Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur menengarai adanya kejanggalan dalam naskah akademik Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yang serupa dengan revisi UU KPK pada 2019.
Ia berpendapat demikian lantaran naskah akademik urung rampung sampai Januari 2020. Sementara draf RUU Cipta Kerja diduga muncul terlebih dahulu pada bulan November 2019.
Hal inilah yang kemudian membuatnya menduga naskah akademik diselundupkan. "Jadi kajian akademik ini dibuat-buat, diselundupkan, direkayasa untuk memenuhi kebutuhan draf, persis seperti (revisi) UU KPK, terungkap di persidangan," ujar Isnur dalam diskusi di Jakarta, Kamis (27/2).
Persidangan yang dimaksud ialah gugatan formil yang kini sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi. Menurut dia, saat persidangan terungkap naskah akademik revisi UU KPK dibuat pada 2011.
"Jadi banyak pasal-pasal di UU revisi KPK, misalnya Dewas (Dewan Pengawas KPK) yang tidak ada di naskah akademiknya, itu benar-benar penyelundupan hukum," jelas dia.
Isnur juga menengarai apa yang terjadi di revisi UU KPK juga terjadi di Omnibus Law Cipta Kerja, naskah akademiknya dianggap tidak memiliki kerangka yang kuat.
"Inipun sama, naskah akademik (Omnibus Law RUU Cipta Kerja) kalau kita lihat tidak punya kerangka yang kuat, dibuat setelah adanya draf dan mengikuti kehendak yang ada di UU draf," kata dia.
Diketahui, Rapat Paripurna ke-8 Masa Persidangan II tahun 2019-2020 DPR RI mengesahkan 50 RUU masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020. Termasuk empat Omnibus Law, yakni RUU Kefarmasian, RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Ibu Kota Negara.
Pada Rabu (12/2), pemerintah melalui enam menteri dari Kabinet Indonesia Maju, menyerahkan Surat Presiden (Surpres) beserta naskah akademik Omnibus Law RUU Cipta Kerja kepada DPR. Dua komponen tersebut diterima Ketua DPR Puan Maharani.
"Dalam kesempatan ini, Pak Menko dan para menteri menyampaikan Omnibus Law Cipta Kerja akan terdiri dari 79 RUU, 15 bab, dengan 174 pasal dan akan dibahas di DPR. Jadi kalau ada yang mengatakan DPR sudah membaca drafnya, belum. Apakah DPR sudah tahu isinya, belum," terang Puan usai pertemuan di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat.