Kekejaman majikan dan para budak yang memberontak
Keberadaan kerangkeng manusia di rumah Bupati Langkat, Sumatera Utara nonaktif Terbit Rencana Perangin Angin, setelah politikus Partai Golkar itu terjaring tangkap tangan KPK pada 19 Januari 2022, membelalakan mata publik.
Dari hasil penyelidikan, kerangkeng itu sudah ada sejak 10 tahun lalu, dengan total penghuni 656 orang. Usai melakukan investigasi, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menemukan dugaan praktik rehabilitasi ilegal, penghilangan kemerdekaan orang, serta dugaan tindak pidana perdagangan orang.
Bahkan, beberapa lembaga menduga, terdapat perbudakan modern terhadap orang-orang yang ditahan di kerangkeng untuk bekerja di kebun dan perusahaan sawit milik Terbit.
Perbudakan zaman baheula
Perbudakan mulai marak di Batavia, setelah Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) berhasil menaklukan beberapa daerah di Nusantara pada abad ke-17. Banyak penduduk daerah taklukan VOC dibawa sebagai budak dan tawanan perang ke Batavia. Alwi Shahab dalam buku Robin Hood Betawi (2002) menulis, suku pertama yang diangkut menjadi budak berasal dari Banda, Maluku Selatan.
Pada 1621, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterszoon Coen membawa orang-orang Banda ke Batavia karena melakukan perlawanan saat kompeni hendak memonopoli cengkeh.
Sementara menurut Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun (2011) mengungkapkan, mulanya budak-budak didatangkan dari negara-negara di Asia Selatan. Akan tetapi, saat imperium dagang Belanda mengalami penurunan di Asia Selatan pada abad ke-18, VOC lebih banyak mengeksploitasi budak lokal.
“Mayoritas budak berasal dari Sulawesi, Bali, dan Kepulauan Sunda Kecil (Nusa Tenggara),” tulis Susan.
Yang menarik, lama kelamaan populasi budak melebihi jumlah penduduk di Batavia. Menurut Susan, sensus penduduk di Batavia pada 1673 mencatat jumlah budak sebanyak 13.278 orang, nyaris menyamai jumlah seluruh penduduk Batavia sebanyak 13.790 orang, yang terdiri dari orang Belanda, Eurasia, China, Mardijker, Moor dan Jawa, Melayu, serta Bali.
Alwi menulis, sensus penduduk pada 1681 mencatat dari 30.740 penduduk Batavia, sebanyak 15.785 orang di antaranya adalah budak.
“Para budak adalah satu-satunya kelompok populasi terbesar di Batavia hingga paruh terakhir abad ke-18,” tulis Susan.
Selain untuk dipekerjakan tanpa dibayar, memiliki budak menjadi semacam kebanggaan bagi orang Eropa. Mayoritas budak dijadikan sebagai pengiring untuk memamerkan kekayaan orang Eropa.
“Orang yang paling kaya bisa punya 100 budak atau lebih,” tulis Susan.
Sementara kata Alwi, Gubernur Jenderal Petrus albertus van der Parra yang memerintah pada 1761-1765 setiap tahun mendatangkan 4.000 budak. Seorang anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), Cornelia Johanna de Bevree, punya 59 budak untuk mengurus rumah tangganya.
“Pada 1775 di rumah van Riemsdij, seorang kaya raya di Batavia, dipelihara 200 budak terdiri dari pria, perempuan, dan anak-anak,” tulis Alwi.
Reggie Baay dalam Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda (2017) menulis, pada abad ke-19 mantan anggota Raad van Indie, Nicolaas Engelhard punya modal fantastis untuk beli budak, sebesar 20.942 rijksdaalder.
Iklan penjualan budak, tulis Susan, memperlihatkan posisi domestik spesifik, seperti juru masak, juru lampu, pelayan, pembantu rumah tangga, pesuruh, pembuat sambal, dan kusir. Yang juga populer adalah budak pemusik.
“Tak kalah penting, perbudakan rumah tangga merupakan tonggak dari kehidupan pergundikan dalam masyarakat Indies pada waktu itu,” tulis Reggie.
Orang China, tulis Susan, tak suka menjadikan budak sekadar untuk dipamerkan. Mereka mempekerjakan budak di penggilingan tebu atau penyulingan arak. Sedangkan VOC mempekerjakan budak di bengkel-bengkelnya.
Penyiksaan dan perlawanan budak
Rupanya, kaum penjajah sudah mengantisipasi kemungkinan terburuk jika budak memberontak. Hukum VOC, sebut Susan, melarang mengambil budak orang Jawa. Alasannya, takut orang Jawa bersatu melawan orang Eropa.
Alwi menulis, penjajah memberi hak istimewa bagi para pemilik budak untuk menggunakan kekerasan. Bila sang pemilik tak tega melakukan kekerasan, ia bisa mengupah seorang penegak hukum untuk menganiaya budak yang membangkang.
“Kalau itu belum cukup, pemilik budak dapat mengajukan permohonan pada pengadilan untuk menghukum budaknya dengan hukuman pasung atau dirantai bertahun-tahun,” tulis Alwi.
Sang pemilik budak juga menyimpan senjata yang mudah dibawa guna menghabisi budak yang mengamuk. “Pada 1742, ada seorang Belanda menembak mati seorang budak dan melukai tiga budak lainnya,” tulis Susan.
