Direktorat Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) menemukan biaya pembeliaan lahan oleh Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan (DP4) lebih besar dibandingkan kerugian negara. Pembeliaan lahan ini menjadi kasus korupsi dari DP4 pada periode 2013-2019.
Direktur Penyidikan JAM Pidsus Kejagung, Kuntadi, mengaku tidak ingin berandai lebih jauh terkait angka pembelian lahan. Apalagi, nilai Rp148 miliar yang sebelumnya dikatakan sebagai kerugian negara bukanlah angka resmi melainkan sebatas potensi.
“Belum (jadi kerugian negara nilai Rp148 miliar), itu baru jadi potensi kerugian negara. Tapi ya engga sama, masih lebih besar pembelian lahan,” kata Kuntadi kepada Alinea.id, Selasa (9/5) malam.
Modus yang dilakukan, kata Kuntadi, dengan fee makelar dan harga tanah di-mark-up. Alhasil, terdapat kelebihan dana yang diterima oleh tim pengadaan tanah pada pembelian tanah di Salatiga, Palembang, Tangerang, Tigaraksa, dan Depok.
Sementara, modus lainnya dengan dalih melakukan investasi penyertaan modal ke PT Indoport Utama (PT IU) dan PT Indoport Prima (PT IP) agar uang dapat dikeluarkan. Namun, pada akhirnya tidak dipertanggung jawabkan penggunaannya.
Sebagai informasi, penyidik Kejagung menetapkan enam tersangka kasus dugaan korupsi DP4. Mereka adalah mantan Direktur Utama Dana Pensiun Perusahaan Pelabuhan dan Pengerukan (DP4) Edi Winoto, Khamidin Suwarjo selaku Direktur Keuangan dan Investasi DP4 periode 2008 sampai 2014, Ahmad Adhi Aristo selaku makelar tanah (pihak swasta), Umar Samiaji selaku Manager Investasi DP4 periode 2005 sampai 2019, Imam Syafingi selaku staf investasi sektor riil periode 2012 sampai 2017, dan Chiefy Adi Kusmargono selaku Dewan Pengawas DP4 periode 2012 sampai 2017.
Secara khusus, Edi telah berperan dengan menyetujui pembelian tanah tanpa didasari Standar Operasional Prosedur (SOP). Ia melakukannya karena beralasan penyertaan modal ke PT IU dan PT IP.
“Yang bersangkutan sendiri menjabat sebagai komisarisnya, sehingga uang dapat dikeluarkan dan mendapat keuntungan secara tidak sah,” ujarnya.
Khamidin juga menyetujui pengeluaran dana untuk pembelian tanah itu. Sementara Umar dan Imam mengusulkan investasi yang tidak sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) tersebut.
Chiefy diduga melawan hukum karena tidak memberikan saran, pendapat, evaluasi, dan monitoring yang sesuai arahan investasi dan menerima keuntungan tidak sah atas perbuatan tersebut. Serta Ahmad mendapatkan fee secara tidak sah untuk pembelian tanah di Depok dan Palembang.
Akibat perbuatannya, para Tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.