Kejahatan anak era kiwari: Dari pencurian hingga penganiayaan
Ra (12) meregang nyawa setelah lehernya disabet celurit seorang remaja. Saat itu bocah kelas VI SD Negeri Sirnagalih, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, ini hendak pulang ke rumahnya di Kampung Citepus PAM, Desa Citepus dengan berjalan kaki. Nyawa Ra tak tertolong meski sempat dilarikan ke rumah sakit.
Tak sampai sehari, Sabtu (4/3), jajaran Polres Sukabumi membekuk tiga pelaku. Ketiganya merupakan pelajar SMP dengan peran berbeda: eksekutor, mengendarai motor, dan menyediakan celurit. Versi polisi, motif pelaku hendak mencari musuh.
Pembacokan berawal dari konvoi para pelaku dan belasan temannya. Saat itu pelaku melihat korban dan teman temannya sedang jalan kaki. Eksekutor langsung mengayunkan celurit ke leher korban lalu kabur. Selain bendera biru, merah, dan putih, polisi mengamankan sebilah celurit yang digunakan menghabisi korban.
Sebelumnya, publik dikejutkan oleh ulah Mario Dandy Satrio (20) yang menganiaya Cristalino David Ozora (17). Di Kompleks Green Permata, Ulujami, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, 20 Februari 2023, David jadi bulan-bulanan kebrutalan Mario hingga David koma mengalami selama berhari-hari di rumah sakit.
Mario, putra pejabat eselon III Ditjen Pajak Kementerian Keuangan RI Rafael Alun Trisambodo, itu telah ditahan di tahanan Polda Metro Jaya bersama Shane Lukas (19). Shane ditengarai memprovokasi Mario setelah dapat cerita bahwa AG (15) mendapat pelakuan tak baik dari David. AG adalah kekasih Mario.
Belakangan terungkap peran Shane dan AG yang mengabadikan lewat telepon seluler aksi brutal Mario menendang dan menginjak tengkuk David berulang-ulang. Termasuk merekam ketika David dipaksa mengambil posisi 'sikap tobat' selama semenit. Selain merekam, saat itu AG membakar rokok miliknya kemudian mengisapnya.
Mario dan Shane sudah ditetapkan sebagai tersangka. Sementara AG dilabeli pelaku atau anak berkonflik dengan hukum karena masih di bawah umur. Ketiganya diduga melakukan tindak pidana penganiayaan berat yang direncanakan. AG kini ditahan di Lembaga Penyelenggara Kesejahteraan Sosial (LPKS).
Tak perlu kaget
Bagi ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel tidak ada yang tak masuk akal apabila remaja di bawah 18 tahun melakukan tindakan kejahatan. Alasannya, cara berpikir remaja di era kiwari lebih baik daripada generasi sebelumnya.
Nutrisi remaja hari ini jauh lebih baik daripada generasi terdahulu. Stimulasi lingkungan dari media konvensional dan media sosial kian marak. Ditambah lagi soal pengasuhan.
"Mari kita pandang anak-anak hari ini dengan situasi hari ini. Jangan kita nilai dengan situasi 1980-an, supaya kita tak terhenyak, terperanjat, kaget, panik, tidak habis pikir 'Kok bisa, ya (anak-anak melakukan tindakan kejahatan sesadis itu)'," kata Reza kepada Alinea.id, Rabu (22/3).
Bagi Reza, manusia itu fleksibel. Ada saja orang yang memiliki kematangan mental melebihi orang-orang lain seusianya. Menurut dia, tindakan tak masuk akal yang dilakukan remaja juga bisa dikaitkan dengan teori belajar sosial.
"Bahwa apa yang kita lakukan, termasuk dilakukan oleh anak, adalah hasil belajar, peniruan. Maka sekali lagi enggak usah terlalu kaget kalau hari ini anak-anak bisa melakukan kekejian luar biasa. Contoh-contoh perbuatan (kejahatan) sangat banyak di media," ujar Reza.
Kejahatan dan kekerasan oleh anak di bawah 18 tahun, bagi Widodo Ekatjahjana, sudah melampaui batas-batas kemanusiaan. "Kejahatan anak dan budaya kekerasan sudah pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan," kata Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan HAM itu, Selasa (7/3).
BPHN mencatat, sepanjang 2020-2022 ada 2.302 kasus anak sebagai pelaku kejahatan yang melibatkan 2.338 anak. Terdiri dari 2.271 laki-laki dan 67 perempuan. Oleh BPHN mereka dibantu lewat 619 organisasi bantuan hukum.
