Kejaksaan Agung (Kejagung) diyakini tidak melakukan kriminalisasi dalam penetapan tersangka tersangka Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) nonaktif, Johnny G. Plate. Pangkalnya, hal itu akan berisiko bagi “Korps Adhyaksa”.
“Narasi tentang kriminalisasi akibat kontestasi politik, menurut saya, akan sangat berisiko seandainya itu dilakukan. Artinya, tidak mungkin ada satu proses hukum hanya karena faktor kepemimpinan politik,” ujar Guru Besar Hukum Pidana Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), Suparji Ahmad, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (19/5).
“Pasti atau diduga kuat ada fakta-fakta, alat bukti, ada barang bukti yang menunjukkan keterlibatan seseorang dalam suatu perkara sehingga [statusnya] meningkat menjadi tersangka. Akan sangat berisiko dalam era yang makin transparan, makin terbuka itu [jika aparat] memain-mainkan hukum,” imbuh dia.
Jika merasa dirugikan dengan penetapan tersangka tersebut, menurut Suparji, sebaiknya dilakukan upaya hukum yang tersedia. Mengajukan praperadilan, contohnya.
“Pihak yang merasa dirugikan, dalam arti misalnya proses penetapan tersangka tidak benar, ada mekanisme pengujian, praperadilan. Artinya, kontrol pada penegak hukum pada kesewenang-wenangan,” ucapnya.
Di sisi lain, Suparji mengapresiasi langkah Kejagung yang berani menetapkan Johnny Plate sebagai tersangka. Sebab, menjawab keraguan publik selama ini.
“Saya memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung yang telah bertindak secara tegas, profesional, dan tidak diskriminatif dengan melakukan penahan seorang menteri, seorang sekretaris jenderal (sekjen) partai,” ungkapnya. Johnny merupakan Sekjen Partai NasDem.
“Itu, kan, menandai bahwa equality before the law dilaksanakan secara autentik sehingga tidak ada lagi semacam opini, pandangan bahwa seseorang tertentu bisa kebal hukum, tidak ditahan, dan sebagainya. Kejaksaan bisa menjawab itu,” sambung Suparji.
Johnny Plate merupakan tersangka ke-6 dalam kasus pengadaan BTS 4G dan paket pendukung 1-5 BAKTI Kominfo 2020-2022. Ia langsung ditahan usai menjalani pemeriksaan ketiga.
Adapun kelima tersangka sebelumnya adalah Komisaris PT Solitech Media Sinergy, Irwan Hermawan; Direktur Keuangan PT Huawei Tech Investment, Mukti Ali; Direktur Utama BAKTI Kominfo, Anang Achmad Latief; Direktur Utama PT Mora Telematika Indonesia, Galumbang Menak S.; dan Tenaga Ahli Human Development (HuDev) UI 2020, Yohan Suryanto. Seluruhnya juga sudah ditahan.
Berdasarkan penghitungan Badan Pengawasan Pembangunan dan Keuangan (BPKP), kerugian negara sebesara Rp8,32 triliun. Penghitungan kerugian keuangan negara dilakukan dengan audit, verifikasi pihak terkait, dan observasi fisik ke beberapa lokasi proyek bersama tim ahli.
"Kerugian keuangan negara terdiri dari tiga hal. Yaitu, biaya kegiatan penyusunan kajian pendukung, mark up harga, dan pembayaran BTS yang belum terbangun," ucap Kepala BPKP, M. Yusuf Ateh, beberapa waktu lalu.