Kejagung kebut pembentukan Badan Pemulihan Aset, apa urgensinya?
Kejaksaan Agung (Kejagung) terus mematangkan pembentukan Badan Pemulihan Aset, peningkatan dari organ yang ada sebelumnya: Pusat Pemulihan Aset (PPA). Karenanya, Jaksa Agung, Sanitiar (ST) Burhanuddin, kembali mengadakan pertemuan dengan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Abdullah Azwar Anas, Kamis (23/11).
Keduanya juga sempat bertemu dan membahas isu sama pada 27 Oktober 2023. Seperti sebelumnya, pembahasan menyangkut hal-hal teknis yang diperlukan dalam pembentukan Badan Pemulihan Aset, seperti organisasi dan tata laksana (ortala).
Menurut Anas, keberadaan Badan Pemulihan Aset penting lantaran banyak barang bukti hasil pidana yang ditangani kejaksaan. Namun, kerap terkendala dengan panjangnya birokrasi.
"Banyak sekali aset yang sudah menjadi barang bukti susah tertangani karena begitu banyaknya dan berada di banyak tempat. Dengan ini [Badan Pemulihan Aset], tentu akan menyelamatkan jadi barang bukti aset yang telah disita," tuturnya.
Kehadiran Badan Pemulihan Aset juga dimandatkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan. Secara eksplisit tugas-tugas melakukan penelusuran, perampasan, hingga pengembalian aset hasil pidana dan lainnya kepada negara, korban, atau yang berhak kini tertuang di dalam Pasal 30A.
"Kami percaya Kejaksaan Agung akan lebih optimal dalam proses penegakan hukum," ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.
Pada kesempatan sama, Jaksa Agung mengklaim, kehadiran Badan Pemulihan Aset akan membuat kerja-kerja menyangkut penanganan aset hasil pidana yang sudah inkrah menjadi lebih adaptif dan terkoordinasi. "Dengan demikian, aset-aset tersebut dapat segera dilakukan pelelangan atau dimanfaatkan oleh negara."
Dalam struktur saat ini, PPA, yang pembentukannya berdasarkan Peraturan Jaksa Agung (Perjak) Nomor Per-006/A/JA/3/2014, berada di bawah Jaksa Agung Muda Bidang Pembinaan (Jambin). Sesuai Pasal 752 Perjak Nomor Per-006/A/JA/07/2017, PPA bertugas melakukan pemulihan aset yang menjadi kewenangan kejaksaan sesuai regulasi dan berkoordinasi dengan jaringan kerja sama nasional maupun transnasional terkait.
Selama 2021, berdasarkan hasil pemantauan tren vonis oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), pengembalian aset hasil kejahatan belum maksimal. Pangkalnya, hanya Rp1,4 triliun dari Rp62 triliun atau 2,2% yang baru kembali ke negara.
Itu merupakan angka kumulatif dari seluruh tindak pidana yang ditangani aparat penegak hukum (APH), yakni kejaksaan, kepolisian, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, kejaksaan pada 2021 hanya menangani 371 kasus tindak pidana korupsi (tipikor) dengan nilai kerugian Rp26,5 triliun dan menetapkan 814 pihak menjadi tersangka.
Benahi tata kelola
Terpisah, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Pancasila, Prof. Agus Surono, mengapresiasi adanya koordinasi antara Kemenpan RB dan Kejagung tentang pembentukan Badan Pemulihan Aset agar pengelolaan aset oleh kejaksaan kian efektif dan profesional. Pangkalnya, selama ini masih dilakukan parsial.
"Wewenang dominus litis (pengendali perkara) pemulihan aset oleh kejaksaan selama ini masih dilakukan secara parsial oleh masing-masing satuan kerja (satker) kejaksaan, belum terintegrasi dalam satu sistem, dan belum optimal dilaksanakan. Sehingga, perlu diintegrasikan dalam satu sistem yang terpadu," katanya.
"Demikian pula dengan kegiatan pemulihan aset atas permintaan dari negara lain, baik secara formal dan informal, belum diselenggarakan secara baik oleh kejaksaan. Sehingga, perlu dilakukan pembenahan," sambungnya.
Lebih jauh, Agus menerangkan, pemulihan kerugian yang diderita korban, seperti negara, perseorangan, korporasi, lembaga, dan pihak lainnya, akibat perbuatan pidana atau perbuatan melawan hukum (PMH) merupakan salah satu wewenang dominus litis kejaksaan. Karenanya, Korps Adhyaksa menjadi pengendali pemulihan aset.
Secara universal, urainya, kejaksaan adalah lembaga sentral dalam sistem penegakan hukum pidana (centre of criminal justice system) dengan tugas dan tanggung jawab mengoordinasikan/mengendalikan penyidikan, melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan/putusan hakim yang kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), serta atas barang bukti yang disita, baik tahap penuntutan untuk pembuktian perkara maupun eksekusi.
Selaku pengacara/penasihat hukum negara (solicitor/barrister/government lawyer), lanjut Agus, kejaksaan bertugas dan bertanggung jawab memberikan pertimbangan hukum, bantuan hukum, pelayanan hukum dan perlindungan hukum, serta penegakan hukum atas hak-hak keperdataan negara atau masyarakat umum. Dalam pencemaran lingkungan, misalnya, kejaksaan mesti memulihkan kerugian yang bersifat finansial/materi ke posisi semula.
Menurutnya, pemulihan aset ini penting mengingat penegakan hukum pidana pada hakikatnya tidak sekadar menghukum pelaku pidana agar jera dan tidak mengulangi perbuatannya, tetapi memulihkan kerugian korban secara finansial akibat pelanggaran tersebut. "Semuanya itu, sesuai asas dominus litis, merupakan tugas dan tanggung jawab kejaksaan sebagai lembaga penuntut umum yang mempunyai fungsi tidak hanya sebagai penuntut, tetapi juga sebagai pelaksana putusan (executor)."
Agus berharap, pembentukan Badan Pemulihan Aset Kejagung dapat melakukan tugasnya dengan pola terpadu, efektif, efisien, transparan, dan akuntabel. "Harus diselenggarakan secara efektif dan efisien dengan melibatkan pengawasan masyarakat (tranparansi, red) serta dapat dipertanggungjawabkan akuntabilitasnya (accountable and reponsibility)."
"Peran serta seluruh elemen masyarakat sangat dibutuhkan, baik dalam bentuk pemberian informasi maupun keikutsertaan masyarakat mengawasi aset yang dikelola. Sehingga, dalam batas tertentu, masyarakat harus dapat memantau aset barang rampasan yang ada dalam bentuk informasi di website yang dikelola," imbuhnya.
Ia pun mendorong Badan Pemulihan Aset nantinya menjadi jangkar (centre of integrated asset recovery system). Oleh karena itu, perlu dilakukan dengan sistem pemulihan aset terpadu (integrated asset recovery system/IARS).
"Badan Pemulihan Aset harus melakukan penghimpunan dan pengelolaan database dengan andal, aman, dapat beroperasi sebagaimana mestinya, serta terkoneksi dengan seluruh satker kejaksaan dan kementerian/lembaga yang terkait dengan kegiatan pemulihan aset, seperti Kementerian Keuangan, Kementerian BUMN, BPN, dan PPATK, sesuai dengan kebutuhannya dalam bentuk asset recovery secured data system (ARSSYS)," tutur Agus.