Berdasarkan jenis kejahatan dan pelaku kriminal anak yang menerima bantuan hukum, paling banyak adalah pencurian dengan 838 kasus (36%), disusul narkoba 341 kasus (15%), dan penganiayaan 232 kasus (10%). Ada pula jenis kejahatan lain-lain 491 kasus (21%), yang mencakup antara lain pornografi, penipuan, penadahan, pengancaman, pengrusakan, penyelundupan, dan penggelapan.
Dari pola asuh hingga akses medsos
Menurut psikolog anak, remaja, dan keluarga Novita Tandry, ada beragam faktor yang membuat anak bisa melakukan tindakan kejahatan. Di antaranya terkait pola asuh dari orang tua, tidak diajarkan berempati, dan cara mengontrol diri.
Orang tua, kata dia, sejatinya bisa mengajarkan anak untuk mengelola amarah. Apa yang seharusnya diajarkan itu tidak diberikan sejak kecil. Akibatnya, ketidakmampuan mengelola emosi terbawa sampai usia praremaja dan remaja.
Keterpaparan teknologi juga memengaruhi perilaku anak. Terutama jika anak terbiasa bermain game berunsur kekerasan. Jika sejak kecil terpapar itu, bisa berdampak buruk karena otak bagian depan (lobus frontal) anak belum berkembang baik.
"(Anak) belum bisa membedakan mana yang baik, jahat, benar, salah. Mana yang boleh dan enggak. Anak-anak yang terpapar (konten kekerasan) dari kecil, mereka akan melihat, ‘Enggak apa-apa gebukin orang, nanti juga hidup lagi',” kata Novita kepada Alinea.id, Rabu (22/3).
Novita meminta orang tua menyadari hal ini, terutama jika anaknya lahir setelah 2005, yang menjadi awal munculnya media sosial. Generasi yang lahir di tahun tersebut perlu mendapatkan pola asuh yang berbeda dari generasi sebelumnya.
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra menunjuk maraknya ketersediaan 'candu' sebagai biang banyaknya anak berhadapan dengan hukum. Candu ini mencakup rokok, judi, minuman keras, narkotika, paparan industri kekerasan, paparan industri pornografi, dan game online.
Pengawasan terhadap peredaran aneka 'candu' itu masih lemah. Akibatnya, tercipta generasi dengan kecerdasan emosi lemah. "Muncul perbuatan-perbuatan di luar nalar dan menghambat perkembangan jiwa yang sehat," ucap dia kepada Alinea.id, Senin (20/3).
Tindak pidana oleh anak bisa dikatakan sebagai perilaku 'menyimpang'. Menurut psikolog Shanty Komalasari, setidaknya ada lima faktor penyebab anak berperilaku menyimpang.
Pertama, lingkungan tempat anak tumbuh dan berkembang. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan kurang stabil, seperti rumah tangga yang konflik, lingkungan sekolah yang tak kondusif, dan teman sebaya yang buruk berisiko lebih tinggi berperilaku menyimpang.
Kedua, faktor biologis. Menurut Shanty, beberapa penelitian menunjukkan kelainan genetik dan hormonal bisa memengaruhi perilaku anak. Dua di antaranya Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) dan Oppositional Defiant Disorder (ODD). "Anak-anak yang mengalami gangguan perilaku, seperti ADHD dan ODD, lebih cenderung berperilaku menyimpang," kata dia kepada Alinea.id, Kamis (23/3).
Ketiga, faktor sosial terkait orang tua, keluarga, dan teman sebaya. Shanty menjelaskan, jika anak kurang mendapat dukungan dari tiga pihak itu, anak bisa merasa terisolasi dan cenderung melakukan perilaku menyimpang untuk mencari perhatian atau pengakuan.
Keempat, faktor psikologis. Menurut Shanty, anak yang mengalami masalah psikologis, seperti depresi, kecemasan, dan masalah emosional lain bisa mengakibatkan anak berperilaku menyimpang.
Terakhir, faktor ekonomi. "Anak-anak yang hidup dalam kondisi ekonomi yang buruk dan tidak mendapatkan kebutuhan dasar, seperti makanan, tempat tinggal, dan pendidikan yang memadai, dapat merasa terpinggirkan dan berisiko melakukan perilaku menyimpang," ujar dia.
Sementara itu, sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sunyoto Usman menduga, anak di bawah 18 tahun bisa melakukan tindakan kejahatan karena relasi dengan pelaku kriminal semakin terbuka. Aksesnya, melalui media sosial.
Tidak hanya berinteraksi, di media sosial juga membuka peluang setiap pengakses mempelajari suatu tindakan kejahatan sampai cara mengeksekusinya. Media sosial, kata dia, kini juga sudah menjadi sarana dan fasilitas melakukan kejahatan.
