Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), mengungkapkan hasil pemeriksaan terhadap beberapa saksi dan korban terkait kekerasan dalam kerangkeng Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin. Bahkan, kekerasan dalam kerangkeng tersebut menelan banyak korban jiwa.
“Bahkan, ada juga saya temukan dengan informasi yang solid. Ada tindak kekerasan yang sampai menghilangkan nyawa, dan korban yang menghilangkan nyawa ini lebih dari satu. Kami sudah mendalaminya. Informasi yang kami dapatkan dari beberapa pihak, dan itu lebih dari dua yang mengatakan bahwa memang kematian tersebut ditimbulkan karena tindak kekerasan,” ujar Komisioner Komnas HAM Choirul Anam dalam keterangan pers virtual, Minggu (30/1).
Kerangkeng serupa tahanan di rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin Angin, kata dia, memang dikenal sebagai tempat rehabilitas. Kerangkeng tersebut dihuni bukan hanya orang dengan kasus narkoba. BNN Kabupaten Langkat pernah melakukan pengecekan pada 2016 dan meminta Terbit Rencana Perangin Angin mengurus izinnya. Namun, izin kerangkeng tersebut belum diurus, sehingga disebut tempat illegal. Kondisi kerangkeng itu saat ini juga sangat parah.
Komnas HAM menemukan bagaimana kondisi jenazah, alat dan metode pelaku melakukan kekerasan, hingga pola kekerasan di dalam kerangkeng tersebut. Komnas HAM mengungkapkan, beberapa istilah yang digunakan dalam konteks kekerasan.
“Mos, gas, atau dua setengah kancing,” tutur Anam.
Sebelumnya, LBH Masyarakat (LBHM) menduga kerangkeng yang berada rumah eks-Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin-angin bukanlah sebuah tempat rehabilitasi ilegal. Penyebutan tempat rehabilitasi ilegal dipandang sebagai sebuah dalih dari Terbit.
“Publik patut menduga jika alibi fasilitas rehabilitasi ini hanya jadi alasan untuk menutupi dugaan perbudakan yang terjadi,” ujar staf penanganan kasus LBHM Aisya Humaida dalam keterangan tertulis, Rabu (26/1).
Menurutnya, penempatan manusia ke dalam kerangkeng jelas telah merampas kemerdekaan seseorang untuk bergerak. Pasalnya, rehabilitasi hanya bisa dilakukan oleh otoritas berwenang dan dengan dasar putusan pengadilan.
Di sisi lain, masalah ini pun tidak bisa dikecilkan sebatas masalah legalitas perizinan. Jika benar digunakan sebagai panti rehabilitasi, kata dia, ini tidak lantas menghapuskan pelanggaran berat yang dilakukan. Bahkan, sekalipun dengan dalih untuk membantu orang-orang yang mengalami adiksi.