Kelamnya nasib burung langka di Indonesia
Wiryo--bukan nama sebenarnya--baru saja rampung bersih-bersih saat tamu dari Cilacap, Jawa Tengah itu tiba di lapaknya di Pasar Burung Pramuka, Matraman, Jakarta Timur, Rabu (18/5) petang itu. Setelah berbasa-basi, Wiryo mempersilakan sang tamu duduk di salah satu kursi di lapaknya.
Tamu itu ternyata salah satu penyuplai burung langka di Pasar Pramuka. Namun, ia tak terlihat menenteng barang dagangan. Katalog burung yang hendak ia jual tersimpan di telepon selulernya dalam bentuk deretan foto dan video.
"Gelatik jawa mau enggak nih? Ada tiga," ucap sang penjual sembari menunjukkan beberapa foto dan video salah satu produknya itu kepada Wiryo.
Selain gelatik jawa, sang penjual juga punya burung pentet dan kacer hasil tangkapan dari alam liar. Wiryo tak terlihat antusias. Ia hanya memilih beberapa ekor kacer.
"Kalau kacer banyak peminatnya," ujar Wiryo kepada Alinea.id usai sang tamu beranjak dari lapaknya.
Wiryo sebenarnya segan menerima burung yang diburu dari alam liar. Menurut dia, kebanyakan burung buruan tidak mampu bertahan lama hidup di dalam sangkar. Ia takut merugi.
Ia juga tak berani menampung gelatik jawa yang ditawarkan sang tamu. Ia paham burung itu termasuk satwa yang dilindungi. Ia takut kena inspeksi dadakan para petugas perlindungan satwa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Wiryo punya pengalaman buruk saat berhadapan dengan petugas KLHK. Ia pernah membeli burung tangkapan yang ternyata satwa langka. Burung itu disita petugas.
"Kalau lagi apes, enggak enak. Itu untung cuma burung yang disita. Kalau saya dianggap penadah, gimana coba?" ujar dia.
Wiryo mengaku tak benar-benar "lurus". Sesekali, ia berani menampung burung langka. Namun, itu hanya dilakukan saat Wiryo sudah punya calon pembeli.
"Kalau ada yang cari, ada barangnya, baru berani ambil," kata dia.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor 106 Tahun 2018 Tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi, gelatik jawa masuk ke dalam kategori satwa langka. Burung itu dilindungi negara dan tak boleh diburu lantaran populasinya semakin sedikit di alam liar.
Selain gelatik jawa, sejumlah burung langka lainnya, semisal jalak putih dan nuri raja papua, juga terlihat dijajakan di Pasar Pramuka. Di sejumlah lapak, burung-burung itu disimpan dalam sangkar tertutup kain hitam dan digantung di langit-langit.
Burung-burung itu diperjualbelikan secara "bebas". Salah satu pedagang mengaku punya seekor muray irian. Ia membanderol burung langka itu seharga Rp250 ribu.
Pelapak lainnya menawarkan seekor cerecet jawa seharga Rp350 ribu. Burung itu juga termasuk langka dan dilindungi. "Kalau mau, saya ambilin besok," katanya kepada Alinea.id.
Sore itu, Pasar Pramuka juga marak dikunjungi pemilik burung langka yang hendak menjual peliharaannya. Salah satunya Anto. Ia berniat menjual anak alap-alap siul yang dia beli dari pemburu burung dengan harga Rp350 ribu.
"Katanya sih, kalau di sini (Pasar Burung), anakannya bisa sampai Rp800 ribu. Makanya, saya mau tanya ada yang mau enggak," kata warga Sunter, Jakarta Utara, itu saat berbincang dengan Alinea.id.
Anto sebenarnya tahu alap-alap siul merupakan satwa langka. Selain takut bermasalah, ia ingin menjual alap-alap peliharannya supaya bisa membeli burung lain yang ingin ia kembangbiakkan. "Saya mau beli kenari kalau punya saya laku kejual," jelasnya.
Terancam punah
Staf bidang keanekaragaman Burung Indonesia, Achmad Ridha Junaid mengatakan perburuan ilegal merupakan salah satu penyebab sejumlah spesies burung di Indonesia terancam punah. Menurut dia, pemerintah belum tegas terhadap para pemburu burung.
"Ada banyak spesies terancam punah karena ditangkap di alam secara tidak berkelanjutan. KLHK seharusnya tidak boleh diam saja dan membiarkan perburuan terus berlangsung," ucap Ridha kepada Alinea.id, Rabu (18/5).
Berdasarkan catatan BirdLife International dan International Union for Conservation of Nature (IUCN) 2022, ada 177 spesies burung di Indonesia yang terancam punah. Rinciannya, 96 spesies dalam kategori rentan, 51 spesies dalam kategori genting, dan 30 spesies dalam kategori kritis.
Selain karena perburuan, Ridha mengatakan, spesies-spesies burung langka di Indonesia terancam punah lantaran deforestasi dan alih fungsi lahan untuk hutan industri. Penyempitan ruang hidup itu bikin burung-burung langka kian terancam lantaran habitat mereka di Indonesia dibatasi garis Wallace.
"Seperti di Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, (karena garis Wallace) spesies burung itu enggak mungkin berpindah dari pulau ke pulau lain. Ini karena ada barrier yang sangat besar, yaitu lautan dalam. Jadi, risiko dia punah bila habitatnya rusak jadi sangat tinggi," kata Ridha.
Untuk memastikan burung-burung langka di Indonesia tak punah, Ridha mengusulkan sejumlah solusi. Pertama, pemerintah harus menghentikan perburuan burung langka dan menindak pemburu burung. Kedua, memperkuat pengawasan terhadap transaksi jual beli burung-burung yang dilindungi.
Ketiga, mengembalikan kondisi habitat burung yang rusak di alam liar. Terakhir, membangun pusat-pusat penangkaran burung-burung yang masuk dalam daftar merah IUCN. "Nanti lepas di lokasi yang clear and clear dari perburuan. Masukan saja ke kawasan konservasi supaya peluangnya lebih besar," ucap Ridha.
Ornitolog dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Dewi Malia Prawiradilaga mengatakan kerusakan habitat dan perburuan ilegal menjadi dua faktor utama penyebab spesies-spesies burung di Indonesia terancam punah.
"Keduanya parah, tetapi mungkin perburuan liar lebih parah. Sekarang ini, ada lokasi atau tempat habitat burung yang masih lumayan kondisinya. Akan tetapi, banyak yang sepi karena burung sudah habis," kata Dewi kepada Alinea.id, Selasa (17/5).
Dewi setuju penangkaran bisa jadi salah satu solusi mencegah kepunahan spesies-spesies burung langka. Namun, ia menegaskan upaya tersebut bakal sia-sia jika tidak didukung dengan langkah-langkah strategis untuk memulihkan kondisi habitat burung di alam liar.
"Sumber bibit atau indukan bisa beragam. Dalam pemeliharaan hasil penangkaran, harus dijaga sifat alami dan liarnya. Jika ancaman di alam tetap tinggi, ya, tidak ada gunanya melepasliarkan kembali mereka ke alam," kata Dewi.
Sulit diberantas
Kasubdit Penyidikan Kehutanan Dirjen Gakkum KLHK Cepi Arifiana perburuan burung di alam liar bakal sulit dihentikan. Menurut dia, selama permintaan konsumen terhadap burung "koleksi" tinggi, pemburu bakal terus beraksi.
"Apalagi, begitu di pasaran harganya naik. Pasti bakal bertambah yang memburu. Biasanya yang diburu itu memang burung kicau. Tapi, ada juga yang dijual dalam keadaan tidak hidup seperti rangkong yang marak terjadi di Kalimantan Barat. Paruhnya dibawa keluar daerah," kata Cepi kepada Alinea.id, Selasa (17/5).
Petugas KLHK terus menggelar patroli di beberapa lokasi yang terindikasi terjadi perburuan satwa burung dilindungi atau pun transaksi jual beli satwa dilindungi. Pengawasan juga dilakukan di situs-situs atau aplikasi jual beli online.
"Karena di sana (aplikasi jual-beli) ternyata juga marak penjualan satwa yang sebenarnya dilindungi. Selain itu, kita juga sosialisasi. Di lapangan itu, banyak orang itu kaget ternyata burung yang ada di lingkungan mereka dilindungi. Kalau enggak dikasih tahu, mereka tangkap," kata Cepi.
Cepi membenarkan masih banyak pelapak nakal yang menjual burung langka di pasar burung. Namun, kini mereka tak berani menjual burung-burung yang dilindungi negara secara terang-terangan. Burung-burung langka tersebut biasanya disembunyikan di luar pasar.
"Kami melakukan operasi intelijen. Misalkan menempatkan orang-orang kita di titik-titik yang terindikasi adanya perdagangan satwa dilindungi. Kita taruh spion-spion. Siapa pedagang yang bilang ada, nah, nanti mereka berantai. Barangnya ada di si A. Kalau niat beli, dianterin," kata Cepi.
Terkait catatan merah IUCN, Cepi menduga itu berkorelasi dengan kian maraknya penjualan spesies burung langka secara online. Menurut dia, perburuan terhadap burung langka kian marak seiring mudahnya proses jual beli via online. Itu diketahui dari data pengungkapan kasus KLHK selama setahun terakhir.
Meski begitu, Cepit tak sependapat pemerintah dianggap tak mampu mengendalikan tingkat kepunahan spesies-spesies burung. Dari segi penindakan, Cepi menegaskan pemerintah tergolong sukses. Namun, ia mengaku belum bisa merinci datanya.
"Kalau pernah dengar ada perburuan jenis-jenis burung yang dibawa dari Papua. Pilotnya kita jadikan tersangka itu kan dari sana dari wilayah timur. Sejauh ini, kami menganggap masih dalam tahap bisa ditangani," ujar dia.