"Selama ini alternatif solusi hanya dikembalikan (ke) orang tua, dititipkan yayasan atau dimasukkan penjara. Solusi semacam itu lebih di hilir, kurang menyentuh proses anak menjadi jahat," kata Sunyoto kepada Alinea.id, Rabu (22/3).
Aneka cara mencegah
Widodo Ekatjahjana menjelaskan, untuk mencegah anak melakukan kejahatan BPHN tidak bisa hanya bergerak di hilir dengan memberikan bantuan hukum gratis. Perlu juga langkah pencegahan. "Dengan memberikan pembekalan secara langsung kepada anak-anak di sekolah," ujar Widodo dalam keterangan tertulis, Jumat (17/3).
BPHN, kata dia, berwenang memberikan pembekalan dan pembinaan hukum langsung kepada pelajar sekolah. Mereka diberikan pemahaman tindakan yang kerap kali dilakukan remaja yang berpotensi melanggar hukum sekaligus tanggung jawab jika terlibat. Pembekalan dan pembinaan, klaim dia, sudah rutin dilakukan BPHN.
Saat ini pihaknya menggelar program bertajuk 'BPHN Mengasuh' serentak pada 20 Maret-14 April 2023. "(Ada) 527 pejabat fungsional penyuluh hukum, 6.208 advokat, dan 5.744 paralegal berkolaborasi dalam program ini," kata dia.
Sunyoto Usman mengusulkan perlu diciptakan kegiatan produktif yang bisa memutus interaksi anak dengan perilaku kriminal. Terlebih, kata dia, di media sosial orang tua juga kesulitan mengontrol apa saja konten yang diakses anaknya.
"Di sejumlah negara maju akses pada media sosial dibatasi dan dikontrol ketat oleh pemerintah. Beberapa aplikasi di-block, tidak bisa masuk ke negaranya. Butuh edukasi digital supaya (lebih) produktif," jelas dia.
Untuk mencegah anak berperilaku menyimpang, Shanty Komalasari punya sejumlah resep. Pertama, membangun hubungan baik dengan anak. Tujuannya, agar anak nyaman dan aman menceritakan masalah yang dihadapi. Anak tak sungkan mencari bantuan.
Lalu, memberikan perhatian dan penghargaan saat anak melakukan hal-hal positif. Juga memberikan pembelajaran dan arahan yang jelas. Berikutnya adalah membantu anak mengembangkan keterampilan sosial.
"Orang tua perlu memantau aktivitas anak dan membatasi akses anak terhadap konten yang tidak pantas, seperti film, game, dan media sosial," jelas Shanty.
Orang tua juga perlu memberikan contoh yang baik kepada anak dalam menjaga sikap dan perilaku positif di rumah. Untuk mencegah perilaku menyimpang, kata dia, orang tua perlu menyadari setiap anak punya keunikan dan pengalaman berbeda.
Ketika anak melakukan tindakan tak wajar, kata Shanty, ada beberapa cara penanganan yang bisa ditempuh. Di antaranya bertindak tegas tapi penuh kasih sayang. Lalu, membuat aturan dan konsekuensi yang jelas.
"Sehingga anak dapat memahami apa yang diharapkan dari mereka dan konsekuensi yang akan terjadi jika perilaku mereka tidak sesuai," katanya.
Cara lainnya adalah mengubah lingkungan buruk yang memengaruhi anak. Orang tua bisa mencari bantuan profesional apabila perilaku menyimpang anak terus berlanjut dan susah ditangani.
Orang tua juga disarankan menggunakan disiplin positif, seperti memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar dari kesalahan dan memberikan konsekuensi wajar. Memberikan kesempatan belajar dari kesalahan, urai Shanty, juga perlu dipertimbangkan dalam memberikan hukuman.
Terkait hukuman, Shanty mencontohkan waktu istirahat. Tujuannya, agar anak memiliki waktu untuk merenung dan memahami konsekuensi perilakunya. Hukuman bisa pula dalam bentuk menarik hak istimewa, seperti hak pakai gagdet, main video game atau pergi keluar bersama teman-temannya.
Dalam memberikan hukuman, jelas Shanty, anak perlu dilibatkan merencanakan solusi. Harapannya, supaya anak merasa memiliki tanggung jawab dan memahami konsekuensi dari perilaku mereka. "Perlu diingat hukuman yang terlalu keras atau tidak sesuai tingkat kesalahan dapat berdampak buruk pada perkembangan anak."
