikan negara Rp39 triliun dengan 909 tersangka.
Posisi kedua ditempati kepolisian dengan 138 kasus tipikor dengan 307 tersangka dan kerugian negara Rp1,3 triliun. Adapun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di urutan buncit karena hanya menangani 36 kasus tipikor yang merugikan negara Rp2,2 triliun dengan 150 tersangka.
Barita mengungkapkan, Kejagung bukanlah pendukung RUU Perampasan Aset, melainkan inisiatornya. Pangkalnya, sudah sedari awal mendorong beleid tersebut disahkan.
"[RUU] Perampasan Aset sangat penting sebagai satu bagian mata rantai pemberantasan korupsi yang semakin bermetamorfosis dalam berbagai bentuk manifestasi, terutama ke mana hasil kejahatan tersebut dialihkan. Karena itu, pemberantasan korupsi tidak lagi hanya mengejar pelakunya saja, tetapi juga kejar dan telusuri harta, aset hasil tipikor ke mana dan di mana pun," tuturnya.
Barita mengingatkan, pemberantasan korupsi membutuhkan instrumen hukum yang kuat dan tegas, khususnya kepada tujuan pengembalian kekayaan negara yang dikorupsi dan pemulihannya. Dengan demikian, UU Perampasan Aset diyakini menjadi landasan hukum yang kuat dan para koruptor akan berpikir berulang-ulang untuk korupsi lantaran aset dan kekayaan yang diperoleh secara tidak sah dan melanggar hukum dapat dirampas dengan cepat.
Menyangkut peningkatan status Pusat Pemulihan Aset, sambung Barita, itu sudah dimandatkan dalam UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. "Dan tentu saja akan sejalan dengan substansi RUU Perampasan Aset."