close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Gedung Bundar di Kompleks Kejagung, Jakarta, Januari 2018. Google Maps/Warisman Mendrofa.
icon caption
Gedung Bundar di Kompleks Kejagung, Jakarta, Januari 2018. Google Maps/Warisman Mendrofa.
Nasional
Rabu, 27 Juli 2022 10:43

Kejagung upayakan pemulihan kerugian negara dari kasus CPO

Pemulihan kerugian negara yang tengah dilakukan berupa penyitaan.
swipe

Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung (Jampidsus Kejagung) tengah menunaikan pemulihan aset (asett recovery) dari kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas izin ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan turunannya. Kasus tersebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp20 triliun.

"CPO masih dalam upaya aset recovery," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Supardi kepada Alinea.id, Rabu (27/7).

Supardi mengaku, penyidik tengah menunggu keputusan atas kelengkapan berkas kasus tersebut atau P21. Harapannya, setelah dinyatakan lengkap maka penyidik dapat mengambil langkah selanjutnya.

"Mudahan-mudahan minggu ini atau minggu depan sudah ada keputusan," ujar Supardi.

Sebelumya, secara rinci kerugian keuangan negara senilai Rp6 triliun, sementara kerugian perekonomian negara mencapai Rp12 triliun. Nilai Rp12 triliun didapatkan dari pendapatan yang tidak sah atau illegal gains.

"Total (kerugian negara) Rp20 triliun," kata Supardi di Kejaksaan Agung, Jakarta Selatan, Jumat (22/7).

Supardi menyampaikan, mantan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi juga belum dijadwalkan untuk diperiksa kembali. Begitu pula dengan kebijakan pencekalan dalam kasus ini.

Supardi menuturkan, pemulihan kerugian negara akan dilakukan kelak melalui uang pengganti atau sita eksekusi. Proses tersebut dapat dilakukan seiring berjalannya persidangan. 

"Bisa uang pengganti atau sita eksekusi. Ketika sidang bisa juga di-tracking (asetnya) nanti. Penyitaan asetnya senilai kerugian negara," ucap Supardi.

Menurut Supardi, penyitaan dalam kasus ini tidak perlu penetapan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU). Selama ada aset yang dapat digunakan sebagai pengganti kerugian negara maka sudah cukup.

"Enggak harus TPPU untuk uang pengganti yang penting bisa kembaliin. Kami tracking hartanya apa saja, baru nanti bisa disita eksekusi. Kalau uang pengganti, kami enggak peduli itu harta apa yang penting kami memanusiakan orang, kalau itu rumah sederhana ya jangan (jadi uang pengganti)," tuturnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Ayu mumpuni
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan