Dugaan penganiayaan terhadap relawan Ganjar Pranowo oleh oknum anggota TNI di Boyolali, Jawa Tengah, mendapatkan perhatian dari masyarakat. Bahkan, masyarakat sipil menyebut tindakan kekerasan oknum anggota TNI merupakan tindakan kesewenang-wenangan hukum (above the law) yang brutal.
TNI telah menetapkan enam anggotanya sebagai tersangka dalam kasus dugaan penganiayaan terhadap relawan Ganjar Pranowo oleh oknum anggota TNI di Boyolali tersebut. Kasus ini pun kini telah naik status ke penyidikan.
Kapendam IV/Diponegoro Kolonel Inf Richard Harison mengatakan, para tersangka adalah Prada Y, Prada P, Prada A, Prada J, Prada F dan Prada M.
“Berdasarkan alat bukti yang diperoleh dan keterangan para terperiksa, saat ini penyidik Denpom IV/4 Surakarta telah mengerucutkan kepada enam pelaku,” katanya, Selasa (2/1).
Para pelaku bakal menjalani mekanisme proses hukum pidana di militer. Mulai dari penyidikan di Polisi Militer, kemudian melalui Papera dalam hal ini Danrem 074/Wrt dan selanjutnya penuntutan oleh Oditur militer atau jaksa dan disidangkan di Pengadilan Militer.
"Proses hukum mulai dari Pom, Odmil sampai dengan Dilmil berjalan secara independen, pihak TNI maupun Kodam IV/Dip tidak bisa melakukan intervensi," ujarnya.
Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan (UPH) Emrus Sihombing menyebut kalau kejadian tersebut perlu disorot lebih jauh. Situasi ini bahkan dianggap sebagai perihal kemanusiaan. Alangkah baiknya bila para tokoh politik melepas jaket dan menjenguk mereka. Sebab mereka adalah korban.
“Semua paslon harusnya ikut menjenguk korban. Konteksnya kemanusiaan, lepas jaket tim paslon dan politik,” katanya kepada Alinea.id, Selasa (2/1).
Menurutnya, pemukulan tetap masuk dalam tindak kekerasan. Bahkan, ia mengajak masyarakat untuk mengantar bunga ke korban. Tentunya sebagai langkah menghibur bagi mereka.
“Dengan alasan apapun pemukulan itu tidak bisa dibenarkan,” ujarnya.
Sementara Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis menyebut, tindakan tersebut tidak bisa dibenarkan dengan alasan apa pun. Lantaran, dapat memicu munculnya prasangka ketidaknetralan TNI dalam Pemilu 2024.
Direktur Imparsial Gufron Mabruri melihat, alasan penganiayaan karena sejumlah anggota TNI merasa terganggu dengan suara knalpot bising layak dipertanyakan karena hal itu masih lumrah di jalan raya.
“Kami menilai, tindakan kekerasan oleh anggota TNI merupakan tindakan kesewenang-wenangan hukum (above the law) yang brutal. Penindakan terhadap pelanggaran lalu lintas merupakan tugas kepolisian atau Dinas Perhubungan, bukan TNI,” katanya dalam keterangan, Selasa (2/1).
Selain itu, kata Gufron, korban adalah massa yang sedang berkampanye politik. Sudah seyogianya dianggap sebagai dugaan pelanggaran yang masuk ranah penindakan Bawaslu.
Ia pun menyinggung langkah dari Komisi I DPR RI yang telah membentuk Panja netralitas TNI. Sebab dianggap memahami kontekstualitas politik.
Terkait itu, pemberitaan adanya dugaan kuat keterlibatan anggota TNI dalam pemasangan alat peraga kampanye juga sempat viral. Teranyar, Mayor Teddy Widjaja (ajudan Prabowo, Capres 02) yang ikut dalam barisan Timses Paslon 02 (Prabowo-Gibran) dalam debat capres KPU dengan kostum serupa serta menunjukkan simbol-simbol dukungan kampanye Paslon 02.
“Dan seketika berubah saat debat cawapres KPU padahal Capres 02 juga hadir,” ujarnya.
Pihaknya menilai, Panglima TNI dan KSAD gagal menjaga netralitas TNI dalam Pemilu 2024. Rusaknya netralitas harus diperbaiki dengan proses hukum yang adil dan benar.
“Atas dasar hal tersebut, Koalisi mendesak Presiden Joko Widodo dan DPR RI untuk mengevaluasi dan mencopot Panglima TNI dan KSAD yang gagal mengontrol anggota sehingga terjadi penganiayaan berakibat kematian yang berulang dan gagal menjaga citra TNI untuk bersikap netral dalam Pemilu 2024,” ucapnya.
Sebagai informasi, kronologi dari TNI kasus ini bermula saat beberapa anggota Kompi B sedang bermain bola voli. Kemudian, mereka tiba-tiba mendengar suara bising rombongan sepeda motor knalpot brong sekitar pukul 11.19 WIB.
Para pengendara sepeda motor itu memain-mainkan gasnya saat melintas di Jalan Perintis Kemerdekaan, Boyolali. Seketika itu, beberapa anggota yang sedang bermain bola voli keluar dari gerbang dan melihat rombongan pengendara sepeda motor tersebut sudah melintas di depan Markas Kompi B.
Beberapa saat kemudian, sebanyak dua orang pengendara sepeda motor melintas lagi dengan knalpot brong dan disebut memain-mainkan gas sepeda motornya. Aksi kedua pengendara sepeda motor itu lalu dihentikan dan ditegur oleh anggota dan selanjutnya terjadi perdebatan yang terjadinya tindak penganiayaan oleh oknum anggota.
Anggota TNI tersebut pada awalnya hanya menegur kedua orang pengendara sepeda motor tersebut agar tertib berlalu-lintas dengan tidak memain-mainkan gas sepeda motornya, supaya tidak mengganggu orang-orang di sekitar jalan.