Banyak kisah keji yang menimpa budak-budak malang pada abad ke-17. Musafir Prancis, Jean Baptiste Tavernier mencatatnya dalam buku Recueil de Plusieurs Relations et Traitez Singuliers & Curieux terbit pada 1681.
Ia menulis buku itu berdasarkan pandangan mata ketika tengah singgah di Batavia. Tavernier mengisahkan, suatu hari ia melihat seorang budak tidur di suatu pojok, kehilangan kain penutup tubuhnya karena dirampas orang.
Tanpa bertanya atau mencari informasi terlebih dahulu, seorang komandan para budak menuduh budak itu menjual kain di tubuhnya untuk mabuk-mabukan.
“Komandan itu mencambuknya berkali-kali hingga tak ada kulit yang tersisa di tubuh si budak. Dua hari kemudian budak itu tewas,” tulis Tavernier, seperti dikisahkan kembali Bernard Dorleans dalam buku Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (2018).
Tak jarang, budak-budak yang disiksa majikannya menjadi putus asa, lalu bunuh diri dengan cara menggorok leher atau menenggelamkan diri ke dalam air. Menurut Tavernier, majikan perempuan jauh lebih kejam menyiksa budak hingga mati. Amarah biasanya memuncak kala majikan perempuan cemburu atau melihat budaknya “genit”.
Satu penyiksaan keji yang ditulis Tavarnier adalah budak perempuan yang kepergok bersenda gurau dengan seorang pria yang bekerja di rumah seorang wanita Belanda. Budak itu lalu diseret dan dijejalkan secara paksa ke dalam martaban—tempayan berisi air.
“Setelah budak itu dimasukkan ke dalam martaban itu dengan susah payah, sang majikan meneteskan air mendidih sedikit demi sedikit di atas kepalanya hingga wadah itu penuh dan tubuhnya, lalu mati kelelap,” kata Tavarnier, dikisahkan kembali oleh Dorleans.
Perlakuan tak manusiawi majikan, membuat budak melawan. Salah satu caranya, dan paling sering dilakukan adalah meracuni majikan. Racun tikus, tulis Hendrik E. Niemeijer dalam buku Batavia: Masyarakat Kolonial Abad XVII (2012), mudah didapat di semua warung China.
Ritual ilmu sihir kerap berbarengan dengan usaha meracun majikan. Hal itu dilakukan, semisal oleh budak perempuan Margareta van de Cust bernama Maria van Macassar. Ia didakwa bersalah meracun menantu laki-laki majikannya bernama Jan Slecht.
Budak perempuan bernama Hester van Malabar juga mengaku di depan pengadilan sudah membuat mati mantan majikannya, Nona Reiners dengan racun arsenikum. Ia pun mengaku akan menghabisi majikannya, Dirck Heckman dan istri dengan racun karena diperlakukan kasar.
Hukuman mati diterapkan terhadap budak yang meracun majikan. Caranya mengeksekusinya tak kalah sadis. Budak yang didakwa bersalah akan diikat di sebuah tiang, lalu dicekik hingga mati.
Gara-gara banyak percobaan pembunuhan dengan racun, pengadilan mengusulkan Pemerintah Agung membatasi penjualan arsenikum di beberapa warung China saja.
“Pemilik warung juga hanya diizinkan menjualnya kepada orang-orang yang dapat dipercaya, yang namanya harus dicatat,” tulis Niemeijer.
“Pemerintah Agung pada 1681 bahkan melarang penjualan semua jenis racun di dalam kota (Batavia) dan di Ommelanden (daerah sekitar).”
Budak-budak juga gemar melarikan diri. Biasanya, mereka lari ke Banten atau Karawang. Lazimnya, pelarian dirancang beberapa budak. Jarang ada budak yang lari seorang diri. Karena kabur berkelompok, budak-budak ini menjadi gerombolan bandit yang meresahkan.
“Pada 1677, warga Melayu Encik Seleman melaporkan bahwa sekitar 300 budak yang melarikan diri berusaha menguasai beberapa desa di kawasan Karawang, serta berusaha membunuh syahbandar Desa Toenggakdjati asal Mataram,” tulis Niemeijer.
Menurut Susan Blackburn, lingkungan sekitar kota jadi tak aman lantaran aksi perampokan geng-geng budak.
Untung Surapati menjadi budak paling legendaris namanya dalam melakukan pemberontakan terhadap VOC. Untung, yang bernama asli Surawiraaji, dijual kepada perwira VOC Edele Heer Moor dari Bali.
Sri Wintala Achmad dalam Untung Surapati Melawan VOC sampai Mati (2021) menulis, Untung terlibat cinta terlarang dengan putri Moor. Ia lantas dijebloskan ke penjara. Di penjara, Untung bertemu budak-budak lain dan menawarkan gagasan melawan VOC.
“Untung memimpin pelarian budak-budak dan perlawanan di luar penjara,” tulis Sri.
“Enam puluh budak pengikutnya tewas dan Untung berhasil melarikan diri ke padang ilalang.”
Di dalam pelarian, Untung tetap menggalang pengikut dari kalangan budak. Susan menyebut, Untung adalah perampok yang menyerang pasukan Belanda dekat Batavia pada 1684. Tapi bagi kita, ia adalah pahlawan--ditetapkan sebagai pahlawan nasional Indonesia berdasarkan penetapan S.K. Presiden No. 106/TK/1975 tanggal 3 November 1975. .
Perlawanan Untung adalah kisah paling heroik budak yang mengamuk. Hingga akhirnya, perbudakan di Hindia Belanda dihapus pada 1860.