Kala anak berkonflik hukum
Menurut Koordinator Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Yosua Octavian, posisi anak yang berkonflik dengan hukum harus jelas. Tidak bisa serta merta yang bersangkutan dihukum. Ia mencontohkan kasus tawuran pelajar.
Menurut Yosua, remaja ikut tawuran bukan atas kemauan sendiri. Bisa saja karena lingkungan sekitar sekolah, seperti teman atau alumni. Kalau anak tidak ikut tawuran bisa mengalami perundungan dengan dicap 'cemen' atau 'anak mami'.
"Tiga tahun (di sekolah) dirundung akan tidak nyaman. Dari sisi orang tua ketika mendengar itu bisa saja, ya lapor ke guru. Tapi kan tidak semudah itu. Aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim, pengacara, termasuk balai pemasyarakatan harus mengetahui latar belakang penyebab itu. Juga kondisi ekonomi keluarga. Karena semua berkaitan," ucap Yosua kepada Alinea.id, Senin (20/3).
Mengenai data BPHN, menurut Yosua, seharusnya tidak hanya dilihat secara kuantitas. Tapi juga penanganan kasus anak berhadapan hukum. Dia mengatakan, kalau anak yang berkonflik dengan hukum berakhir dalam pemidanaan, Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) di Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 gagal.
"Karena tujuan UU (SPPA) menjauhkan anak dari bayang-bayang penjara," kata dia.
Yosua menjelaskan, UU SPPA menyebut anak yang belum berumur 12 tahun dan diduga melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, dan pekerja sosial profesional menyerahkan anak kepada orang tua/wali.
Opsi lain, kata dia, mengikutsertakan anak ke dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS). Pasal 69 ayat (2) UU SPPA, urai Yosua, menyatakan anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan.
Di Pasal 71 ayat (1) disebutkan pidana pokok bagi anak terdiri atas peringatan, pidana dengan syarat (pembinaan di luar lembaga, pelayanan masyarakat, atau pengawasan), pelatihan kerja, pembinaan dalam lembaga, dan penjara.
Sedangkan di Pasal 81 ayat (5) tertera pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir. Dalam regulasinya, jelas Yosua, UU SPPA mengutamakan pendekatan keadilan restoratif dan mengupayakan diversi.
Bagi Yosua, pembinaan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum perlu memenuhi hak-hak anak. Harus ada jaminan ketika anak ditempatkan di lembaga pembinaan khusus pendidikannya tetap terlaksana. "Bisa jamin enggak konteks hak-hak anak lainnya? Dia mampu berkembang secara pemikiran. Kalau tidak menjamin, kalau di penjara, hak apa yang bisa didapatkan dia?” tanya Yosua.
Di sisi lain, apabila ditemukan penghuni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) naik setiap tahunya, bagi Reza Indragiri Amriel, revisi hukuman bisa dipertimbangkan. LPKA merupakan tempat anak menjalani masa pidananya.
Menurut Reza, jika UU SPPA direvisi arahnya adalah pemberatan sanksi. Usulan tersebut, kata dia, tidak perlu dikhawatirkan. LPKA adalah tempat ideal anak untuk mendapatkan pembinaan ketimbang dikembalikan ke orang tua tanpa peran yang jelas. LPKA juga dinilai Reza lebih baik daripada diversi atau pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan ke luar peradilan.
"Daripada mempercayakan masyarakat untuk melakukan diversi, ya sudah lebih lama lagi di LPKA atau lebih lama menjalani rehabilitasi. Harapannya lebih lama di LPKA imunitasnya semakin baik. Keluar dari LPKA menjadi manusia lebih berbudi."
Bagi Novita Tandry, ketika anak sudah berhadapan dengan hukum, harus pula ada program rehabilitasi pola asuh dari orang tua. Perkembangan teknologi juga memengaruhi neurosains di otak anak, sehingga pola asuh harus diubah.
"Bicara anak berhadapan dengan hukum, program apa yang diberikan, berapa lama, siapa yang mendampingi anaknya, lalu setelah anak diberikan program ada yang dampingi enggak di rumah? Karena waktu dibalikin kepada orang tuanya, tapi masih balik seperti dulu lagi (pola asuh sama), ya tidak ada yang berubah," jelas dia.
Secara teori, jelas Novita, program yang disiapkan untuk anak berhadapan dengan hukum baik. Tapi jika implementasinya tidak sesuai rencana, hasilnya akan sama saja. Program seperti itu butuh waktu tahunan agar anak kembali normal.
"Ada istilah, dibutuhkan satu kampung untuk membesarkan satu orang anak. Masalahnya sekarang, membesarkan anak di dunia yang berubah, ihwal parenting juga harus menyesuaikan," ujar dia.